“I make myself cry, in order to prove to myself that my grief is not an illusion: tears are signs, not expressions. By my tears, I tell a story, I produce a myth of grief,” Roland Barthes (A Lover’s Discourse, 1977: 182)
Meskipun dua film ini bukan apple to apple untuk dibandingkan, tetapi mereka memiliki kesamaan. Pertama, Hanum & Rangga: Faith & the City serta A Man Called Ahok seperti sama-sama ingin menyambut musim 2019. Hanum jelas-jelas untuk pemilihan umum, menaikkan nama sosok Hanum Salsabiela Rais di depan publik; sedangkan Ahok untuk menyambut hari kebebasan mantan Gubernur DKI Jakarta ini yang jatuh pada bulan Januari 2019. Kedua, film ini berfungsi sebagai medium kampanye. Hanum S.R. sendiri tercatat mengikuti prosedur pemilihan legislatif di Yogyakarta. Ahok dipakai untuk menjadi salah satu jalan memulihkan nama baik Basuki Tjahaya Purnama.
Therefore, thank to my Capricornian proofreaders: Anne Shakka & Melisa Angela
Selain kesamaan di atas, Hanum dan Ahok juga menitikberatkan pada penggunaan air mata dalam media. Salah satu aspek paling penting dalam memahami manusia ini ditekankan dalam isi film. Bedanya, Hanum lebih menyoroti dan seakan mengkritisi penggunaan air mata dalam acara bincang-bincang maupun live di televisi. Sedangkan Ahok, air mata menjadi unsur untuk meminta penonton larut dalam kisah Ahok dari ia kecil hingga menjadi pejabat di Belitung. Seperti apa air mata dibicarakan, dikritisi, dimaknai, dan juga dikelola dalam film ini?
Air Muka Hanum dan Ahok
Hanum dibuka dengan keputusan pasangan suami istri. Hanum (diperankan Acha Septriasa) dan Rangga (Rio Dewanto) akan kembali ke Vienna. Sepanjang film tokoh-tokohnya menyebut Vienna dengan pelafalan [vee-en-uh], bukan Wina [wi-na] yang memang lebih awam didengar di Indonesia. Bila diniatkan sebagai film lanjutan, kisah Hanum dengan Benni Setiawan selaku sutradaranya, masih melanjutkan cerita pasutri Hanum dan Rangga yang dimulai dari film 99 Cahaya di Langit Eropa (2013). Tetapi bila diniatkan sebagai cerita lepas, Hanum bisa dikatakan mandiri, terpisah dari film sebelumnya. Film ini tidak menekankan pada kesinambungan tersebut. Hal-hal terkait dengan film sebelumnya hanya digunakan ala kadarnya, seperti penulisan artikel Hanum mengenai peristiwa 09/11 ataupun tokoh dalam film sebelumnya (Azima Hussein dan Philippus Brown) yang ditampilkan hanya sebagai pemanis.
Keputusan untuk tinggal lebih lama di New York dilakukan pasutri ini ketika Hanum mendapatkan tawaran magang di GNTV, New York. Andy Cooper (Arifin Putra) selaku CEO GNTV tertarik dengan artikel 09/11 dari Hanum. Dengan Samanto/Samantha (Alex Abbad) selaku produser, Hanum menjalani kehidupan magang yang hampir merusak rumah tangganya. Deadline dan rating membuat Hanum menjadi wanita karir, melupakan tugas utamanya sebagai istri. Salah paham terjadi. Hanum menuduh Rangga selingkuh dengan Azima; Rangga menuduh Hanum selingkuh dengan Cooper.
Klimaksnya, Hanum diminta menjadi produser, sedangkan Rangga mengizinkan istrinya mengejar karir dan pergi sendiri ke Wina untuk menyelesaikan disertasi. Pada saat bersamaan, sosok Andy Cooper terkuak. Hanum membuat talk show mengundang orang-orang yang pernah dikecewakan oleh Cooper sebagai bintang tamu. Akhirnya Cooper terdepak dan diketahui bahwa ia telah berbuat jahat dengan memanfaatkan sisi naif Hanum serta menggunakan kelemahan narasumbernya untuk menaikkan rating. Selesai mendepak Cooper, Hanum akhirnya ikhlas mengikuti Rangga ke Wina, bertindak sebagai istri mengikuti ke manapun suaminya pergi.
Bila mengikuti ringkasan cerita di atas, topik istri patuh suami memang menjadi hal yang hendak disampaikan. Film ini sendiri memang tidak membicarakan muslim kosmopolitan dengan porsi besar seperti film-film tentang Hanum sebelumnya. Hal ini juga disokong dengan tidak adanya gambar dan adegan yang merujuk pada kemegahan Islam. Misalnya seperti dalam 99 Cahaya, ada adegan Hanum berada di sebuah museum membicarakan kemegahan Islam di masa lalu ditempeli dengan sebuah seruan untuk menggapai kembali kejayaan penaklukan Spanyol dan Eropa. Dalam Hanum, fokusnya adalah relasi suami dan istri dan bagaimana masing-masing menjalankan perannya. New York hanya dijadikan pemanis, seperti tempat sepasang turis menemukan kepercayaannya satu sama lain. Cerita mengenai 09/11 memang dikelola sebagai kampanye pemulihan nama baik Islam dan muslim yang selalu disangkutpautkan dengan terorisme, tetapi porsinya hanya sedikit.
Secara detail gambar, film ini memang masih kalah jauh dengan film sebelumnya. Hanum didominasi oleh gambar kartu pos New York. Selalu ada patung Liberty dengan lanskap kota membentang. Kemudian sinar matahari jatuh di tembok gedung-gedung berkaca. Lalu pemandangan New York dari pagi sampai malam dari jendela apartemen. New York serba indah hingga ia tidak mampu menampung sisi dinamis kotanya. Hanya orang lalu-lalang dan orang-orang duduk memandang jalan. Bandingkan dengan adegan pembuka di 99 Cahaya, saat Acha Septriasa berdiri di depan pintu kereta yang justru menjadi jalan masuk dalam merekam dinamika sebuah kota.
Selain itu, sisi lain yang bisa dicatat dari Hanum adalah penggunaan warna biru. Warna ini mendominasi setiap gambarnya. Ia bisa muncul melalui baju yang dikenakan tiap karakter, jilbab Hanum, properti muncul dalam gambar, maupun suasana dalam tiap adegan. Ada penekanan pada golden hour, patung Liberty dilahap birunya laut, bahkan teriknya New York bisa berwarna biru. Kode ‘biru’ dan ‘Hanum’ tentu masih terkait dengan warna partai buatan bapak Hanum. Warna dalam film secara terang-terangan digunakan sebagai cara berkampanye. Supaya apa? Minimal penonton akan ingat warnanya dan merujuk pada salah satu partai. Kemudian bila mengikuti pesan Islam dan dunia yang lebih baik, penonton akan teringat kembali pada warna biru dan mengaitkan dengan keberhasilan partai dalam membuat konsep tersebut menjadi nyata dalam sinema.[1]
Hanum S.R. membuat kehidupan pribadi dan permasalahan rumah tangga yang seharusnya berada dalam ranah privat menjadi milik publik dengan sengaja dan bertahap (dari buku ke film). Sedangkan Ahok, tanpa film pun, orang-orang sudah mengetahui siapa dirinya dan karir politiknya melalui media. Inilah yang membuat kedua film ini terkesan tidak apple to apple. Hanum S.R. hanya terkenal di kalangan tertentu saja, penggemar bukunya terutama, sehingga ia perlu memperkenalkan diri bertubi-tubi; sedangkan Ahok sudah dikenal banyak orang, bukan hanya lingkup kota semata. Dalam film Ahok sendiri, tidak ada yang baru. Karakter Ahok memang seperti yang tampak dalam pemberitaan media selama ini. Lagak songong dan sok tahu, sampai ke postur badannya yang agak bungkuk disampaikan oleh Daniel Mananta semirip mungkin. Film ini sebatas mengingat dan menetralisir hal-hal yang telah melekat dalam diri Ahok dengan membawa penonton pada secuil kisah hidupnya. Sedangkan Hanum S.R. membuat dirinya sendiri sebagai pahlawan dengan jalan menaklukkan Negeri Paman Sam dan memberikan solusi serba permukaan untuk permasalahan rasisme di sana. Ahok justru ingin lebih membumi, mengajak penonton untuk mengingat pengalaman sama seperti yang Ahok rasakan.
Kisah Ahok justru menekankan pada hubungan bapak-anak, antara Kim Nam dan Ahok. Bila merujuk pada film, karakter Ahok dalam dunia nyata sebenarnya merupakan turunan Kim Nam, tokoh yang akrab dipanggil tauke (bos besar) karena upayanya untuk memikirkan orang tidak mampu di wilayah Belitung Timur. Ahok kecil selalu mengamati cara Kim Nam memberikan bantuan, mengembangkan tambang timah yang dirintis pada tahun 1970-an, hingga interaksi bapaknya dengan petugas koruptif. Kim Nam juga selalu memberikan wejangan supaya Ahok dan adik-adiknya selalu bersama-sama dalam tugas apapun, menggunakan metafora ‘berburu macan bersama saudara’. Semua hal yang didapat Ahok kecil ini berimbas ketika dewasa. Sama seperti bapaknya, Ahok juga membuka tambang timah. Selepas kepergian bapaknya, Ahok kemudian turun ke dunia politik. Pertama-tama sebagai DPRD, hingga akhirnya menjadi pejabat daerah di Belitung.
Alur Ahok sendiri berjalan linear dengan tahun sebagai penanda perkembangan cerita. Putrama Tuta selaku sutradara mendekati Belitung lampau dan sekarang dengan menampilkan jalanan Belitung tanpa aspal dengan tanah becek, kemudian disandingkan dengan jalan aspal Belitung. Penggunaan pakaian dan gaya rambut juga menunjang penggambaran perbedaan waktu. Sedangkan untuk gambarnya sendiri, masih banyak gambar ala kartu pos dari Belitung. Sepertinya karya Riri Riza, Laskar Pelangi (2008) yang sama-sama mengambil latar Belitung dari masa ke masa masih terlalu kuat. Gambar-gambar ambilan Tuta masih terbebani dengan gambar Riri. Ahok mengayuh sepeda sekuat tenaga di jalanan sepi, Ahok dan Mus membicarakan mimpi di salah satu pantai, suasana kedai kopi, serta lanskap tambang timah, beberapa masih mengingatkan penonton pada gambar Laskar Pelangi. Namun di satu sisi, film ini terselamatkan karena gambar mengenai bentang alam Belitung masih kalah masif dengan gambar-gambar mengenai New York. Kesegaran penghadiran Belitung masih tersampaikan, berbeda dengan Hanum yang hanya mengulangi gambar New York semata.
Air Mata Hanum dan Ahok
“Pa… kita ini Cina atau Indonesia,” Ahok kecil
“Jangan kau tanyakan yang negara lakukan padamu, tetapi bertanyalah apa yang telah kau lakukan pada negara,” Kim Nam
Pertanyaan Ahok di atas, saya temukan pula dalam adegan pembuka Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) karya Edwin. Bedanya, dalam film Edwin permasalahan identitas menjadi terbuka dengan luka yang dibiarkan menganga. Sedangkan dalam Ahok, imbauan untuk merangkul nasionalisme justru ditekankan. Jawaban Kim Nam yang mungkin klise, sebuah kutipan dari John F. Kennedy untuk menekankan pentingnya bela negara, justru menjadi jawaban singkat yang membungkam kegalauan identitas Ahok kecil.
Ahok sendiri menjadi sebuah simulasi perjalanan subjek untuk merangkul nasionalisme sebagai ideologi.[2] Hal ini sebenarnya sudah ditegaskan melalui poster film, saat muka Ahok menatap ke depan dengan bendera Merah Putih di atas kepalanya. Selain itu, kesadaran Tuta mengenai film sebagai kaki tangan negara (bayangkan proses lulus sensor dan cap negara sebelum film diputar), juga dipakai untuk menunjukkan proses peleburan identitas kesukuan. Penggunaan bahasa Hakka yang masif di film, dengan subtitle bahasa Indonesia, membuat bahasa tersebut menjadi netral. Ia menjadi salah satu bagian dari proses Bhineka Tunggal Ika, merangkul penggunaan bahasa oleh tiap warga di Indonesia dengan menghadirkannya ke dalam sinema.[3]
Baca ulasan film Edwin terbaru, Aruna & Lidahnya, hanya di Jurnal Footage.
Tetapi poin pembahasan tulisan ini sebenarnya bukan ke arah penggunaan poster maupun penggunaan dialek ketika tokoh bercakap-cakap. Penekanannya justru pada pembentukan realitas simbolik, ranah di mana subjek mau meleburkan dirinya untuk merangkul identitas berbangsa. Sebagai seorang ayah dalam cerita, Kim Nam menjadi contoh penjamin identitas dalam film. Ia menekankan pada Ahok kecil untuk percaya menjadi orang Indonesia. Meskipun ia sendiri mengetahui bahwa dirinya minoritas, tetapi keyakinannya pada negara demi menciptakan kehidupan yang lebih baik, menjadikannya sebagai figur bapak, pencipta hukum yang ada di dalam masyarakat. Kim Nam memiliki karakteristik protektif, seperti seorang bapak yang ingin melindungi anaknya. Mayarakat Belitung ia anggap pula sebagai anaknya. Ini bisa dilihat dalam adegan pembuka, saat Kim Nam memberikan bantuan berupa uang pada pedagang di pasar demi anaknya bisa sekolah. Sisi protektif itu semakin terlihat ketika berhadapan dengan makelar tambang yang mengharuskan Kim Nam membayar uang sogokan. Ia rela mengikuti aturan main demi pekerjanya di tambang timah. Adegan saat Kim Nam mengajak Ahok kecil dan Yuyu pergi ke tambang, mengajarkan mereka untuk menghukum pekerja yang curang, semata-mata bisa diterjemahkan sebagai cara untuk menunjukkan aturan main yang berlaku di masyarakat.
Begitu Kim Nam collapse, figur bapak akhirnya dilanjutkan oleh Ahok dewasa. Ia mengabulkan cita-cita bapaknya untuk menjadi pejabat supaya bisa mengubah tatanan yang ada dalam masyarakat. Ahok kecil sendiri sudah merekam sisi lain negara, ketidakmampuannya dalam mengurusi korupsi yang berlangsung di tataran paling bawah. Begitu ia dewasa, ia maju di garda depan sebagai pemberantas korupsi. Majunya Ahok sebagai penjamin identitas, memberikan janji pada masyarakat Belitung untuk membangun daerahnya menjadi lebih baik, juga tidak lepas dari figur Kim Nam yang sudah dipercaya oleh masyarakat. Nasionalisme versi Ahok adalah sebuah negara bebas korupsi sekaligus negara yang mampu merangkul minoritas. Meskipun kedua tokoh sentral dalam film ini mengetahui ketidakmampuan negara dalam mengabulkan nasionalisme versi mereka, tetapi mereka tetap mengupayakannya.
Selain sebagai penjamin identitas dalam film, Ahok sendiri juga berperan sebagai fantasi dari proses peleburan identitas tersebut. Ahok menjadi gambaran positif, bila subjek mau merengkuh identitas berbangsa dan meninggalkan identitas kesukuannya. Menurut Yannis Stavrakakis, dalam ranah politik, fantasi menjanjikan resolusi harmonis untuk menyelesaikan antagonisme sosial.[4] Ketika identitas kesukuan melebur menjadi identitas berbangsa, yang tertinggal adalah luka. Namun luka ini dapat ditanggung oleh fantasi. Nah, kehadiran Ahok dalam layar film, menjadi contoh bagaimana proses peleburan itu bisa ditangggungkan tanpa membuat luka semakin menganga. Meskipun di awal, ketika Ahok kecil menanyakan mengenai, “kita ini orang Cina atau Indonesia,” bisa diumpakan sebagai cara mengujarkan luka, tetapi jawaban Kim Nam justru menutupi luka tersebut dengan jalan lain, yakni jalan ikhlas meleburkan diri demi merangkul identitas berbangsa.
Lalu apa hubungannya air mata dengan jabaran pembentukan identitas berbangsa seperti jabaran di atas? Harus diakui bahwa Ahok berhasil membawa sosok Ahok sama seperti orang-orang kebanyakan. Penekanan pada hubungan bapak-anak, pasang-surut ekonomi keluarga (adegan Ibu Ahok menjual emas di pasar), gagalnya bisnis, kehilangan saudara (adegan Frans kecelakaan lalu meninggal), pertemuan dengan pejabat yang korup, persahabatan hampir putus (adegan Mus meninggalkan Ahok), membuat sosok Ahok dan permasalahannya tampak familiar. Ahok juga menjadi stereotipe anak daerah yang mengidamkan Ibu Kota, sama seperti anak-anak lain yang berasal dari luar Jakarta. Apa yang dirasakan oleh Ahok ketika meleburkan identitas kesukuannya, dirasakan pula oleh penonton. Pengalaman pribadi ini diolah dengan dramatis. Maka jangan heran, bila isakan penonton akan terdengar sepanjang film ini diputar. Saya misalnya, menangis tersedu ketika adik kecil Ahok meninggal. Bahkan ada pula yang menangis sejak adegan pertama, ketika Ahok membacakan surat imbauan untuk tidak melakukan demonstrasi di Mako Brimob. Film ini mampu mempertemukan pengalaman pribadi penonton dengan Ahok yang semakin membumi, dan air mata menjadi perantaranya. Luka Ahok adalah luka bersama.
Justru dengan kehadiran air mata inilah mitos Ahok diperbaharui. Ahok bukanlah orang yang sedang berada di Mako Brimob. Ia hanya anak daerah, minoritas pula, dengan mimpi mulia, namun sering disalahpahami oleh banyak orang. Ahok menjadi contoh bagi orang-orang kebanyakan yang bermimpi menjadi pemangku kebijakan dengan tujuan mulia. Di sini Ahok berhasil merangkul banyak orang, termasuk orang yang biasa saja kepada Ahok seperti saya misalnya.
Bila melihat Ahok adalah menyerahkan diri pada duka hasil pemitosan sosok Ahok sebagai orang kebanyakan, maka dalam Hanum, air mata justru dilucuti. Selalu ada penekanan Cooper supaya Hanum bisa membuat show yang mampu membuat penontonnya berurai air mata. Cooper akan melakukan segala cara, termasuk memberitahukan kebenaran mengenai kematian seorang ayah yang dianggap teroris kepada seorang anak. Tangisan menjadi hal paling utama untuk merangkul penonton, membuat orang bertahan dan menunggu show semacam apa yang akan ditampilkan berikutnya. Film ini berusaha untuk memberikan kritik pada cara media bekerja. Kehadiran tokoh Cooper merupakan cara Hanum melucuti kinerja Trump, pemilik media sekaligus presiden Amerika, yang akan menghalalkan segala cara demi menaikkan ratingnya.
Kritik itu ternyata tidak dikelola lebih jauh. Ketidaksukaan Hanum dengan cara Cooper membuat narasumbernya mengeluarkan air mata, memaksakan diri mereka untuk membagi hal yang semestinya bersifat privat, diujarkan dengan lugas. Tetapi ternyata kritik itu tumpul. Pada akhir cerita, demi membalas perlakuan Cooper, Hanum diceritakan mengundang Brown, Azima, dan Zakia, untuk mengutarakan kebenaran mengenai bagaimana isu terorisme digodok oleh media. Ketiga narasumber ini, akhirnya berbagi air mata, menceritakan trauma masing-masing ketika berhadapan dengan Cooper. Tentu saja, Hanum terkesan blunder. Pertamanya ia sudah semangat untuk tidak menggunakan air mata, tetapi mengapa pada akhir cerita, air mata dijadikan solusi untuk meraup empati?
Penutup
Kalau saya bisa bertemu dengan Ibu Fifi, mungkin ini yang akan saya ungkapkan:
Begitulah, strategi pembangunan tokoh, Tante Fifi. Bila Bapak Kim Nam digambarkan sebagai orang keren, dengan baju tidak pasaran, mungkin efeknya tidak begitu kuat. Coba kalau Bapak Kim Nam digambarkan seperti Hanum, orang super cool yang mampu menaklukkan New York, Bapak akan susah digapai. Justru dengan baju-baju pasaran, raut wajah yang begitu fokus memikirkan banyak orang, dan sifatnya yang jual mahal dengan anaknya sendiri, Bapak Kim Nam mewakili bapak-bapak yang ada di daerah. Penonton akan mengingat bapak mereka sendiri. Inilah yang membuat Ahok mampu menembus pengalaman personal banyak orang.
Catatan Kaki
[1] Bandingkan dengan penggunaan warna merah, putih, biru dalam film Jean Luc Godard. Dalam film-filmnya Godard menyusun properti dengan warna serupa bendera Prancis sedemikian rupa ke dalam frame. Adapula film Three Colours Trilogy: Blue (1993), White (1994), dan Red (1994) karya Krzysztof Kieślowski. Sutradara ini menggunakan warna bendera Perancis sekaligus liberté, egalité, fraternité ke dalam masing-masing film. Penggunaan warna yang mengidentifikasikan pesan politik dan ideologi juga bisa ditemukan dalam film Lilik Sudjio, Ratu Ilmu Hitam (1981), di mana warna putih terkait dengan agama; dan merah diasumsikan sebagai bromocorah. Dalam Hanum sendiri, penggunaan warna sebagai penyokong identitas partai ditawarkan pada penonton secara gamblang.
[2] Perjalanan subjek meliputi perjalanan di fase imajiner, simbolik, dan real. Fase Imajiner diandaikan seperti bayi berumur 6 – 18 bulan, yang belajar mengenali dirinya melalui kepingan yang ia lihat di cermin. Identitasnya masih terfragmentasi. Begitu memasuki tatanan simbolik, atau dunia berbahasa, saat anak terjun di masyarakat, seorang subjek harus mau mengikuti aturan yang berlaku. Efeknya adalah adanya hal yang harus dikorbankan, kenikmatan yang pernah didapat seperti bayi sebelum berumur 6 bulan enam bulan yang mendapatkan pemenuhan kebutuhan langsung dari ibunya. Dalam pembentukan identitas, terutama identitas nasional, akan ada peluruhan yang membuat identitas kesukuan subjek dikorbankan. Ahok meleburkan identitas kesukuannya dengan jalan mengambil posisi sebagai pejabat daerah, demi membulatkan identitasnya sebagai orang Indonesia. Sedangkan aturan mainnya, di bawah negara ada daerah, dan perwakilan negara ada di sana. Ahok sudah mengaminkan dirinya untuk masuk ke dalam sistem ini.
[3] Bandingkan dengan film-film Benyamin yang menggunakan bahasa Betawi ke dalam film pada 1970–1980. Efeknya bahasa tersebut dihasrati karena negara sudah mentahbiskannya sebagai bagian dari keberagaman bahasa di Indonesia. Atau bahasa Jawa yang digunakan film-film yang masif diproduksi oleh sutradara dari Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta dihadirkan pula dalam FTV. Maka hasilnya penggunaan bahasa ini di kawasan lain justru bisa meningkat. Film Putrama Tuta sendiri bisa dikatakan sebagai pemantik. Bila diikuti oleh sutradara lain, bukan tidak mungkin, dialek Hokkian akan semakin netral dan nantinya dihasrati orang banyak.
[4] Stavrakakis, Yannis. 2007. The Lacanian Left: Psychoanalysis, Theory, Politics. Edinburgh: Edinburg University Press. hlm. 197.