Sinema Indonesia Sekarang

Sinema Indonesia sekarang adalah upaya untuk mencatat film-film Indonesia yang diluncurkan paska 20 tahun Reformasi. Bagaimana estetika film Indonesia terkini? Siapa saja pemain/ pembuat film yang menguasai jejaring bioskop? Bagaimana perkembangan plot dalam film Indonesia? Narasi semacam apa yang diujarkan dalam film Indonesia paska 20 tahun Reformasi?

An Encounter: Women Film Directors From Asia, Ratna Asmara and Kinuyo Tanaka

Ratna Asmara and Kinuyo Tanaka, women directors from Asia, offer a unique perspective in their films. They both started their film careers in the 1930s and debuted as film directors in the early 1950s. Ratna Asmara’s debut film, Sedap Malam (1951), tells the story of a jugun ianfu (comfort women) survivor after the Revolutionary War …

An Encounter: Women Film Directors From Asia, Ratna Asmara and Kinuyo Tanaka Read More »

Aladin and Tan Sing Hwat at the Wandering Salon 2023

October 7, I shared about Aladin and Tan Sin Hwat  in Sinema Transtopia, Berlin, Germany. The screening program is part of the Wandering Salon, the first film festival from and about Southeast Asian diaspora organized by unthaitled and Soy Division Berlin. I would like to thank the six curators of Wandering Salon: Sarnt Utamachote, Rosalia …

Aladin and Tan Sing Hwat at the Wandering Salon 2023 Read More »

Kerja Aktivasi Arsip Film di Indonesia: – Public Lecture di Festival Montaj, Universitas Padjajaran

Jatinangor, 23 Juni 2023. Senang sekali bisa berbagi pengalaman dan hasil catatan saya sebagai pengamat, pembelajar, dan juga pelaku kerja-kerja yang mengaktivasi arsip film. Dari pengalaman saya, kerja untuk mengaktivasi arsip film mulai semarak setelah tahun 2010-an. Pengalaman ini saya tuangkan dalam materi untuk Public Lecture yang diadakan oleh MONTAJ, festival film yang dikerjakan oleh …

Kerja Aktivasi Arsip Film di Indonesia: – Public Lecture di Festival Montaj, Universitas Padjajaran Read More »

Terimalah Laguku dan Homage Untuk Si Tjonat

Apes benar nasib Djadoeg Djajakusuma. Badan sensor dan kritikus menganggap filem pertamanya tidak cocok untuk dengan modernitas yang ditempuh pemerintahan Soekarno. (Baca Embun, filem pertama Djadoeg Djajakusuma pada link berikut). Film keduanya, Terimalah Laguku (1952), mendapat guntingan sensor dan peredarannya terhenti. Suami menjewer istri dan lelaki takut pada perempuan menjadi alasan penyensoran. Maskulinitas pada tahun …

Terimalah Laguku dan Homage Untuk Si Tjonat Read More »

Djadoeg Djajakusuma Mengeksplorasi Tradisi dan Wonosari dalam Filem Embun (1951)

Sebelum menyutradarai Embun (1951), setidaknya Djadoeg Djajakusma telah berproses pada tiga film awal Perfini. Ia menjadi asisten Usmar Ismail dalam film nasional pertama, Darah dan Doa (1950). Kemudian dalam Enam Djam di Djogja (1950), Djadoeg Djajakusuma menjadi peneliti untuk mengumpulkan testimoni para pejuang Perang Revolusi 1945 – 1949. Sedangkan dalam karya ketiga Usmar Ismail, Dosa …

Djadoeg Djajakusuma Mengeksplorasi Tradisi dan Wonosari dalam Filem Embun (1951) Read More »

Sinema Refleksif: Pengantar Film Eksperimental dari Asia Tenggara

Pada perhelatan UMN Animation and Film Festival (Ucifest) 2020 kali ini, saya berkesempatan untuk menunjukkan tiga film eksperimental dari Asia Tenggara. Penayangan ini akan berlangsung pada hari Rabu, 22 April 2020, Pukul 11 – 12.30 WIB. Berikut adalah pengantar yang saya buat untuk film Shotgun Tuding (Shireen Seno, 2014), Demos (Danaya Chulphutiphong, 2016), dan Pagi …

Sinema Refleksif: Pengantar Film Eksperimental dari Asia Tenggara Read More »

Perempuan Tanah Jahanam: Teror di Balik Keindahan

Tak ada kata yang bisa mewakili kekaguman saya pada adegan pembuka dalam Perempuan Tanah Jahanam. Ping pong percakapan hadir lewat Maya dan Dini yang bertukar obrolan lewat ponsel dalam kotak kecil di pintu tol. Bangunan adegan ini tampak ritmis disokong dengan jalinan gambar yang membuat penonton mampu menangkap pengalaman karakternya. Selain itu, ketakutan seorang perempuan …

Perempuan Tanah Jahanam: Teror di Balik Keindahan Read More »

Ambisi Gundala

Boredom menggelayut selama dua jam. Masa lalu superhero yang super tragis. Mendayu-dayu latar musik. Perkelahian melempem di akhir cerita. Karakter-karakter yang tak mendapat tempat layak. Kesan ini membuat saya bertanya-tanya: Di mana Joko Anwar yang mampu membuat teriakan saya menggema ke seluruh ruangan saat Pengabdi Setan (2017) menguasai bioskop Indonesia dua tahun lalu? Secara keseluruhan …

Ambisi Gundala Read More »

Dua Garis Biru: Akselerasi Kedewasaan

Sange gak kenal kelas sosial! Ketika ketertarikan jasmaniah dan jiwani ini terlembagakan ke dalam pernikahan, ceritanya menjadi lain. Kita harus berhadapan dengan yang baik dan yang buruk dari pasangan. Dua Garis Biru (2019) karya Ginantri S. Noer sendiri cukup detil dalam memaparkan kompromi pasangan muda yang terjebak dalam lembaga pernikahan. Tubrukan nilai-nila agama, tradisional, dan …

Dua Garis Biru: Akselerasi Kedewasaan Read More »

Inter Asia Cultural Studies Society Conference 2019 di Kota Dumaguete

Kereta pre-loved. Mobil beriringan menunggu giliran saat jam sibuk. Lebar jalanan yang hanya dua lajur. Kota-kota pinggiran Manila terkoneksi sekadarnya. Pemandangan ini berbeda 360 derajat dengan Kota Dumaguete yang terletak di kawasan Negros Oriental, Filipina. Jalanannya kecil tanpa lampu merah. Pelabuhan penghubung dengan Pulau Apo dan Pulau Siquijor yang terkenal dengan pantai pasir putih. Dan …

Inter Asia Cultural Studies Society Conference 2019 di Kota Dumaguete Read More »

Catatan dari 13th Asian Cinema Studies Society Conference

“Di era globalisasi, para pembuat film makin jeli untuk mengindikasikan masalah dan isu-isu yang lebih global,” begitulah ujaran Prof. Sheldon Lu selaku pembicara utama (keynote speaker) dalam  13th Asian Cinema Studies Society Conference. Konferensi ini berlangsung pada tanggal 24 – 26 Juni 2019 di LASALLE College of The Arts, Singapura. Adapun tema besarnya adalah “the …

Catatan dari 13th Asian Cinema Studies Society Conference Read More »

Ave Maryam di Mata Kami

Puitika Desain dalam Ave Maryam karya Ertanto Robby. Bagi untuk penonton yang telah terbiasa dengan estetika instagram dan foto-foto Kinfolk, film ini seperti penyegar mata di kala bioskop Indonesia dibanjiri oleh film-film dengan pergantian gambar cepat dan condong menggunakan warna sehari-hari.

Benyamin Sueb dalam Enam Film Nawi Ismail yang Wajib Kamu Tonton!

Ngobrolin Benyamin itu kagak pernah ada habisnya! Ada saja hal-hal dari karyanya yang masih kontekstual hingga sekarang, Mau mengulik performatifitasnya hayuk! Mau membedah lirik dan musiknya juga oke! Atau mau ngomongin Benyamin Sueb membuat film? Cara memulai pembahasan Benyamin tentu bisa dimulai dari mana saja, termasuk lewat film komedi yang ia bintangi. Menurut Pak David …

Benyamin Sueb dalam Enam Film Nawi Ismail yang Wajib Kamu Tonton! Read More »

Lisabona Rahman – What They Don’t Talk About When They Talk About Film Restoration

Sedari Ashar, mendung menggelayut di kawasan Sleman. Hujan kadang turun deras, kemudian gerimis tipis-tipis menjelang pukul lima. Nada pemberitahuan di ponsel saya berbunyi. Tertulis bahwa Lisabona Bona dan Naomi Srikandi telah sampai di salah satu mall kawasan Sleman. Saya mempercepat laju sepeda motor, melewati jalan tikus Maguwo-Babarsari-Ambarrukmo. Sesampainya di tempat terjanjikan, mbak Lisa dan mbak …

Lisabona Rahman – What They Don’t Talk About When They Talk About Film Restoration Read More »

Tidak Ada Komedi dalam Milly & Mamet

Instagram feed terlintas setelah melihat keseluruhan rupa Milly & Mamet (2018). Pilihan properti, warna rumah, ruangan serba hitam milik anak konglomerat, dan cara kamera mengambil makanan merupakan rupa yang awam dijumpai sekarang ini. Kesan instagramisme dan video klip K-pop begitu kuat. Apakah ini upaya Ernest Prakasa selaku sutradara yang hendak menerjemahkan fenonema rupa di media sosial? …

Tidak Ada Komedi dalam Milly & Mamet Read More »

Suzzanna: Ketika Horor jadi Komedi

Suzzanna Bernapas dalam Kubur berusaha mendekati tahun 1989 sebagai latar waktu cerita. Ada banyak hal yang hendak disampaikan oleh film ini. Pertama, melalui pembangunan latar tempat yang disesuaikan dengan era 1980-an, ia berusaha membawa penonton pada sisi nostalgia. Kedua, penghalusan mengenai konsep ‘sundel bolong’, menghilangkan sundal sebagai akar kelahiran hantu perempuan ini. Ketiga, penghilangan negara …

Suzzanna: Ketika Horor jadi Komedi Read More »

Wiro Sableng 212 : Silat Dibalut Kisah Superhero

Upaya untuk menghadirkan superhero yang awam dikenal di Indonesia dengan selera pasar (Hollywood) tampak menjadi proyek yang super-ambisius dalam Wiro Sableng 212. Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko, digarap oleh studio Lifelike Pictures bekerja sama dengan Fox International Production (anak dari 20th Century Fox), memang melibatkan banyak sumber daya manusia, baik untuk produksi maupun …

Wiro Sableng 212 : Silat Dibalut Kisah Superhero Read More »

Fantasi Percintaan dan Mysterious Man sebagai Peretas Realitas dalam Lost Highway

Yogyakarta, Oktober 2015 Harus saya akui bahwa Lost Highway (David Lynch, 1997) merupakan salah satu film yang susah untuk ditonton. Terkadang latar suara dalam film ini membuat saya harus mengecilkan volume laptop, dan cahaya yang terlalu terang dalam adegannya membuat saya ingin menutup mata. Film ini seperti sebuah puzzle. Semakin saya menata keping-keping misteri dalam film, semakin banyak …

Fantasi Percintaan dan Mysterious Man sebagai Peretas Realitas dalam Lost Highway Read More »

Tatapan (gaze) dan Komedi dalam Film Nawi Ismail

Pada 23 September yang lalu, saya membagi hasil penelitian mengenai film Nawi Ismail. Acara berlangsung di Rumah Lifepatch. Saya membagikan hasil belajar saya mengenai konsep tatapan (gaze) yang ditawarkan oleh Todd McGowan. Tatapan ala Lacanian mampu membantu dalam membedah teks film. Seperti apa caranya? Bagaimana mengaplikasikannya? Diskusi berlangsung hangat dan dihadiri oleh seniman, akademisi, dan …

Tatapan (gaze) dan Komedi dalam Film Nawi Ismail Read More »