Instagram feed terlintas setelah melihat keseluruhan rupa Milly & Mamet (2018). Pilihan properti, warna rumah, ruangan serba hitam milik anak konglomerat, dan cara kamera mengambil makanan merupakan rupa yang awam dijumpai sekarang ini. Kesan instagramisme dan video klip K-pop begitu kuat. Apakah ini upaya Ernest Prakasa selaku sutradara yang hendak menerjemahkan fenonema rupa di media sosial? Ataukah ia hanya berhenti sebagai peminjam?
Kemudian, bila Milly & Mamet diniatkan sebagai komedi, apakah ia sudah berhasil? Memahami komedi sendiri seperti memahami kerja Jack in the box (lihat penjabaran Alenka Zupančič mengenai hasrat dan subjek komikal). Ada sesuatu yang terus mendorong. Begitu kotak dibuka, ia muncul dan mengagetkan. Komedi memiliki potensi untuk mengagetkan, mengganggu tatanan sosial yang telah mapan. Tawa adalah cara kita sebagai subjek untuk bisa memahami kerja kolektivitas (McGowan, 2016: 212 – 216). Oleh sebab itu, kita tidak akan pernah bisa tertawa seorang diri. Apakah Milly & Mamet yang dipenuhi komika Indonesia sudah sampai pada tahapan tersebut? Ataukah ‘komedi’ hanya berakhir sebagai jargon belaka?
Desain Rupa ala Instagram
Hitam ruang kerja James si investor. Tekstur dindingnya berbentuk segitiga. Lukisan di ruang tunggu menggantung, menjadi momok Mamet saat berhadapan dengan Isyana Sarasvati yang sedang berperan sebagai sekretaris. Mamet terbiasa dengan kehangatan warna hijau telur asin dipadu dengan sofa merah. Tubuhnya sudah menyesuaikan desain town house. Sedangkan Pak Sony, Bapak Milly, memiliki pabrik serupa permen warna-warni. Mesin jahit bisa dijinakkan oleh warna kain dan benang. Pelengkap, ada Yongki yang diperankan oleh sutradaranya sendiri. Suasana hati Yongki gamblang terbaca melalui kata-kata mutiara di topi yang ia kenakan.
Melihat desain yang ditampilkan Ernest ke dalam citra seperti kembali melihat video klip K-pop. Terkadang memang muncul gambar yang dipinjam dari Instagram. Misalnya adegan Somat naik tangga, kamera dari atas hanya menampilkan kepala, sedangkan dua per tiga proporsi gambar adalah lantai berwarna hijau telur asin. Citra minimalis ini juga hadir saat kamera menangkap setengah kepala Mamet yang berada di bawah lukisan bergambar James dan bapaknya. Kemudian saat kamera mengambil gambar makanan, pengalaman melihat gaya serupa dalam intagram # food muncul. Tak kalah menarik, adegan ketika Lela dan IIN, sekretaris dan admin pabrik sedang sibuk di meja masing-masing dengan latar belakang ruangan jahit.
Ernest memang hendak menyampaikan sebuah atmosfer ke dalam citra filmya. Ini memang seperti karakter citraan di Instagram, di mana gambar yang estetis itu lebih menonjolkan atmosfer (the atmospheric) dan rasa (the feeling). Dalam “Notes on Instagrammism”, Lev Manovich menyatakan Instagramisme merupakan citra yang memiliki desain puitis (poetic design, diambil dari poetic realism minus aspek naratifnya). Dalam citra Instagram, kesejarahan objek bukan yang diutamakan. Ia hanya memunculkan stimulasi rupa. Good-looking images sebutannya. Manovich juga melacak pola instagramisme yang ada dalam video klip kontemporer seperti K-pop. Potensi instagramisme untuk mempengaruhi foto komersil pun tidak ditampik Manovich. Namun seberapa besar pengaruh instagramisme ini ke dalam film Milly & Mamet yang ternyata sangat naratif dan justru menonjolkan dialog antar pemain?
Bila membandingkan dengan Ada Apa dengan Cinta 1 & 2, karya Ernest justru mengasingkan karakternya dari dinamika kota. Dalam AADC 2 (Riri Riza, 2016), kamera mengijinkan penonton untuk melihat karakter kota Yogyakarta dari mata turis. Sedangkan AADC 1 (Rudy Soedjarwo, 2002) penanda Jakarta dihadirkan lewat Kwitang dan macet. Sedangkan di sini, pengambilan gambar Milly & Mamet lebih banyak berada dalam ruangan, tempat di mana Ernest mampu menghasilkan rupa good-looking dan atmospheric. Bahkan restoran Chef Mamet pun dibuat berjarak dengan pengalaman Jakarta sebagai kota urban. Kesengajaan menghindari kota yang dinamikanya cepat ini tak lain karena Ernest masih berpegang teguh pada gaya instagramisme, saat tubuh mampu mendominasi ruang. Ini disinggung pula oleh Manovich (2016), “New York tidak mampu menjadi kota top untuk Instagram karena dinamikanya yang terlalu cepat dan kotanya yang terlalu padat”.
Meskipun demikian, ada satu titik di mana Ernest akhirnya tunduk pada sejarah. Inilah yang menyadarkan penonton bahwa yang mereka lihat masih berada di Indonesia. Lukisan potret keluarga utuh, kursi kayu berukir, dan filter coklat tanah yang ada dalam rumah Pak Sony, menjadi pengingat. Rumah bapak Milly merupakan tipikal orang kaya lama yang mungkin objek-objeknya masih bisa dijumpai di rumah orang-orang Generasi X di Indonesia. Memori sejarahnya terlalu kuat. Dan ia seperti “memakan” gambar-gambar lain yang diniatkan untuk menyamankan mata penonton.
Lagi-lagi Instagram
Tidak hanya rupa, pola konsumsi pengguna Instagram turut diangkat. Karakter Milly sebagai wakilnya. Setelah menjadi Ibu-penuh-waktu, Milly selalu update berita, kepo hubungan Alex dan Mamet, dan mengunggah kebersamaan keluarganya melalui Instagram. Ketika Milly-Mamet berselisih, mereka justru melihat kembali arsip video untuk menurunkan ego masing-masing.
Click… click… click… and post…
Bandingkan dengan Aruna dan Lidahnya (Edwin, 2018). Pesan bahwa perkara makan adalah mencari penikmatan begitu kuat. Kamera Edwin seakan menghormati makanan yang disajikan di depannya. Ia ingin menerjemahkan kelezatan makanan ke dalam citraan, sama seperti tukang review yang ingin membagikan kebahagiannya bisa mencicipi makanan yang beyond enak. Sedangkan Milly & Mamet, perihal makanan adalah perkara mengiklankan. Makanan ditata semenarik mungkin, disajikan secara terburu-buru, kemudian click rekam. Kebersamaan menyantap makanan malah hilang padahal film ini diniatkan sebagai film keluarga.
Baca tulisan Aruna dan Lidahnya hanya di Jurnal Footage.
Pada akhirnya Ernest hanya merayakan pola konsumsi yang didorong oleh kehadiran Instagram. Hasrat pengguna yang dipantik karena melihat citra Instagram selalu ditekankan tanpa mempertanyakan lebih dalam mengenai pola konsumsi semacam ini. Kehadiran karakter @ mamah_itje sebagai selebgram menjadi penegas bahwa Ernest tidak menampik fenomena famous in 60 seconds yang diakomodir oleh Instagram.
Komedi Hasil Gagalnya Komunikasi
Komunikasi itu selalu gagal. Karena kegagalan inilah kita terus berbicara untuk menjelaskan sesuatu. Disamping rupa instagramisme, karakter Milly & Mamet memang disengaja untuk selalu terus berbicara. Mamet mengejar passion, Milly kebosanan menjadi Ibu-penuh-waktu, hingga @ mamah_itje yang selalu bicara saat melahap makanan hasil review. Momen diam, mengerti segala duduk perkara, hingga akhirnya memaafkan satu sama lain justru hadir saat Milly-Mamet melihat arsip video di Instagram.
Sama halnya seperti film komedi lainnya, karakter marginal menjadi kuncian untuk mengangkat humor. Ini bisa dilihat dari interaksi Sari si asisten rumah tangga Milly dan kehadiran Somat si office boy yang menjadi bualan IIN si admin dan Lela si sekretaris. Namun Ernest tampaknya kurang peka sehingga titik yang mengangkat humor ini justru menjadikannya seperti media ajar bagi Sari dan Somat. Kedua karakter ini terus-menerus diberitahu untuk mengikuti tata cara Milly-Mamet selaku pemegang otoritas dalam film.
Bila tawa itu menyasar pada pemilik otoritas, maka ia mampu mengangkat identitas karakter yang marginal dalam cerita. Bila komedi mampu membuat kita menertawakan kelas atas maupun kelas bawah, maka ia mampu membebaskan kita. Alih-alih mengajak penonton untuk menertawakan hierarki yang tercipta dalam semesta Milly & Mamet, Ernest ternyata hanya sanggup menertawakan kenaifan dan kepolosan karakter marginal tersebut. Maka bila tidak ada perubahan besar dalam pengembangan karakter maupun cerita, itu sudah lumrah.
Baca Suzzanna: Bernapas dalam Lumpur
Penggunaan tubuh dan ruang sendiri menjadi ciri khas film komedi Indonesia. Dalam Benyamin Tukang Ngibul (Nawi Ismail, 1975), tubuh Benyamin menjadi momen untuk mendatangkan tawa. Bisa dilihat seperti dalam adegan Beni memancing sanggul dan sepatu boot yang mendatangkan kesialan beruntun. Tubuh yang berbicara. Karena desakan dari dalam tubuh Beni inilah gelak tawa dalam film berjalan dinamis. Film ini sendiri pada akhirnya mampu menertawakan kelas atas dan kelas bawah secara bersamaan.
Untuk contoh yang lebih kekinian bisa dilihat dalam Suzanna: Bernapas dalam Kubur (Rocky Soraya dan Anggy Umbara, 2018). Adegan Opie Kumis keselek (tersedak) seperti membawa penonton pada pengalaman keseharian kemudian meluruhkan pengalaman ini ke dalam tawa. Tubuh Opie Kumis mampu memainkan sekaligus mewakili pengalaman keselek tersebut. Meskipun sama-sama mengangkat topik keselek, Ernest justru tidak memercayakan tubuh pemainnya. Percakapan Mamet dan asisten rumah tangganya malah membawa keselek sebagai sesuatu yang asing hingga harus dijelaskan terus-menerus.
Robby : Mau Mojito?
Sari : Saya mo minum… kok malah mohito…
IIN : Eh lohor.. lohor.. (adzan dzuhur) jam berapa ya?
Yongki (Ernest): Mana gua tahu! Gua Konghucu!
Humor Milly & Mamet ternyata hanya berhenti untuk melanggengkan gap kelas sosial. Ernest menggunakan stereotype kelompok tertentu untuk membangun kesinambungan cerita. Ia tidak mempertanyakan, tetapi justru membiarkan perihal rasial dan kelas mengalir begitu saja. Disokong dengan rupa good-looking ala Instagram, penonton semakin dinyamankan. Stereotype seperti kelas menengah urban memiliki akses lebih pada pergaulan, kelas bawah yang harus diajari untuk bisa memahami majikannya, dan konglomerat dengan kasus money laudry-nya, semuanya dibiarkan sewajar dan senyaman mungkin untuk ditonton.
Kemudian, perihal penggunaan komika sebagai pemain film justru semakin menekankan kegagalan komunikasi. Kebiasaan komika yang selalu menjelaskan jokes seorang diri di depan panggung dibawa mentah-mentah ke dalam layar. Maka bila jokes itu terkesan kering, itu bisa jadi karena komikanya yang terlalu banyak menjelaskan. Tetapi bisa pula karena Ernest belum memiliki pegangan atau titik berangkat untuk menyatukan jokes dari para pelawak tunggal dalam filmnya.
Rereferensi
Zupančič, Alenka. 2008. The Odd One In: On Comedy. Cambridge: MIT Press.
Referensi Online
McGowan, Todd. 2016. “The Barriers to a Critical Comedy”. Sumber: http://www.academia.edu/33209536/The_Barriers_to_a_Critical_Comedy diakses pada 10 April 2018.
Manovich, Lev. 2016. “Notes on Instagrammism”. Sumber: http://manovich.net/index.php/projects/notes-on-instagrammism-and-mechanisms-of-contemporary-cultural-identity diakses pada 25 Desember 2018.
Milly & Mamet (2018)
Akhirnya Milly dan Mamet bisa hidup mandiri tanpa perlu menempel dengan kisah Ada Apa dengan Cinta?. Milly sibuk mengurus anak hingga ia merasakan kebosanan dan hanya bisa me time melihat Instagram feeds. Mamet ingin menjadi chef, mengejar passion-nya selama ini. Problematika keluarga muda ini hanya bertumpu pada permasalahan kelas menengah urban, di mana istri harus memilih menjadi aktif di luar atau fokus mengurus anaknya sendiri. Akhirnya win-win solution. Mamet dan Milly bekerja sama mengelola Milly’s Meal dari rumah mereka. Mamet menjadi juru masak dan Milly aktif mengiklankan.
Sutradara : Ernest Prakasa
Pemeran : Sissy Priscillia, Dennis Adhiswara, Julie Estelle, Yoshi Sudarso, Dian Sastrowardoyo, Adinia Wirasti, Titi Kamal, Ardit Erwandha, Arafah Rianti, Roy Marten, Ernest Prakasa, Isyana Sarasvati, Eva Celia, Melly Goeslaw, Aci Resti, Dinda Kanyadewi, Bintang Emon, Tike Priatnakusumah, Muhadkly Acho, Surya Saputra, Gebi Ramadhan.
Durasi : 101 menit
Genre : Drama Komedi
Rumah Produksi: PT Kharisma Starvision Plus, Miles Films