Film Klasik Indonesia

Digitalisasi merupakan cara sinema terlahir kembali. Film Klasik Indonesia adalah proyek penulisan ulang sejarah film Indonesia dengan jalan melihat, membedah, dan membaca teks film yang telah didigitalisasi melalui pendekatan semiotika dan psikoanalisa Lacanian.

Ratna Asmara dan Dr. Samsi di JAFF 2022: Pemutaran dan Presentasi

Presentasi oleh Umi Lestari dan Efi Sri Handayani dalam pemutaran film Dr. Samsi (Ratna Asmara, 1952) di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2022. Diskusi setelah pemutaran berlangsung dengan baik, tetapi banyak penonton yang belum bisa membedakan restorasi film dan digitisasi film. …. Umi memulai penelitian Ratna Asmara sejak awal pandemi covid 19 pada tahun 2020. Pada …

Ratna Asmara dan Dr. Samsi di JAFF 2022: Pemutaran dan Presentasi Read More »

Ratna Asmara / Suska, Liarsip, dan Saya

Ratna Asmara / Suska, Liarsip, dan Saya merupakan pidato yang saya bawakan dalam acara Sekolah Pemikiran Perempuan x Jakarta Biennale. Acara ini diadakan pada tanggal 22 Desember 2021, saat perayaan Hari Kongres Perempuan pertama di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Video ini bisa diakses pada tautan berikut. Ratna Asmara / Suska Dua tahun setelah Kongres Perempuan …

Ratna Asmara / Suska, Liarsip, dan Saya Read More »

Big Village (1969) dari Usmar Ismail: Legitimasi Orde Baru di Masa Transisi

Usmar Ismail membuat Big Village (1969) atau Dusun Besar tepat di masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada momen ini, pemerintahan Orde Baru memang belum ‘turun gunung’ untuk secara resmi memberikan modal bagi pembuat film untuk menginternalisasikan nilai-nilai anti komunis dalam film. Selama masa transisi, Indonesia mulai membuka diri terhadap negara-negara non Tiongkok …

Big Village (1969) dari Usmar Ismail: Legitimasi Orde Baru di Masa Transisi Read More »

Terimalah Laguku dan Homage Untuk Si Tjonat

Apes benar nasib Djadoeg Djajakusuma. Badan sensor dan kritikus menganggap filem pertamanya tidak cocok untuk dengan modernitas yang ditempuh pemerintahan Soekarno. (Baca Embun, filem pertama Djadoeg Djajakusuma pada link berikut). Film keduanya, Terimalah Laguku (1952), mendapat guntingan sensor dan peredarannya terhenti. Suami menjewer istri dan lelaki takut pada perempuan menjadi alasan penyensoran. Maskulinitas pada tahun …

Terimalah Laguku dan Homage Untuk Si Tjonat Read More »

Djadoeg Djajakusuma Mengeksplorasi Tradisi dan Wonosari dalam Filem Embun (1951)

Sebelum menyutradarai Embun (1951), setidaknya Djadoeg Djajakusma telah berproses pada tiga film awal Perfini. Ia menjadi asisten Usmar Ismail dalam film nasional pertama, Darah dan Doa (1950). Kemudian dalam Enam Djam di Djogja (1950), Djadoeg Djajakusuma menjadi peneliti untuk mengumpulkan testimoni para pejuang Perang Revolusi 1945 – 1949. Sedangkan dalam karya ketiga Usmar Ismail, Dosa …

Djadoeg Djajakusuma Mengeksplorasi Tradisi dan Wonosari dalam Filem Embun (1951) Read More »

Dream Team ala Perfini

DSekitar tahun 1954, Usmar Ismail pernah menulis, “film adalah kesenian bersama (collective) yang membutuhkan ahli-ahli bagi tiap cabang pekerjaannya.” “Sari Soal dalam Filem Indonesia” di Konfrontasi No.1/Juli-Agustus 1954 Pernyataan ini ditulis setelah Usmar selesai sekolah di Amerika. Tentu menarik karena apabila kita menyandingkan wacana mengenai kepengarangan (auteur) dalam sinema  yang disematkan pada Usmar Ismail (lihat …

Dream Team ala Perfini Read More »

Citra: Melodrama Kegagalan Pemuda 

Sebagai penanda penting dalam sinema Indonesia, keberadaan Citra (Usmar Ismail, 1949) bagaikan hantu tanpa wajah. Judul film ini hingga sekarang masih dipakai sebagai sebuah penghargaan paling bergengsi di negeri +62. Piala Citra pertama kali dipakai saat Festival Film Indonesia lahir pada tahun 1955. Selain itu, di bidang sastra, kritikus sastra Indonesia berkebangsaan Belanda yakni A. …

Citra: Melodrama Kegagalan Pemuda  Read More »

Pulang karya Basuki Effendy

Setiap melihat filem klasik Indonesia yang dibuat pada tahun 1950-an, saya selalu bertanya: Bagaimana para pekerja kreatif membayangkan Indonesia yang baru seumur jagung? Sebelum memasuki perdebatan estetika dari kelompok yang berafiliasi dengan LEKRA ataupun Lesbumi, setidaknya belum ada pembacaan detil yang menyasar pada filem-filem periode ini. Dari beberapa filem klasik Indonesia yang pernah saya tonton, …

Pulang karya Basuki Effendy Read More »

Estetika Film Indonesia: Belajar Dari yang Klasik

Estetika Film Indonesia: The Teng Chun Pada tahun 2016 lalu, saya berkesempatan untuk melihat film dari masa kolonial di Sinematek Indonesia. Film tersebut berjudul Tie Pat Kai Kawin karya The Teng Chun, dibuat pada tahun 1935. Sebelum membuat Java Industrial Film, yang tercatat sebagai studio pertama di Hindia Belanda yang fokus pada film cerita, The …

Estetika Film Indonesia: Belajar Dari yang Klasik Read More »