Kereta pre-loved. Mobil beriringan menunggu giliran saat jam sibuk. Lebar jalanan yang hanya dua lajur. Kota-kota pinggiran Manila terkoneksi sekadarnya. Pemandangan ini berbeda 360 derajat dengan Kota Dumaguete yang terletak di kawasan Negros Oriental, Filipina. Jalanannya kecil tanpa lampu merah. Pelabuhan penghubung dengan Pulau Apo dan Pulau Siquijor yang terkenal dengan pantai pasir putih. Dan lebih bersejarah lagi, Dumaguete memiliki Universitas Silliman, kampus pertama di Filipina dan Benua Asia, yang berdiri pada tahun 1901.
Kedatangan saya ke Kota Dumaguete pada tanggal 1 – 3 Agustus 2019 tujuannya untuk mengikuti Konferensi Inter-Asia Cultural Studies 2019. Acaranya berlangsung di Universitas Silliman. IACS mulanya merupakan jurnal akademik, terbit tiga bulanan. Jurnal yang fokus pada kajian budaya di kawasan Asia ini pertama kali terbit pada tahun 2000. Namun, sejak tahun 2005, IACS juga mengadakan konferensi per dua tahunan. Dalam Konferensi IACS kali ini, tema yang diangkat adalah “Sirkuit yang Cair: Kebudayaan Pengetahuan Paska Serangan Digital” (saya terjemahkan dari “Fluid Circuits: Cultures of Knowledge After the Digital Turn).
Baca Catatan Asian Cinema Studies Society
Berbeda dengan Konferensi Asian Cinema Studies Society yang lebih fokus membicarakan mengenai film, maka dalam IACS ini penelitiannya lebih beragam. Ada yang membicarakan imbas dari Gelombang Korea bagi anak-anak muda, ada pula yang menyasar pada pergerakan seni di kawasan Asia. Menariknya, dalam di sini saya juga bertemu dengan sekelompok peneliti yang menyebarluaskan kondisi Hong Kong sekarang. Masih hangat dalam pemberitaan, bahwa demonstrasi yang berlangsung di Hong Kong terjadi karena warganya menolak keputusan RRC perihal Ekstradisi. “Curhat” informal semacam ini justru mempertemukan para “saksi” gejolak-gejolak yang berlangsung di masyarakat di kawasan Asia. Peneliti dari Jepang memaparkan kondisinya melihat Hong Kong dan gejolak politik dengan Korea Selatan. Sedangkan peneliti dari Filipina fokus pada penembakan petani miskin di kawasan Negros Oriental.
Sedangkan dalam konferensi ini, saya mempresentasikan penelitian saya yang berjudul “Sumba dari Jawa: Catatan atas Film dari Garin Nugroho, Ifa Isfansyah, dan Mouly Surya”. Penelitian ini sendiri menyasar pada kemungkinan semacam apa bila kawasan Sumba hanya direpresentasikan dari hal-hal yang bagus semata. Hasilnya, dari tiga film yang saya teliti, justru film paska Reformasi mendukung ‘tatapan turistik’. Dua film buatan Ifa dan Mouly seperti menghadirkan hasrat untuk menaklukkan tempat yang belum tereksplorasi. Tentu ini menjadi catatan untuk film-film mendatang yang hendak mengambil tempat-tempat belum tereksplorasi dalam sinema Indonesia sebagai lokasi pengambilan berikutnya. Bolehlah shooting di tempat (un)explored tapi jangan lupa bahwa tempat tersebut memiliki sejarah konfliknya sendiri.
Hari Pertama Konferensi Inter-Asia Cultural Studies 2019
Saya tersenyum simpul saat pertama kali sampai di Gymnasium, tempat utama dalam konferensi ini. Kami berkumpul di hall seluas lapangan basket. Paling manis saat saya menyaksikan bendera-bendera negara asal para peserta terpancang di pinggir aula. Hal kecil namun justru mengingatkan saya pada perhelatan kontes kecantikan ataupun olimpiade. Meskipun topik IACS adalah mempertanyakan posisi negara dalam era serangan digital kini, justru penyelenggara malah mempertegas kehadiran negara. Nasionalisme yang parsial kalau kata Yannis Stavrakakis. Ketika melihat bendera dikibarkan, kita seperti diingatkan akan identitas nasional kita.
Pada hari pertama ini, saya mendapatkan sesi setelah makan siang. Setelahnya, saya menghadiri diskusi meja bundar, pembicaranya: Midori Miyakawa (Jpn), Kenichiro Egami (Jpn), Jong Pairez (Phil.), dan Nessa Rogue (Phil.). Moderator diskusi ini adalah Eileen Legaspi-Ramirez (Phil.). Fokus diskusi ini adalah jejaring seniman dan pemberdayaan komunitas. Midori mempresentasikan jejaring seniman perempuan Jepang. Kenichiro membicarakan keterlibatannya dengan demonstrasi di Jepang untuk mendukung demonstrasi yang berlangsung di Hong Kong saat ini. Sedangkan Jong, tampaknya terpikat dengan konsep “gotong-royong”, mempresentasikan kolaborasinya dengan beberapa kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan bagaimana teknologi bisa digunakan sebagai cara untuk memberdayakan. Terakhir, Nessa, berangkat dari konsep “anti-disciplinary” sebagai laku kerjanya bersama masyarakat, mencari tahu apa yang dibutuhkan oleh komunitas.
Baca Tentang Betty Bencong Slebor, saat Benyamin memposisikan wadam dalam sinema Indonesia.
Sebelum Maghrib, berlangsung Plenary 1 yang berjudul Gender, Sexuality, and Identity. Paparan dari Neil Garcia (Phil.) justru mengingatkan saya mengenai kekuatan bahasa yang tidak bias gender. Neil berangkat dari karakteristik bahasa di Filipina yang tidak memiliki pembagian “he” dan “she”. Bila dalam bahasa Indonesia, kita mengenal istilah ‘wadam’, maka di Filipina ada ‘bakla’. Potensi ‘bakla’ yang digunakan sebagai representasi dalam produk populer di Filipina justru menjadi cara untuk menantang pemahaman kita mengenai gender di masyarakat. Kemudian paparan dari Ding Naifei (Taiwan) mengajak untuk melihat kembali nilai-nilai feminisme dan imbasnya dalam perubahan cara pandang kita terhadap konsep keluarga. Terakhir, paparan dari Audrey Hue (Singapura) berupa wacana LGBT di Asia Tenggara. Audrey mengambil contoh kasus dari Malaysia yang lebih konservatif dan Singapura yang lebih cair. Paparan Audrey cukup menarik karena ia mampu mengajak kita untuk berstrategi, “queer resilience”.
Hari pertama ditutup dengan pesta besar. Universitas Silliman selaku penyelenggara menghidangkan B1 khas Negros Oriental, ketika daging dipanggang selama lebih kurang enam jam.
Hari Kedua Konferensi Inter-Asia Cultural Studies 2019
Acara IACS 2019 ini cukup padat. Pada hari kedua, saya memutuskan untuk fokus saja menghadiri presentasi dari Patrick D. Flores (Phil.) yang saat ini didapuk menjadi Direktur Artistik Singapore Biennale 2019. Patrick Flores juga pembicara kunci dalam IACS. Ia memaparkan sejarah dan strategi kuratorial yang ia pilih pada penyelenggaraan Singapore Biennale 2019: Every Step in the Right Direction.
Setelah sesi Keynote 2, saya memilih untuk pergi ke Panel: Transnational Image Circuits: Nationalism, Gender and Ecology in Cinema. Ada paparan dari Hyangjin Lee mengenai representasi tokoh-tokoh nasional Korea selama perang dalam film-film komersil Korea sekarang ini. Hyangjin Lee menggarisbawahi bahwa beberapa film yang menggunakan sosok pahlawan perempuan dalam filmnya ternyata gagal keluar dari ‘tatapan laki-laki’ (male gaze). Kemudian paparan dari Mika Ko mengenai “Nasionalisme Melankolis” dalam film-film Kitano Takeshi. Mika Ko berangkat dari konsep Melankolis dari Sigmund Freud. Melankolis dibedakan dari Ratapan (mourning). Jika seseorang meratapi sesuatu, ia menyadari bahwa hal yang ia ratapi telah hilang. Sedangkan orang-orang melankolis adalah orang yang tidak menyadari ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Film-film Takeshi Kitano menjadi contoh bagaimana sutradara ini tidak menyadari hilangnya “Japanese Spirit” di era kontemporer sekarang. Dalam trilogi Outrage, Kitano mengidamkan, meromantisasi, dan merayakan ke-Jepang-an yang pernah jaya di masa lalu sembari mengkritisi kondisi Jepang saat ini.
Setelah makan siang, saya lalu bergegas ke diskusi dan lokakarya dengan pemateri: Anjeline de Dios, Patrick Flores, dan Jaya Jacobo. Mereka bertiga fokus pada kajian musik. Patrick Flores memaparkan disertasinya tentang Nora Aunor, superstar sinema Filipina yang mengawali karirnya sebagai penyanyi di sebuah kompetisi musik. Sedangkan Jaya Jacobo membicarakan tentang Charice Pempengco yang saat ini bertrasformasi menjadi Jake Zyrus. Pergolakan dalam tubuh Jake Zyrus dan proses perubahannya menjadi transgender justru menarik. Ia dianugerahi “natural sound” tetapi tubuhnya laki-laki. Kemudian Anjeline mamparkan “vokalitas sebagai kebaikan, mendengarkan sebagai keahlian”.
Sesi ini diakhiri dengan lokakarya mendengarkan dan menyanyi. Partisipan yang hadir dalam ruangan ini diminta untuk berpasangan dengan orang yang tidak dikenal. Secara bergantian, partisipan diminta menyanyi dan mendengarkan. Setelahnya mereka bisa berdiskusi mengenai apa yang telah mereka dengarkan.
Hari Terakhir Konferensi Inter-Asia Cultural Studies 2019
Kondisi Kota Dumaguete selama konferensi berlangsung bisa dibilang tidak kondusif. Pada hari kedua, pihak universitas mendapatkan ancaman bom sehingga mahasiswa diminta untuk pulang lebih cepat. Pada hari ketiga, gegana telah berjaga di dekat gerbang. Namun, konferensi tetap berjalan meskipun compang-camping karena penyelenggara tidak bergerak cepat menyiasati ketidakhadiran beberapa pembicara.
Presentasi pertama yang saya ikuti pada hari terakhir ini dari Kar-Yen Leong (Taiwan). Mas Kar-y(e)o, begitu saya memanggilnya, memaparkan penelitiannya yang berjudul “Keepers of the Grave: Ritual Guides, Ghost and Hidden Narratives in Indonesia History”. Obrolan dengan kuncen dari kuburan massal, terutama korban peristiwa 1965, menjadi cara untuk berhadapan dengan isu sensitif yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia.
Kemudian saya mengikuti presentasi dari Abraham Overbeeke “Traveling through time: Trains as temporal metaphor in nonlinear Asian films”. Sebenarnya hal cukup lumrah. Kita mengetahui bersama bahwa kereta merupakan metafora untuk membicarakan waktu yang laju, metafora modernisasi ketika manusia bisa menguasai ruang dan waktu. Sayangnya Abraham tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai potensi dari kereta yang berjalan mundur dalam beberapa film seperti Peppermint Candy (Lee Chand-Dong, 1999) atau 2046 (Wong Kar-wai, 2004).
Penutup
Ketika IACS 2019 ditutup dengan makan malam dan selebrasi, saya justru memilih menepi ke pantai yang jaraknya sekitar 40 menit berkendara. Menikmati jalanan sembari berdesakan di kursi belakang mobil teman. Sesampainya di pantai, saya bisa melihat Pulau Apo dari kejauhan. Deburan ombak, kota-kota di tepi pantai, mengingatkan saya ketika arus balik itu menyinggahi kawasan Asia. Kota-kota pelabuhan menjadi tempat singgah, pertemuan pendatang dan mereka yang telah menetap bertahun-tahun. Ruang-ruang yang menjadi rebutan. Dan sekarang ketika dunia sedang dilanda dengan beragam gejolak di berbagai kawasan seperti Hong Kong, Sudan, memanasnya hubungan Jepang-Korea, konflik agraria di Indonesia, dan terakhir penembakan massal di El Paso tentu menyisakan pertanyaan dan renungan besar. Apa yang harus dilakukan untuk ke depannya? Mengetahui – Simpati – Empati – Pilih Mediummu Untuk Menunjukkan Kamu Peduli.