Bayangkan kamu seorang detektif. Kamu sedang mencari
bukti atas kasus yang minim informasi. Tiba-tiba
kamu menemukan bukti sederhana namun signifikan. Nah… pengalaman main pura-pura
detektif seperti ini sering saya lakukan saat meneliti. Saya mencari data
secara holistik, dari yang bisa dipegang hingga ke gosip antar teman. Terkadang
saya justru dibawa melaju jauh oleh temuan-temuan yang bisa hadir serampangan.
Contohnya saat menyerah dengan Nawi Ismail, saya malah dipertemukan dengan
karya Huyung, Frieda (1950). Dari perjumpaan ini, skema runtutan perjalanan
estetika Nawi Ismail langsung terarah. Saya seperti menemukan semangat untuk
terus menggali dan mencari.
Arsip dan film Frieda pernah
ditampilkan Kultursinema dalam penyelenggaraan festival ARKIPEL 2017. Kebetulan
saya tidak dapat hadir. Tetapi rejeki memang tidak ke mana. Karya dari Huyung
ini baru saja singgah di Yogyakarta. Pameran Kultursinema diadakan pada tanggal
3 – 7 April 2017 di Kedai Kebun Forum, Tirtodipuran. Selain arsip film dari
Huyung, pameran ini juga menampilkan arsip-arsip film dari masa kolonial hingga
dokumentasi perhelatan GANEFO 1963. Poster, ulasan di majalah, foto dokumentasi
pembuatan film, bahkan esai mengenai film disandingkan dengan gambar bergerak.
Dari bingkaian pameran, sebagai penonton kita akan mendapatkan alur mengenai
bagaimana budaya menonton hadir di masyarakat kita.
Tentang Frieda dan Huyung
Kisah Frieda berputar di romansa perempuan keturunan Belanda dan kerja mata-mata. Frieda dan Abidin, seorang bumiputera di masa revolusi, terpisah sekian tahun. Mereka bertemu kembali di negara baru, saat Indonesia merdeka. Pesannya jelas. Nasionalisme bisa dibentuk dari sifat sukarela individu untuk melebur menjadikan Indonesia sebagai identitasnya. Ini diperlihatkan dari karakter Frieda, sang mata-mata dengan kode Kemuning 100. Ia tidak ingin terjebak mengenang kejayaan penjajahan Belanda. Justru pada akhirnya, Frieda memutuskan memijak bumi Indonesia, tidak ingin berada di antara langit dan bumi.
Konten Frieda sebenarnya cukup relevan dalam melihat peta kesenian di pulau Jawa sekarang ini. Latar tempat yang digunakan adalah Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Selain itu, kita tentu familiar dengan isi FTV yang selalu mengandaikan kota Bandung dan Yogyakarta sebagai tempat untuk singgah, mencari ketenangan sementara dari hiruk pikuk kota Jakarta. Tetapi film Frieda sendiri tidak menekankan pada sisi rekreasi. Justru kepergian tokoh-tokohnya ke Yogyakarta dan Bandung untuk menjawab pergolakan batin masing-masing. Istri Abidin yang semula menyangsikan aktivisme suaminya, begitu ke Yogyakarta langsung bergabung dengan laskar perempuan membantu menyuplai makanan untuk perang fisik. Sedangkan Frieda ke Bandung untuk mengalami sendiri bagaimana rasanya berpijak di antara dua kaki. Ia harus menjadi mata-mata karena ikatan darah. Namun di sisi lain, ia tergugah dengan sifat sukarela Abidin dan Robijn dalam mempertahankan kemerdekaan dengan caranya masing-masing. Perjalanan ke luar kota ditujukan untuk membulatkan nasionalisme karakternya.
Sebelum membuat film, Dr. Huyung atau Hinatsu Eitaro datang
ke tanah Indonesia bertugas di Nippo Eiga Sha, badan propaganda Jepang. Huyung
bergabung dalam Jawa Eiga Kosha yang
menyunting rekaman film situasi Indonesia semasa 1942 – 1942. Setelah
kemerdekaan Huyung tergabung dalam Berita Film Indonesia mengikuti hijrah
Soekarno ke Yogyakarta. Kalau BFI untuk film, di bidang fotografi sendiri ada
IPPHOS. Kita bisa membayangkan BFI dan IPPHOS itu seperti sebuah kolektif yang
bekerja atas tujuan cinta, mempertahankan kemerdekaan semasa revolusi. Kedua
kelompok ini akhirnya bubar setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh dunia
internasional. Mereka bertugas merekam setiap aksi pemerintahan yang baru
terbentuk.
Selama di Yogyakarta, Huyung membuat Stiching Hiburan Mataram. Huyung dan BFI menetap sementara di pengungsian di Jalan Sembiring No. 5, Yogyakarta. Pentolan BFI yakni Dr. Huyung tidak hanya merekam, tetapi ia juga mendirikan kelompok belajar dengan prinsip bahwa seni drama dan produksi film harus dikerjakan dengan serius, bahkan selama zaman perang. Pengajarnya adalah Dr. Huyung, Andjar Asmara, dan Gayus Siagian. Alumninya antara lain: D Djajakusuma, Suryo Sumanto, Soemardjono, dan Usmar Ismail. Seandainya sejarah film Indonesia ditulis dengan mengenyampingkan identitas etnis, Huyung tentu menjadi figur penting dalam Sinema Indonesia.

Antara Huyung dan Nawi
Apa yang menyatukan Huyung dan Nawi? Montase! Nawi Ismail, dalam riwayat hidup yang ditandatangani pada tahun 1973, tertulis pernah bekerja di Nippon Eiga Sha, sebagai asisten editor dan script boy. Nawi bekerja bersama Huyung! Bahkan kalau kita mencari arsip lebih detail, kita bisa menyatakan bahwa Nawi – lah kaki tangan Huyung. Nawi belajar montase langsung dari Huyung, jauh sebelum Usmar Ismail Bapak Perfilman Nasional mendapatkan kursus singkat pembuatan film di Stiching Hiburan Mataram.
Lalu apa itu montase? Ini adalah teknik menyusun gambar-gambar menjadi satu sekuen. Jalinan gambar ini akhirnya bisa menyatakan sesuatu ke penonton. Contoh paling gampang begini. Gambar pertama adalah dirimu, gambar ke dua adalah temanmu, dan gambar ke tiga adalah nasi goreng pete. Ketika ketiga gambar disusun berurutan maka penonton akan mendapatkan persepsi bahwa kamu dan temanmu sedang makan nasi goreng pete. Istilah montase sendiri dikenalkan oleh Sergei Eisenstein, pembuat film dan teoritisi asal Rusia. Sekarang kita bisa menjumpai ragam montase hingga ke medium populer seperti sinema elektronik.
Saya sendiri selalu menyatakan bahwa Nawi adalah pembelajar
mandiri. Ia belajar membuat film secara otodidak. Sewaktu penjajahan Belanda,
ia belajar lingkungan film saat bekerja sebagai asisten dan figuran di Java
Industrial Film dan Standard Film semasa penjajahan Belanda. Pada masa ini,
Nawi mendapat pengetahuan mengenai ekosistem film dan berjumpa dengan
orang-orang dari seni pertunjukan. Tetapi ketika bekerja bersama dengan Huyung,
Nawi ternyata mengembangkan kemampuannya untuk menyusun gambar. Bisa dikatakan
Nawi adalah sutradara yang cukup unik. Ia berbeda dengan Usmar Ismail atau
Asrul Sani, sutradara yang lebih dahulu ke dunia sastra atau pertunjukan. Nawi
adalah orang film yang belajar langsung dari Huyung, seorang lulusan sekolah
film.
Goodbye Abidin…
Goodbye Farida…
I don’t know why you say Goodbye, I say Hello…
Jadi sebenarnya saya sudah menyerah. Saya menekan rasa penasaran saya atas karya-karya Nawi Ismail. Ingin move on, ganti subjek penelitian! Namun saat saya melihat bahwa nama Nawi Ismail tertulis di credit title film Frieda, saya bersemangat kembali. Aduh! Kisah saya dan Nawi malah seperti Frieda dan Abidin! Sudah say Goodbye tapi malah pingin balikan! Aku tuh gak bisa diginiin…
Anyway… seperti yang sudah saya singgung dalam artikel-artikel sebelumnya, komedi Nawi Ismail itu terukur. Ia mampu membuat kita tertawa meskipun hanya dari gambarnya saja. Komedi Nawi berbeda dengan Nya Abbas Akup yang lebih menonjolkan gurauan intelektual. Komedi Nawi berbeda dengan Anggy Umbara yang cukup bertele-tele dengan adegan. Komedi Nawi berbeda dengan Ernest Prakasa yang hanya mampu menertawakan kelas bawah dalam cerita film. Nawi bisa menciptakan komedi yang terukur dan sistematis karena dia dididik oleh Huyung. Dari film Frieda sendiri, kita bisa melihat bahwa filmnya cukup berbeda dengan film di masanya. Jadi… Hey… Anda jangan main-main sama yang khatam montase. Begitu montase digabung dengan kultur komedi dari seni pertunjukan tradisional, bisa ngakak guling-gulingan Anda!
Saya merasakan bahwa Nawi dan Huyung memiliki kemiripan dalam laju jalinan gambar. Meskipun genrenya berbeda, perpindahan gambarnya sama-sama smooth, hitungannya pas. Kita bisa membandingkan montase terukur ala Nawi dan Huyung melalui adegan berikut: 1) saat Pengki membuka pintu lalu terjatuh di ember dalam Benyamin Biang Kerok; 2) Rangkaian gambar ketika Beni mendapatkan sial saat membuang sepatu boot dalam Benyamin Tukang Ngibul; dengan adegan dalam Frieda saat si tokoh utama salah kira, menduga ketukan pintu untuk dirinya padahal itu untuk si Robijn.
Baca artikel tentang Nawi Ismail yang lain di : Enam Film Benyamin yang Wajib Kamu Tonton, Konsep tatapan dan Komedi dalam Film Nawi,
Imagine you are a detective. You are looking for evidence of a case with minimal information. Suddenly you find simple but significant evidence. Well … the experience of playing a detective, I always do when doing research. I look data holistically, from what can be touch to gossip surround us. Sometimes I was actually driven away by findings that could be present arbitrarily. For example, when I surrendered with Nawi Ismail, I reunited with the work of Huyung, Frieda (1950). From this encounter, the scheme of the aesthetic journey of Nawi Ismail was immediately directed. I feel like finding an enthusiasm to keep digging and searching.
Frieda’s archives and films were presented by Kultursinema in the ARKIPEL festival 2017. Incidentally, I was unable to attend. But now, Fortuna is on my side! Works from Huyung brought to Yogyakarta. Kultursinema exhibition is held on April 3 – 7 2017 at Kedai Kebun Forum. The exhibition that has an aim to seek possibility of expanded cinema is not only showing Huyung films, but also showing film archives from colonial period to the documentation of GANEFO 1963. Posters, magazine reviews, photos of film production, even essays on films juxtaposed with moving images. From the exhibition frame, as an audience we will get a plot of how the culture of movie-going is present in Indonesia.
ABOUT FRIEDA AND HUYUNG
Frieda’s story revolves around the romance of a woman of
Dutch descent and spying work. Frieda and Abidin, an Indonesian, separated for
many years. They met again in a new country, when Indonesia became independent.
The message is clear. Nationalism can be formed from the voluntary nature of
individuals to merge to make Indonesia as their identity. It is shown by Frieda,
the spy with the Kemuning 100 code. Frieda choose not to be trapped in a past,
when Dutch colonialism was glorious. In the end, Frieda decided to live in
Indonesia, not wanting to be in between of heaven and earth.
Frieda’s content is actually quite relevant in seeing art
maps on Java today. The settings are Jakarta, Bandung, and Yogyakarta. In
addition, we are certainly familiar with the contents of FTV (film produced to
be screened only in television), which always presupposes the cities of Bandung
and Yogyakarta as a place to refresh, looking for temporary tranquility from
the bustle of the city of Jakarta. But Frieda
did not show that recreational side. The departure of the characters to
Yogyakarta and Bandung is to answer their own inner turmoil. Abidin’s wife, who
initially doubted her husband’s activism, once she went to Yogyakarta to join
the women’s army directly to help supply food for warfare. While Frieda went to
Bandung to experience what it feels like to stand on two legs. She must be a spy
because of blood ties. On the other hand, she was intrigued by the voluntary
nature of Abidin and Robijn in maintaining independence in their own ways. A trip
out of town is intended to make the sense of nationalism in each character is
getting stronger.
Before making a film, Dr. Huyung or Hinatsu Eitaro came to Indonesia on duty at Nippon Eiga Sha, Japan’s propaganda institution. Huyung joined Javanese Eiga Kosha, editing film footage of the situation in Indonesia during 1942-1945. After independence Huyung joined the BFI (Berita Film Indonesia or Indonesian News Film) following Soekarno’s hijrah to Yogyakarta. Meanwhile in photography, Indonesia had IPPHOS. We can imagine that BFI and IPPHOS are like a collective that works for the purpose of love, maintaining independence during the revolution. These two groups finally disbanded after Indonesian independence recognized by the international community.
While in Yogyakarta, Huyung made Stiching Hiburan Mataram.
Huyung and BFI settled while in refugee camps on Jalan Sembiring No. 5,
Yogyakarta. BFI’s frontman, Dr. Huyung not only recorded, but he also
established study groups on the principle that drama and film production must
be done seriously, even during the war era. The instructors are Dr. Huyung,
Andjar Asmara, and Gayus Siagian. The alumni include: D Djajakusuma, Suryo
Sumanto, Soemardjono, and Usmar Ismail. If the history of Indonesian films was
written by putting aside ethnic identity, Huyung would certainly be an
important figure in Indonesian Cinema.
BETWEEN HUYUNG AND NAWI
What unites Huyung and Nawi? Montage! In a short biography
signed by Nawi Ismail in 1973, it was written that he was working at Nippon
Eiga Sha as an assistant editor and script boy. Nawi worked with Huyung! Even
if we look for more detailed archives, we can state that Nawi was Huyung’s
accomplice. Nawi learned montage directly from Huyung, long before Usmar Ismail
the father of Indonesia Film got a short course on filmmaking at Stiching
Hiburan Mataram.
Then what is montage? This is the technique of arranging
pictures into a sequence. These images can finally express something to the
audience. The easiest example is this. The first picture is you, the second
picture is your friend, and the third picture is mixed rice. When the three
pictures are arranged in sequence, the audience will get the perception that
you and your friend are eating mixed rice. The term ‘montage’ was introduced by
Sergei Eisenstein, a Russian filmmaker and theorist. Now we can find a variety
of montages to popular media such as electronic cinema.
I always state that Nawi is an independent learner. He
learned to make films by self-taught. During Dutch colonialism, he studied film
environment while working as an assistant and extras in Java Industrial Film
and Standard Film during Dutch colonialism. During this time, Nawi gained
knowledge about the ecosystem of the film and met people from the performing
arts. But when working together with Huyung, Nawi turned out to develop his
ability to compile images. Nawi is a director who is quite unique. He is different
from Usmar Ismail or Asrul Sani, the director who came from literary and
performance scene. Nawi came from film scene, learnt filmmaking directly from
Huyung, an alumni of film school.
GOODBYE ABIDIN…
GOODBYE FARIDA…
I don’t know why you say
Goodbye, I say Hello…
So actually I have given up. I suppressed my curiosity over
the works of Nawi Ismail. I want to move on, change the research subject! But
when I saw that the name Nawi Ismail was written in the credit title in Frieda, I am excited. My story and Nawi
are like Frieda and Abidin!
Anyway … as I alluded to in the previous articles, Nawi Ismail comedy is measurable. He can make us laugh even if only from the picture. Nawi comedy is different from Nya Abbas Akup, which emphasizes on the intellectual jokes. Nawi comedy is different from Anggy Umbara, which is quite wordy with the scene. Nawi comedy is different from Ernest Prakasa, which is only able to laugh at the lower classes in the film’s story. Nawi could create measurable and systematic comedy because he learnt from Huyung. From Frieda, we can see that the film is quite different from the film of its time. So … Hey … please don’t mess with people who finished montage theory. Once montage is combined with a comedy culture from traditional performing arts, laughs will kill you!
I feel that Nawi and Huyung have similarities in the
interweaving speed of the image. Even though the genre is different, the
transfer of images is equally smooth, the count is just right. We can compare
the measured montage of Nawi and Huyung’s style through the following scene: 1)
when Pengki opened the door and fell into a bucket in Benjamin Biang Kerok; 2) A series of pictures when Beni gets bad
luck when throwing boots at Benyamin
Tukang Ngibul; with a scene in Frieda when the main character was wrong,
guessing the knock on the door for him even though it was for the Robijn.
Read another article about Nawi Ismail in: Six Benjamin Films that You Must Watch, Gaze and Comedy in Film Nawi,