Upaya untuk menghadirkan superhero yang awam dikenal di Indonesia dengan selera pasar (Hollywood) tampak menjadi proyek yang super-ambisius dalam Wiro Sableng 212. Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko, digarap oleh studio Lifelike Pictures bekerja sama dengan Fox International Production (anak dari 20th Century Fox), memang melibatkan banyak sumber daya manusia, baik untuk produksi maupun paska produksi. Dengan iming-iming bahwa penonton Indonesia akan menjumpai superhero yang dulunya dijumpai dalam bentuk novel dan sinema elektronik, Wiro hingga saat artikel ini ditulis berhasil memperoleh lebih dari 1,5 juta penonton.
Secara garis besar, alur cerita Wiro termampatkan untuk membicarakan dendam guru dan murid pada Mahesa Biwara. Pembabakan mengikuti kaidah monomitos, perjalanan seorang pahlawan yang diajukan oleh Joseph Campbell dan terbagi menjadi: Keberangkatan, Inisiasi, dan Kembali. Relasi Wiro dan Sinto Gendeng sekaligus penjabaran kekuatan Wiro diujarkan dalam babak Keberangkatan. Kemudian dalam babak kedua, Wiro berjumpa dengan musuh dan kawan, serta Bidadari Angin Timur si penolong; jatuh cinta sekaligus kehilangan Rara Murni; berhadapan langsung dengan Mahesa Birawa; dan mendapatkan kekuatan penuh setelah mampu mengatasi hasratnya untuk balas dendam. Kemudian pada babak ketiga, Wiro mau kembali untuk menyampingkan dendamnya, lalu fokus untuk menolong Raja Kamandaka bersama temannya, Anggini dan Bujang Gila Tapak Sakti. Pada babak ini, Mahesa sudah menguasai kerajaan. Pada akhirnya Wiro mampu mengalahkan Mahesa sekaligus menyelamatkan kerajaan dari kudeta Wreku Alit, adik Sang Raja.

Wiro cukup beres mengatur ritme dan porsi cerita. Tidak ada yang ujug-ujug hadir. Namun banyaknya tokoh yang hendak dihadirkan, terkadang membuat penonton tidak bisa menikmati film, seperti dijejali dengan bermacam informasi dalam waktu terbatas. Hal ini lumrah bila mengandaikan penontonnya masih mengingat cerita novel maupun sinetron Wiro. Hal ini juga tampak dari upaya membangkitkan ingatan penonton dengan cara menghadirkan Ken-ken, si pemeran Wiro versi sinetron dalam babak kedua. Penghadiran sosok Wiro sebagai superhero kekinian khas Indonesia, dan perihal mengikat penonton lama adalah sesuatu yang diupayakan penuh. Maka tak heran, saat saya menonton film ini bersama dengan penonton lain yang rata-rata mengajak keluarga besarnya, semuanya bisa larut menertawakan tingkah Wiro maupun bernostalgia dengan Wiro versi Ken-ken dalam salah satu adegan.
Bukan untuk mengiyakan apa yang sudah ditawarkan oleh Wiro, tulisan ini justru ingin mencatat hal-hal apa saja yang begitu menonjol dalam film sehingga bisa dijadikan bahan renungan bersama. Bila nantinya industri film Indonesia terjatuh untuk menahbiskan Wiro sebagai tolak ukur bahwa membuat film harus dengan budget mahal, produksi ala kolosal, bisa menggaet Hollywood pula, apa saja yang akan hilang dan tercerabut? Hal ini perlu ditelaah kembali dengan mempertimbangkan ulang prestasi film Indonesia yang lampau untuk menilai perlukah industri film Indonesia “mepet-mepet” ke Hollywood. Lalu, bila memang sudah ijab-qobul, hal-hal apa yang bisa dinegosiasikan?
Adegan Perkelahian – Gelut maning… gelut maning.
Dalam tulisan pembuka The Way Hollywood Tells It, David Bordwell menyatakan bahwa blockbuster di Hollywood sekarang ini didominasi oleh film yang menampilkan kekerasan, terutama kekerasan fisik. Hal ini nampak dari banyaknya adegan adu jotos. Wiro pun tak luput dari penghadiran adegan perkelahian yang berulang, bahkan tiap lima menit adegan tersebut pasti dihadirkan. Formulasi Hollywood kekinian yang menekankan pada banyaknya adegan perkelahian yang harus ditonjolkan, ternyata diadaptasi mentah-mentah. Bahkan adegan perkelahian itu dibuat sebaik mungkin. Contohnya saat kamera dari atas mengambil adegan perkelahian Mahesa dan Wiro, penonton dihadapkan pada gerakan-gerakan rampak, penuh perhitungan, dengan komposisi pas.

Adegan perkelahian yang staged, terkondisikan supaya tampak bagus di kamera, tidak lepas dari andil Yayan “Mahesa Birawa” Ruhian selaku koreografer. Pengalaman Yayan dalam The Raid, sehingga secara ke-tubuh-an dia sudah menghafal apa yang harus ditampilkan dalam kamera, cukup besar pengaruhnya dalam merapikan adegan perkelahian di Wiro. Perkelahian yang intens juga diiringi dengan pemilihan tempat berkelahi supaya gambar terlihat wow-dramatis. Hal ini bisa dilihat dari adegan ketika Anggini (diperankan oleh Sherina Munaf) harus berkelahi dengan Pendekar Pemetik Bunga di kali dangkal. Ketika mereka adu jurus, kamera menangkap kecipak air. Mungkin ini cara Wiro menghadirkan gambar dramatis sesuai kondisi tanah Jawa. Tentu sutradara sudah paham betul bahwa tidak mungkin bermain-main warna dengan menggabungkan warna merah darah dan putih salju untuk menambah sisi dramatis seperti dalam film The Raid.
Misbach Yusa Biran sendiri pernah mengatakan bahwa adegan perkelahian menjadi hal yang ditunggu oleh penonton pada masa Hindia Belanda. Tidak heran bila sutradara Indonesia pemula di Hindia Belanda memasukkan adegan ini dalam tiap film. Meskipun tidak dikategorikan sebagai film laga, tetapi Matjan Berbisik (1940) karya Tan Tjoe Hok menggunakan seni bela diri sebagai penyokong plot. Kemudian dalam Harimau Tjampa (1953) yang disutradarai oleh D. Djajakusuma, seni bela diri menjadi dasar yang membuat alur bergerak. Aksi pertarungan antara yang baik dan yang buruk terjadi dan tampak rampak dengan Sumatera Barat sebagai latar tempatnya. Perihal intensnya adegan perkelahian, dalam si Pitung (1970) karya Nawi Ismail, penggunaan seni bela diri tidak menindih jalannya alur cerita. Pun sama halnya dengan Misteri Gunung Merapi (1989) karya Lilik Sudjio. Meskipun seni bela diri menjadi hal yang wajib ditampilkan untuk memainkan gejolak perasaan penonton, membawa rasa penasaran untuk melihat siapa pemenangnya, tetapi kehadirannya tidak mengganggu ataupun menindih jalan cerita.
Pertanyaan setelah menonton Wiro bukan merujuk pada penting atau tidaknya adegan perkelahian ditampilkan secara intens tetapi lebih pada subjek penonton Indonesia seperti apa yang hendak disasar oleh film-film semacam ini. Ketika penonton Indonesia biasa dijejali dengan berita-berita kekerasan di media, kemudian mereka menjumpai lagi adegan perkelahian secara intens di layar lebar, apakah film semacam ini nantinya berusaha “menetralkan” kekerasan? Pertanyaan semacam ini hendaknya perlu dipertimbangkan ulang untuk memilah dan memilih apa yang akan ditampilkan di depan kamera.
Riuhnya Latar Suara
Di balik gambarnya yang enak dilihat dan terukurnya adegan perkelahian, Wiro memiliki kekurangan berupa karakterisasi yang tidak mapan. Saya curiga karena karakter hanya dibiarkan menujukkan jati dirinya hanya saat adegan adu jurus. Penonton tentu akan mudah mengenal karakter dalam layar melalui beberapa cara seperti tindakan, penggunaan pakaian, cara tutur, dan kebiasaan yang ditampilkan. Namun dalam Wiro, penonton tidak diberi waktu untuk mencerna tokoh yang hadir dalam layar.
Pendalaman karakter dari para pemain Wiro tampaknya belum maksimal. Saya tidak paham apakah Anggini memang dibiarkan kaku dari awal sampai akhir. Bahkan upayanya untuk menggaet hati Wiro tampak datar. Saya juga kurang memahami apakah Bidadari Angin Timur memang diizinkan untuk agak judes seperti mbak-mbak urban 30-sekian di era sekarang. Kemudian yang mengganjal adalah Panglima Kalasrenggi (diperankan oleh Teuku Rifnu Wikana). Sayang begitu sayang jalan pengkhianatannya cuma dihadirkan secara tiba-tiba – dari kabar Werku Alit, lalu ternyata sudah bergabung di markas Mahesa. Kemudian sewaktu tim Raja bertarung dengan tim Mahesa, ia tidak kaget panglimanya berkhianat. Ada beberapa hal sederhana namun penting yang bisa menyokong laju cerita justru hilang. Ini bisa jadi disebabkan oleh agenda film ini yang ingin menghadirkan banyak karakter dalam waktu terbatas. Tidak mudah memang memampatkan banyak karakter dan menampilkan mereka dengan porsi seideal mungkin.
Dugaan saya, Wiro menggunakan latar suara yang riuh untuk menutupi kekurangan tersebut. Film ini menyajikan latar suara yang rapat, kebanyakan dengan musik mengentak untuk melatari adegan pertarungan di dalamnya. Maksudnya rapat di sini, ia selalu hadir saat sekuen berganti sehingga ia tidak memberikan ruang bagi penonton untuk mencerna apa yang telah dilihat. Tidak ada jeda untuk bernapas dan menelaah barang sejenak. Kehadiran musik juga melatari setiap adegan perkelahian dalam Wiro. Bilamana film ini hanya ingin menghadirkan aksi laga dalam tiap pertempuran dengan musik sebagai penyokongnya, saya pikir itu sudah terpenuhi. Musik pula yang memiliki peranan utama untuk mengingatkan kembali penonton pada adanya Wiro lama, ketika Ken-ken bertemu dengan Wiro Baru, dan pada saat mereka berpandangan original soundtrack Wiro Sableng dimainkan.
Dengan porsi tata musik yang terkesan mendominasi film, maka tidak heran bila beberapa penonton memuji bagian ini. Namun bukankah film merupakan bentuk kesatuan antara sinematografi, jalinan cerita, artistik, dan editing. Kalau dia lebih berat di tata musik bukankah ini sama saja dengan mendengarkan lagunya, sedangkan visual justru berakhir sebagai pemanis? Lalu apa bedanya dengan mendengarkan satu album utuh sembari melihat video perkelahian di Youtube? Justru dengan tata musik yang mendominasi film, ia jadi menutupi kemampuan visual Wiro untuk berbicara dengan caranya sendiri.
Warna
Pada bagian ini, saya sendiri akan menceritakan perihal pengalaman kagok saat berhadapan dengan warna-warna dari Wiro. Sejak adegan pembuka, ketika Mahesa menaiki kuda dengan rembulan oranye besar di belakangnya, seketika itu saya meyakini apa yang akan saya lihat akan jauh berbeda dibandingkan dengan pengalaman saya sewaktu menonton Wiro Sableng versi televisi. Seketika itu saya merasa asing. Warnanya apik, bahkan bisa dibilang menyamai dengan film fantasi Hollywood semacam Lord of The Rings. Namun saya merasa ada yang tercerabut. Tidak ada warna khas nusantara yang biasa saya lihat di kenyataaan: warna tanah lusuh, pohon-pohon kering dan meranggas, silau matahari yang terkadang hampir membutakan mata, dan bahkan warna kulit manusia yang luwuk.

Wiro memang diniatkan sebagai film fantasi. Dengan mengambil latar waktu sebelum tempat bernama Jawa dibulatkan, ia berusaha menggapai apa yang belum tentu sanggup kita bayangkan, sebuah kelampauan lengkap dengan pilihan properti (kostum ala bangsawan Jawa, kerajaan yang menganut kepercayaan pada dewa-dewi, pendekar) dan lanskap perawan suatu tempat tanpa adanya kehadiran mesin-mesin layaknya dunia modern sekarang ini. Tetapi apakah warna yang ditawarkan Wiro memang bisa memberikan gambaran pada penonton mengenai keadaan “zaman dulu”? Saya melihat bahwa warna Wiro justru seperti warna film yang memiliki latar tempat di belahan Utara sana ketika cahaya matahari tidak sementereng di tanah Jawa. Apakah memang pada jaman pendekar, nusantara memiliki suhu seperti kawasan subtropis ke atas? Apakah memang genre fantasi memiliki kewenangan mutlak untuk mencerabut warna-warna yang biasa penonton Indonesia lihat dalam keseharian kemudian menggantinya dengan warna yang tampak bagus dan nyaman untuk dilihat menurut standar Hollywood?
Kemudian ada hal yang sekali lagi mengganjal perihal perpaduan warna dalam Wiro. Kostum yang dikenakan oleh pemain secara sekilas memang ingin membawa warna-warna bold yang identik dengan pakaian kerajaan di Jawa. Lihat kostum Ratu dan Raja yang mengenakan beludru hitam, sama seperti baju adat Jawa yang masih dekat dengan sekarang. Namun ketika Bidadari Angin Timur dibalut oleh baju Tex Saverio, saya merasa ini sudah jomplang. Kostumnya memang bagus, tetapi apakah itu senada dengan kostum pemain lainnya. Ini terlalu well-crafted, jauh berbeda dengan kostum pendekar lain yang lebih mengutamakan pada ikat kain untuk menyamankan gerakan gesit para pendekar. Kostum Bidadari malah tampak lebih cocok dikenakan oleh Lady Galadriel dalam LOTR, saat kehadirannya dengan gaun berwarna putih kebiruan mampu menyatu dengan lanskap daerah tempat tinggal para peri dengan dominasi kabut dan cuacanya yang hangat.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Wiro?
Sejak Wong Bersaudara dan The Teng Chung membuat film di pulau Jawa, keinginan untuk bisa membuat film seperti Hollywood sudah muncul. Namun dengan kondisi Hindia Belanda yang jauh dari kata industri, para sutradara pemula tersebut membuat studio ala-ala, dengan meminta bantuan dari orang teater yang memang sudah mengenal konsep tinggal sekaligus berkarya di satu tempat. Setelah masa Revolusi, para pekerja kreatif di bidang film lebih tertarik pada cara film-film Neo-Realisme Italia yang menitikberatkan untuk percaya pada kemampuan kamera mengambil gambar apa-adanya, sehingga cara kerja yang semula berada di studio beralih dengan cara yang lebih organik yakni mencari tempat yang bisa digunakan untuk mengambil gambar. Kemudian pada masa Orde Baru, kita bisa menjumpai beberapa judul film yang meng-Indonesia-kan film Hollywood, seperti karya Nawi Ismail (3 Janggo, Benyamin Koboi Ngungsi), Nya Abbas Akup (Bing Slamet Koboi Cengeng), dan Lilik Sudjio (Zorro Kemayoran). Paska Reformasi, jejak ingin menjadi Hollywood tersebar baik dari segi penggunaan alur, kemiripan cerita, bahkan hingga gambar poster film-film bioskop yang referensinya berasal dari film Hollywood.
Meskipun demikian ada hal-hal yang justru hilang ketika film Indonesia mengikuti formulasi Hollywood. Sinema Indonesia memiliki ciri khas ketika ia bermain-main dengan ketidaksempurnaan di tanahnya sendiri. Kita mungkin tidak akan memiliki Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail yang belajar langsung di Amerika kemudian menerapkan proses pembuatan film dengan mempertimbangkan apa yang dimiliki dan tidak dimiliki Indonesia. Kita mungkin tidak akan memiliki Nawi Ismail, si sutradara yang belajar secara otodidak di studio Tan pada masa Hindia Belanda hingga ia mampu membuat film-film box office dengan Benyamin sebagai pemerannya. Kita juga mungkin tidak akan menikmati film ala Garin Nugroho dalam Opera Jawa, di mana si pembuat menggabungkan elemen-elemen yang dimiliki seni rupa, teater, tari, dan mitologi yang ada di Jawa.
Tentu dengan adanya Wiro Sableng, keinginan menjadi Hollywood tidak sebatas ingin. Perkawinan ini resmi. Antara rumah produksi Lifelike Pictures dan 20th Century Fox menjadi setidaknya titik tanda bahwa membawa Hollywood yang sebenar-benarnya bisa dimungkinkan. Bagi saya ini merupakan prestasi yang besar karena memang tidak mudah mengikuti standar Hollywood. Terlepas dari siapa yang memanfaatkan siapa – Fox mendompleng Lifelike demi pasar Indonesia; ataukah Lifelike yang mendompleng Fox demi mendapatkan “sesuatu yang wah”, perkawinan ini justru menarik untuk ditelisik. Setidaknya ada film Indonesia yang “benar-benar” mengikuti kaidah Hollywood baik dari alur cerita yang pas dan ketat, perkelahian dengan komposisi yang baik, dan yang lebih penting adalah sisi menghiburnya.
Wiro adalah contoh dimana pekerja kreatif Indonesia mampu mengikuti pola dan sistem yang ditentukan oleh Hollywood. Ini capaian yang bagus, tetapi tentu saja bisa dipertimbangkan untuk tidak perlu diikuti. Ada hal yang masih bisa terus dinegosiasikan supaya tidak terjebak untuk menyajikan ciri khas Indonesia secara permukaan semata. Wiro memang berhasil menawarkan sosok hero ala Indonesia, tetapi yang dibeli hanya sosoknya saja bukan semesta dimana pahlawan ini tumbuh dan melekat di sanubari audience Indonesia. Untuk langkah selanjutnya, semoga penawaran pada pasar secara lebih luas juga mengambil bahasa yang memang sudah dimiliki oleh sinema Indonesia. Tentu saja penawaran jenis ini bisa diperkaya dengan pengetahuan mengenai sinema Indonesia yang bisa memunculkan tajinya justru ketika situasi pembuatan film tidak kondusif, seperti setelah Revolusi ataupun saat penyensoran menjadi penentu produksi film Indonesia. Pengetahuan mengenai sinema juga bisa didapat dari cara pekerja kreatif memanfaatkan teknologi pembuatan sinema. Misalnya dengan menghadirkan kejujuran, ketika kamera digital harus merekam gambar saat matahari berada di titik paling tinggi untuk menunjukkan menunjukkan kondisi Nusantara yang sebenarnya.
Tulisan yang bagus. Film-film komersial bin populer indonesia memang harus dikritik tulisan sebagus ini ?