Suzzanna: Ketika Horor jadi Komedi

Suzzanna Bernapas dalam Kubur berusaha mendekati tahun 1989 sebagai latar waktu cerita. Ada banyak hal yang hendak disampaikan oleh film ini. Pertama, melalui pembangunan latar tempat yang disesuaikan dengan era 1980-an, ia berusaha membawa penonton pada sisi nostalgia. Kedua, penghalusan mengenai konsep ‘sundel bolong’, menghilangkan sundal sebagai akar kelahiran hantu perempuan ini. Ketiga, penghilangan negara dan masyarakat, membiarkan masalah keluarga hanya bisa diatasi oleh individu semata. Keempat, tampilan adegan agresivitas yang diduplikasi sebagai pernyataan bahwa film ini masih terkait dengan dominasi kekerasan dalam film Indonesia sekarang. Kelima, penggunaan komedi dengan porsi lebih banyak sehingga mengaburkan sisi menyeramkan dari penghadiran sosok hantu.

“Eh itu alisnya luntur”
(ganti gambar Suzzanna bangun dan sigap)
“Eh alisnya rapi lagi”
– penonton perempuan di Depok Town Square, 15 November 2018, 11.00 WIB.

Thank to my Capricornian proofreaders: Anne Shakka & Melisa Angela

Saya memosisikan diri sebagai penonton yang sedang melihat upaya tim produksi film untuk mengambil elemen horor dari film lampau. Meskipun sedari awal tim pembuat Bernapas dalam Kubur (selanjutnya akan disebut sebagai Bernapas) sudah mewanti-wanti penonton bahwa film ini berbeda dengan film Suzzanna Martha Frederika Van Osch lainnya, tetapi entah mengapa setiap gambar dan adegan di dalamnya pasti merujuk ke salah satu film di masa lalu. Film mendiang Suzzanna pada tahun 1980-an memiliki cerita kuat, gambar lebih berani dalam bereksperimentasi, serta disokong dengan karakterisasi wajar. Tidak adil memang untuk melanjutkan perbandingan ini. Namun harus saya akui, capaian Bernapas yang disutradarai oleh Rocky Soraya dan Anggy Umbara ini hanya membawa pada sisi nostalgia semata, mengajak melihat almarhum Suzzanna dengan tubuh Luna Maya. Cara Suzzanna menghukum pelaku kejahatan dalam cerita juga bisa dibilang mirip, tidak ada yang baru.

Untuk membangun kondisi rumah Suzzanna yang jauh dari peradaban kota, lingkungan desa. Dari pilihan gambar, penonton seperti dibawa pada tempat yang terisolasi, jauh dari keramaian. (Courtesy Soraya Intercine Film)

Membaca Sundel Bolong

Secara garis besar, film ini terbagi ke dalam dua babakyang saya sebut sebagai ‘Kemalangan’ dan ‘Balas Dendam’. Suzzanna (Luna Maya) dan Satria (Herjunot Ali) tinggal di sebuah kawasan desa, jauh dari peradaban kota. Diceritakan keluarga kecil ini sedang berbahagia. Namun kegembiraan berubah jadi malapateka saat Satria harus pergi ke Jepang untuk keperluan bisnis. Empat karyawan Satria (diperankan oleh Alex Abbad, Teuku Rifky Wikana, Verdy Solaeman, dan Kiki Narendra) yang terlanjur dendam karena bosnya tak ingin menaikkan gaji mereka, membuat keputusan untuk merampok rumah. Sungguh sial nasib Suzzanna, ia terjebak karena menyaksikan keempat orang ini merampok. Dalam suasana kalut, tanpa sengaja Suzzanna tertusuk. Empat orang ini akhirnya mengubur Suzzanna hidup-hidup. Aksi mereka tidak terendus hingga akhir film. Suzzanna menjadi sundel bolong, membalaskan kematian diri dan anak yang dikandungnya.

Dari sinopsis bisa dilihat bahwa Bernapas mengambil beberapa elemen dari Sundel Bolong (1981) karya Sisworo Gautama Putra. Suzzanna dan Satria seperti Alisa dan Hendarto; empat karyawan Satria seperti empat penjegal yang memperkosa Alisa. Selain cerita, elemen lain yang diambil dari film Sisworo adalah penggunaan foto pasangan, kepergian tokoh utama pria ke Jepang (Satria berbisnis, Hendarto kapten kapal), hantu perempuan dengan punggung berlubang, dan adegan perempuan dijegal empat laki-laki. Sedangkan cara-cara menghukum pelaku, Bernapas seperti mengombinasikan film satu dengan yang lain. Jonal, salah satu pembunuh Suzzanna, yang dihukum di kamar mandi umum di tengah hutan, seperti ingin membuat properti penghukuman dalam Sundel (adegan dalam kamar putih, dengan kayu menghujam). Kemudian gambar Alex Abbad dan kepalanya yang jatuh seperti mengambi gambar Ratu Ilmu Hitam (1981) karya Lilik Sudjio.

Bagaimana Cara Bernapas Menyajikan 1989 Sebagai Latar?

Bila melihat ke belakang, tahun 1980-an merupakan tahun yang cukup penting dalam sinema Indonesia, sekaligus sejarah Indonesia pada umumnya. Meskipun investasi di Indonesia sudah mulai mapan, tetapi akses terhadap teknologi pembawa hiburan masih sangat terbatas di masyarakat. Kemapanan industri di Indonesia ditunjukkan melalui penggunaan lukisan portrait di rumah Satria, mengindikasikan bahwa pemiliknya mengikuti trend orang gedongan pada masa ini. Lukisan dipakai sebagai penanda status sebuah keluarga. Ada dua lukisan yang selalu dimunculkan ke dalam gambar seperti lukisan Satria dan Suzzanna yang sedang duduk, serta lukisan dengan wajah Suzzanna berbaju putih dengan mata melotot. Kemudian, penugasan Satria ke Jepang untuk membicarakan investasi juga menjadi cara film ini untuk mendekati tahun 1989.

Lukisan Suzzanna tergantung di ruang utama. Matanya mendelik. Dilihat sepintas pun, bagian kepala dan badan seperti tidak utuh menyatu. Warnanya jauh berbeda, seperti ditumpuk. Kejanggalan yang lain adalah, postur tubuh yang tidak sinkron dengan raut wajah Suzzanna sebagai lukisan. (Courtesy Soraya Intercine Film)

Pendekatan selanjutnya dengan menghadirkan layar tancap sebagai pusat hiburan. Dalam sekuen Suzzanna dan pembantunya pergi ke lapangan desa untuk melihat film, antusiasme masyarakat pada hiburan dihadirkan. Mereka menonton flm-film Suzzanna lama, menutup mata ketika adegan menyeramkan datang. Penggunaan layar tancap pada tahun 1989, menurut saya sendiri sebenarnya sedikit berlebihan. Dalam film Nawi Ismail, Memble tapi Kece (1986), Nawi sudah menunjukkan akses masyarakat pada televisi sebagai pemberi hiburan. Adegan masyarakat kelas bawah menonton televisi dalam film Bernapas sendiri sebenarnya turut dihadirkan dalam adegan pembantu melihat film horor lama. Tetapi porsi layar tancap ini justru lebih besar, sehingga kesan pembawa nostalgia saja yang menonjol.

Bagaimana ‘Sundel Bolong’ diperhalus?

Dalam lema KBBI, ‘sundel’ merupakan kata tak baku dari ‘sundal’. Kata ‘sundal’ sebagai adjektiva berarti buruk kelakuan (tentang perempuan); lacur; jalang; sedangkan sebagai nomina berarti perempuan jalang; pelacur. Sutradara yang mempresentasikan perempuang jalang sebagai sundel bolong adalah Sisworo dalam Sundel Bolong. Dalam film ini, Suzzanna adalah mantan pekerja seks komersil yang diperkosa dan hamil kemudian memutuskan bunuh diri. Ia menjadi sundel bolong karena dalam hidupnya ia pernah menjadi pelacur. Dari beberapa artikel online mengenai kategorisasi hantu nusantara, sudah menjadi pemahaman umum bahwa sundel bolong berasal dari perempuan jalang yang mati dalam keadaan hamil. Sundel bolong dibedakan dari ‘kuntilanak’, hantu yang konon berkelamin perempuan, suka mengambil anak kecil atau mengganggu wanita yang baru saja melahirkan.

Suzzanna dalam Bernapas memang mati dalam keadaan hamil dan membawa dendam, tetapi dia bukan sundal. Pada titik ini, beragam pertanyaan akan timbul. Mengapa Suzzanna harus menjadi sundel bolong? Mengapa masyarakat dalam film justru menyebut Suzzanna sebagai sundel? Demi menjawab pertanyaan yang demikian, Bernapas harus menjelaskan berulang-ulang mengenai status sundel bolong dalam filmnya.

Baca tentang Kuntilanak dalam Ulasan Asih

Penjelasan pertama datang dari pembantu Suzzanna ketika mereka menonton film lama. Opie Kumis menjelaskan bahwa sundel bolong bisa hadir di masyarakat karena mereka mati dalam keadaan hamil. Sedangkan Ence Bagus menambahkan bahwa sundel bolong ada karena urusan yang belum selesai. Dalam adegan ini, Suzzanna yang duduk di belakang mengamati sekaligus mencerna kata-kata dari pembantunya. Ia seolah-olah sedang belajar mengenai dirinya sendiri. Penjelasan dari pembantunyalah yang akhirnya membuat Suzzanna yakin bahwa ia harus menuntut balas. Kemudian, penjelasan kedua datang dari dukun dalam sekuen karyawan Satria meminta bantuan karena mereka diteror hantu Suzzanna. Dukun bernama Mbah Turu menjelaskan bahwa sundel bolong adalah hantu paling superior, hantu yang paling susah ditundukkan. Dendam sebagai bensin akan membawa sundel bolong melintasi dunia arwah dan dunia manusia. Bila urusannya di dunia sudah selesai, maka ia akan kembali ke dunianya.

Tiga karakter yang menyelamatkan film. (Courtesy Soraya Intercine Film
Suzzanna menyadari bahwa dirinya sundel bolong. (Courtesy Soraya Intercine Film)

Dari dua penjelasan yang menghilangkan aspek ‘sundal’ tersebut, bisa disimpulkan bahwa film ini ingin menunjukkan masyarakat yang bersih dari perempuan jalang. Kesejarahan sundel bolong dihilangkan. Pun ini juga diperkuat dengan pembangunan tokoh Suzzanna yang tidak memiliki sejarah dalam film. Penonton tidak mengetahui aspek seperti apa yang dimiliki perempuan ini sehingga ia harus berakhir tragis.

Bagaimana Bernapas Mempresentasikan Masyarakat?

Bila Asih menunjukkan masyarakat yang cenderung individualistis, maka dalam Bernapas masyarakat ditunjukkan sebagai yang agamis, individualistis, dan penggosip. Permasalahan keluarga tidak menjadi bagian dari masyarakat. Ini berbeda dengan Sundel Bolong, ketika kejadian pemerkosaan Alisa bisa sampai diperbicangkan ke ranah publik dan diselesaikan oleh masyarakat dan negara. Kasus Suzzanna yang berubah menjadi sundel bolong tidak pernah disampaikan secara lugas, bahkan orang-orang dalam Bernapas tidak ingin mencari tahu lebih lanjut mengenai perubahan tersebut. Masyarakat dalam film ini justru menghindar, dan lebih memosisikan diri agar terlindung dari sundel bolong. Ini bisa dilihat dalam adegan pembantu Suzzanna yang pergi setelah mengetahui majikannya menjadi hantu. Alih-alih mencari tahu apa yang terjadi pada majikannya, mereka malah pergi menjauh dari masalah.

Masyarakat yang agamis ditampilkan lewat semaraknya surau di kala subuh. Ini berbeda dengan film Ratu Ilmu Hitam, misalnya yang menunjukkan awal mula pembangunan surau supaya bisa dipakai masyarakat untuk berkumpul. Keluarga Satria dan Suzzanna sebagai bagian dari masyarakat juga ditampilkan selalu mengikuti sholat subuh di masjid sekaligus memiliki jadwal untuk mengaji. Upaya untuk menunjukkan masyarakat yang taat sembahyang ditunjukkan melalui serangkaian gambar ketika kedua tokoh utama ini berada di masjid.

Membaca Gambar Ratu Ilmu Hitam

Terakhir, masyarakat ditunjukkan sebagai penggosip. Dalam film horor tahun 1980-an, Kyai selalu berperan sebagai pemberi solusi. Namun, dalam film ini, kyai hanya bertugas sebagai penyampai pesan. Ini terlihat dalam adegan Satria setelah salat subuh dan dicegat oleh Pak Kyai dan istrinya. Mereka menanyakan perihal keabsenan Suzzanna selama salat subuh sekaligus gosip yang beredar mengenai sundel bolong. Tidak ada tindakan lebih lanjut untuk mengajak Satria mencari solusi bersama. Satria diminta mencari tahu kebenaran gosip itu seorang diri, hingga sampailah ia pada keputusan untuk mengajak Suzzanna yang sudah menjadi sundel bolong untuk mengaji. Dalam adegan ini, akhirnya Satria mengetahui bahwa istrinya bukanlah istrinya.

Seperti yang sudah disinggung dalam Asih, ketidakhadiran masyarakat dan negara dalam film horor Indonesia sekarang tampaknya sudah menjadi trend. Asumsinya, bisa jadi sutradara Indonesia sekarang memang tidak bisa memahami sisi komunal dalam masyarakat. Kemudian bisa saja, film-film Indonesia sekarang memang tidak ingin memercayai masyarakat dan negara. Kelompok ini sudah dihilangkan dalam film-film komersil. Tatanan masyarakat sudah tidak berlaku lagi.

Mulanya Satria dan Suzzanna masih menjadi bagian dari masyarakat. Setelah kematian Suzzanna, mereka terpisah. Masyarakat mengukur keberadaan dua karakter ini hanya dengan ada atau tidaknya mereka hadir di masjid. (Suzanna: Bernapas dalam Kubur, 2018)

Agresivitas dalam Gambar

 Pertanyaan mengenai subjek semacam apa yang hendak dibangun dari penghadiran adegan penuh kekerasan pernah saya lontarkan saat menuliskan Wiro Sableng 212, karya Angga Dwimas Sasongko. Tampaknya sudah menjadi hal lumrah bahwa kekerasan itu ditampilkan secara berlebihan. Kepala terpenggal; leher tergorok; darah muncrat; mulut tertancap batang kayu; penusukan membabi-buta, semuanya dihadirkan secara beruntun dalam film ini. Ketakutan semacam apa yang hendak diciptakan? Apa yang hendak disasar?

Gambar-gambar yang terkadang susah dicerna akal sehat sebenarnya lazim ditemui dalam film horor 1980-an. Bedanya, gambar-gambar ini sengaja dibuat untuk menanamkan kepatuhan pada penonton selaku subjek. Efeknya baru bisa dirasakan sekarang. Dalam Ratu Ilmu Hitam dan Sundel Bolong, penggunaan gambar kekerasan untuk memunculkan sisi keadilan yang dibawa oleh negara. Kekerasan diidentikkan berasal dari kalangan terpinggirkan dari masyarakat. Ketika semua itu dibasmi, negara pada akhir cerita hadir untuk menyajikan imaji hidup sejahtera dengan penghapusan para “penjahat” dalam film. Pesan moral bisa hadir ketika ia disandingkan dengan konsekuensi tindak kekerasan yang identik dengan kejahatan.

Baca Ulasan Tentang Wiro Sableng 212

Hal semacam ini tidak tampak dalam Suzzanna. Karena masyarakatnya sudah dihilangkan, lalu untuk apa adegan perkelahian dengan mucratan darah itu selalu dihadirkan? Apakah hanya untuk menghadirkan ketegangan yang sekarang tampaknya menjadi semakin wajib hadir dalam produksi film Indonesia?

 Ketika Horor Menjadi Komedi

Penggunaan jump scare dalam Bernapas terbilang minim. Wajah sundel bolong terkadang dihadirkan seram, tetapi gambar ini langsung ditindih dengan raut memelas seorang perempuan yang kehilangan anak sekaligus suaminya. Sedangkan untuk latar suara tertentu sebagai penanda kehadiran makhluk halus masih kalah kehadirannya dengan musik orkestra yang selalu digunakan. Musik utama ini hadir dalam adegan pembuka, adegan penguburan, dan bagian terakhir film. Kesan seram itu hilang. Pertimbangan yang lain: cerita dari Suzzanna dan Satria sendiri lebih mirip drama, adegan perkelahian dan muncratan darah yang mendominasi setengah film, serta musik yang sebenarnya tidak mendukung unsur seram itu.

Penyajian rumah terbakar dibuat untuk menghilangkan bukti. Sundel bolong dianggap seperti penyihir yang memiliki kekuatan di luar batas. (Suzzanna: Bernapas dalam Lumpur, 2018)

Kemudian yang paling mendominasi adalah penghadiran elemen pembawa tawa. Biasanya elemen ini digunakan dalam adegan yang menghadirkan rakyat jelata dalam cerita. Porsi ketiga pembantu Suzzanna justru lebih dominan, sehingga ia mampu menyelamatkan jalannya film. Mereka bisa membuat penonton tertawa seperti dalam adegan Opie Kumis yang keselek bakso dan adegan ketiga pembantu hendak membuka sosok majikan mereka. Adapula di awal cerita, ketika tiga pembantu sedang menonton layar tancap. Asri Welas seperti menjadi sterotipe rakyat jelata kebanyakan yang sedang menonton film horor sehingga gestur yang ia sajikan mampu mengundang tawa.

Secara umum, tawa selalu ditujukan pada pemberi otoritas. Dalam Bernapas, seperti yang sudah ditekankan di atas, masyarakat bukanlah penjamin otoritas. Di sini yang bertindak sebagai pemberi otoritas adalah film Bernapas dalam Lumpur sendiri dan kehendaknya untuk memanggil pengetahuan umum mengenai mitos yang telah berlangsung di masyarakat. Tentu ketika seorang penonton mendapati alis Suzzanna yang melorot, ia akan membuat seisi bioskop tertawa. Film sebagai otoritas telah ditelanjangi, hingga ia menghadirkan sendiri ketidakmampuannya untuk membuat film ini rapi. Kemudian adanya lukisan yang lebih mirip kolase lukisan, sekali lagi menunjukkan ketidakmampuan film untuk menyatukan kepingan penyokong latarnya.

Kesimpulan

Akhir film ini sebenarnya cukup menyedihkan. Satria ternyata mati. Akhirnya sepasang suami istri ini bisa bersama kembali di alam lain, bercengkerama di depan rumah yang sudah dibakar oleh warga. Akhir ceritanya berbeda dengan Sundel Bolong, saat Hendarto akhirnya masih hidup dan menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya. Bernapas dalam Kubur tampaknya lebih bersimpati pada hantu sundel bolong sehingga ia memberikan semacam imaji adanya kebersamaan sesudah kematian.

Suzzanna: Bernapas dalam Lumpur

Sutradara       : Rocky Soraya dan Anggy Umbara
Pemeran        : Luna Maya, Herjunot Ali, Clift Sangra, Teuku Rifnu Wikana, Alex Abbad, Verdi Solaiman, Kiki Narendra, Asri Pramawati, Opie Kumis, Ence Bagus
Durasi             : 125 menit
Genre              : Horor
Rumah Produksi: Soraya Intercine Films

1 thought on “Suzzanna: Ketika Horor jadi Komedi”

  1. Pingback: Antara Huyung dan Nawi Ismail: Montase | Umi Lestari

Leave a Reply