Ini cerita tentang gejala-gejala… Saat tubuh tak mampu membendung trauma…
Jermal (2009), karya kolaborasi Ravi Bharwani dan Rayya Makarim, bisa dilihat sebagai film yang lebih percaya pada gambar. Kamera mengikuti pekerja anak-anak di jermal tua, mulai dari kepedihan mereka jauh dari rumah maupun kenakalan kecil yang berujung pada penekanan akan daya juang. Pemain Jermal bukanlah aktor profesional. Tubuh-tubuh mereka mampu berbicara di depan kamera bahkan tanpa sokongan dialog. Bobroknya sistem yang membuat anak-anak terpisah dari keluarganya terurai secara halus tanpa penghakiman.
Baca Pembahasan tentang Jermal dan Neorealisme Italia
Meskipun pada mulanya 27 Steps of May (2018) terkesan ingin mengulang kepercayaan Ravi dan Rayya pada gambar, namun tidak bisa ditampik kekuatan naratifnya lebih kuat. Cerita tentang May, gadis yang mengalami trauma kekerasan seksual, terwakilkan oleh gambar tanpa banyak dialog. Meskipun hampir serupa dengan Jermal, tetapi penempatan kamera dalam 27 Steps of May justru mengijinkan gestur, raut, dan bahasa tubuh May menceritakan semua hal pada penonton. Pada awalnya Ravi dan Rayya memang membuat May berjarak, tidak tersentuh dan membiarkan penonton kebosanan. Namun lewat perubahan kecil, dimulai saat adegan kebakaran, May akhirnya mau berbagi pengalaman hidupnya yang membuatnya tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata.
Baru tapi Tidak Begitu Baru
Isu mengenai kekerasan seksual dan trauma pada perempuan bukanlah hal baru dalam film Indonesia. Kita bisa menengok film Sundelbolong (Sisworo Gautama Putra, 1982) tentang Suzanna yang mencari keadilan hingga dalam kubur. Suzanna sama seperti May, mengalami tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh banyak lelaki. Kisah serupa ada dalam Perawan Desa (Frank Rorimpandey, 1978) tentang Sum gadis dari Godean yang mengalami kekerasan seksual ketika berjualan telur di kota Yogya. Kemudian adapula film yang muatan psikologisnya cukup kuat sehingga protagonis perempuannya memilih alienasi sama seperti May. Film Perempuan dalam Pasungan (Ismail Soebardjo, 1980) mengisahkan pergolakan batin perempuan Jawa bernama Fitria yang tidak bisa membedakan khayalan dan realita karena didera perasaan bersalah.
Ketiga film yang saya sebutkan di atas bisa menjadi contoh bagaimana persoalan individu menjadi bagian dari persoalan masyarakat. Kita bisa melihat misalnya dalam Sundelbolong dan Perawan Desa, kasus pemerkosaan dibawa ke meja hijau. Meskipun kedua film ini jelas menunjukkan ketidakmampuan aparatus negara, tetapi setidaknya ada campur tangan pihak berwajib dalam mengurai kasus kekerasan seksual. Sedangkan Perempuan dalam Pasungan, karakter wartawan dihadirkan semata-mata untuk menegaskan masih berlakunya hukum negara di masyarakat. Tindakan memasung seseorang telah dilarang sejak 1976. Namun hadirnya film ini seperti bukti bahwa tindakan memasung seseorang yang dianggap tidak normal masih berlaku di masyarakat.
Jalan yang ditempuh oleh 27 Steps of May memang berbeda dengan film-film sebelum Reformasi. Ravi dan Rayya berangkat dari perspektif seorang penyintas yang mengalienasi serta merepresi banyak hal sehingga ia kehilangan kata-kata. Alienasi diri ini diterjemahkan melalui warna monoton dalam ruang kamar, rutinas penuh hitungan, dan minimnya interaksi antara May dan bapaknya. Pada permulaan film, May seperti membangun tembok untuk bapaknya. Begitu ingatan traumatis terpanggil, perlahan-lahan penonton bisa menyelami luka May. Progress dibeberkan secara perlahan. May yang mulanya hanya mengintip melalui lubang, akhirnya mau keluar dari benteng pertahanan.
Tentang Mengintip Melalui Lubang
Pesulap…
Kehadiran pesulap justru membuat gambar-gambar traumatis mengantri untuk muncul. Ravi menggunakan gambar hitam-putih untuk mengontraskan gambar sebagai represi dan gambar keseharian tokohnya. Penonton dipaksa pula untuk mengalami gambar-gambar hitam putih tersebut secara sekilas, yang kadang ia melintas seperti kilatan cahaya. Inilah tatapan (gaze) yang membuat penonton tidak nyaman. Ia yang selalu menghantui sepanjang cerita sekaligus mengerikan untuk dicerna.
Alih-alih membiarkan gambar traumatis itu hidup bersandingan, Ravi memilih untuk menaklukkannya. Dengan cara apa? Lokakarya singkat ala pesulap supaya May bisa terjun ke masyarakat. Pesulap di sini bukanlah teman yang akan mendengarkan keluh kesah si penyintas. Pesulap bukan pula psikolog. Dalam film ini, pesulap adalah sebuah keajaiban. Sedari awal film ini tidak mengijinkan orang dengan status mapan seperti ‘Bapak’ atau dengan sengaja menghadirkan ‘mediator’ dan ‘psikolog’ untuk membantu May. Pesulap yang statusnya antara nyata dan tak nyata, justru hadir sebagai cermin yang membantu May untuk berbahasa, menyadari dirinya memiliki identitas sebagai May.
Kita bisa melihat dari cara pesulap membuat May berkeinginan untuk memegang koin. Seperti yang kita tahu, uang adalah objek yang selalu dihasrati dalam sistem. Kehadiran adik pesulap justru memantik May untuk lebih tahu mengenai tubuhnya sendiri. Selanjutnya ada simpati ketika May diminta menyelamatkan pesulap yang gagal beraksi di ruang tertutup. Lalu ada empati saat May mau melerai keributan antara bapaknya dan pesulap. Langkah-langkah ini dibuat supaya May bisa siap terjun ke masyarakat. Imbasnya, begitu pengalaman traumatis tersebut bisa termediasi lewat kata-kata, May berani mengambil langkah untuk keluar rumah – hal yang selama 8 tahun dalam cerita ia hindari saban harinya.
Memang Sulit untuk Dinikmati tapi…
27 Steps of May memberikan pengalaman menonton yang lain. Film ini mengijinkan kita untuk melihat gambar-gambar traumatis yang kadang membuat ngilu dan tanpa tersadar kita berharap bahwa gambar akan cepat beralih ke adegan selanjutnya. Sapaan hangat dari pesulap untuk May juga mengajarkan pada penonton untuk bisa lebih berempati kepada mereka yang mungkin merepresi pengalaman traumatisnya selama bertahun-tahun. Namun kehadiran gambar traumatis yang dikontraskan dengan kehangatan pesulap justru membuat film ini berakhir optimistis. Sayangnya, film ini seolah ingin menunjukkan bahwa kekerasan seksual seperti yang dialami May bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja dan hanya sang penyintas – lah yang mampu menjinakkan.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh 27 Steps of May sendiri hampir mirip dengan Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak karya Mouly Surya. Ketidakhadiran masyarakat seperti sebuah keniscayaan untuk menghadirkan imaji bahwa penyintas harus menghadapi pengalaman traumatisnya seorang diri. Harapan saya tentu saja untuk ke depannya akan bermunculan film-film yang memiliki topik yang mendalam seperti karya Ravi dan Rayya ini. Tetapi jalan keluar yang ditawarkan harus melampaui 27 Steps of May untuk membawa pengalaman traumatis menjadi kesadaran bersama sehingga keadilan bisa tersampaikan bagi para penyintas. Film selanjutnya juga harus mampu menumbuhkan benih-benih simpati masyarakat untuk melihat kasus kekerasan seksual dengan pemahaman yang baik.
Film yang menonjolkan karakter perempuannya harus berjuang seorang diri dan saat masyarakat ditiadakan. Apakah ini kecenderungan minimnya budget produksi yang tidak memungkinkan untuk menghadirkan masyarakat sebagai sebuah karakter untuk menyokong semesta film? Imbasnya, sifat komunal tidak dihadirkan dalam film. 1. Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak 2. Suzzanna Bernapas dalam Lumpur 3. Asih |
27 Steps of May (2018)
Mengapa laki-laki bertato dan cincin tengkorak masih menghantui, seolah Ravi Bharwani dan Rayya Makarim tidak bisa bergerak melampaui sesuatu yang stereotipikal? Mengapa dibutuhkan seorang pesulap supaya May bisa berkata? Mengapa Ibu ditiadakan? Mengapa menolak disangkut-pautkan dengan peristiwa 20 tahun yang lalu tetapi masih menggunakan stereotipe yang mengingatkan penonton pada hal tersebut? Mengapa kata-kata “bapak tidak salah” perlu ditegaskan? Mengapa proses pemulihan May seperti sebuah workshop singkat dan kejar tayang?
Sutradara: Ravi L. Bharwani | Penulis: Rayya Makarim | Produser: Wilza Lubis, Rayya Makarim, Ravi Bharwani | Pemeran: Raihaanun, Lukman Sardi, Ario Bayu, Verdi Solaiman | Genre: Drama Keluarga | Produksi: Green Glow Picture dan Go Studio