Ngobrolin Benyamin itu kagak pernah ada habisnya! Ada saja hal-hal dari karyanya yang masih kontekstual hingga sekarang, Mau mengulik performatifitasnya hayuk! Mau membedah lirik dan musiknya juga oke! Atau mau ngomongin Benyamin Sueb membuat film? Cara memulai pembahasan Benyamin tentu bisa dimulai dari mana saja, termasuk lewat film komedi yang ia bintangi.
Menurut Pak David Hanan, ahli film Indonesia berkebangsaan Australia, Benyamin Sueb bisa disebut sebagai Charlie Chaplin-nya Indonesia. Performa Benyamin mampu memikat semua golongan dari kelas bawah hingga kelas atas. Sebagai aktor dan pelawak, Benyamin sudah berkolaborasi dengan banyak sutradara, mulai dari Nya Abbas Akup, Lilik Sudjio, Syamsul Fuad, Turino Djunaedi, hingga Sjumandjaja.
Baca Sisi Politis Benyamin Sueb saat membicarakan wadam (hawa adam) dalam film Betty Bencong Slebor
Salah satu kolaborator Benyamin Sueb adalah Nawi Ismail. Sebelum menjadi sutradara, Nawi belajar secara otodidak mulai dari pencatat naskah hingga editor. Nawi mendapatkan ilmu pembuatan film dari The Teng Chun dan ilmu menyunting saat bekerja di Jawa Eiga Kosha selama pendudukan Jepang. Pada masa Revolusi, Nawi tergabung dalam divisi Siliwangi. Hingga kemudian pada tahun 1950-an Nawi keluar dari tentara untuk fokus pada pembuatan film.
Kolaborasi Nawi dan Benyamin berlangsung pada tahun 1970-an dan 1980-an. Pada masa ini, Indonesia memasuki periode bom minyak dan banjir investasi. Pembangunan dipusatkan di Daerah Khusus Ibukota, memaksa masyarakat Betawi pindah ke pinggiran. Baik Nawi maupun Benyamin mampu menunjukkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin melalui banyolan. Komedi mereka tidak hanya menertawakan penguasa, tetapi juga rakyat biasa yang harus beradaptasi dengan modernitas yang sedang dipaksakan. Berikut adalah enam film Benyamin Sueb karya Nawi Ismail yang wajib kamu tonton!
SAMSON BETAWI (1975)
Parodi kisah Samson dan Delilah dari alkitab! Nawi meramu mitos ini menjadi simbolisasi masyarakat Betawi yang hendak merebut kembali tanah kelahirannya. Tak mampu mengurus kekuatannya sendiri, keluarga Samson dirugikan dan harus pindah ke daerah pinggiran. Begitu Samson dewasa, ia ingin menaklukkan Ibukota, mencicipi kembali kehidupan sebagai orang gedongan. Samson bertemu Duile, lalu menjadi pegulat bekerja di bawah manajemen Sultan Melenggang di Langit. Paling menarik, tentu melihat Sultan menggadaikan KTP di restoran Padang. Identitas sebagai warga negara bisa menjadi jaminan saat perut keroncongan.

RATU AMPLOP (1974)
Bertepatan dengan momen pertama kalinya Indonesia menjadi peserta Miss Universe, Ratu Amplop hadir untuk merayakan sekaligus menunjukkan ketimpangan sistem kontes kecantikan itu sendiri. Lebih istimewa lagi, film ini mengajari saya bahwa perempuan tidak pernah dilihat karena kediriannya, tetapi pada apa yang menempel dalam dirinya. Setelah Ratmi menyandang gelar ratu sejagad, ia diperebutkan Cukong Direktur dan Benyamin Sueb selaku Beni. Tetapi gelar tersebut ternyata ilusif, membuat Ratmi terus-menerus mendandani dirinya sendiri, mengambil lajur performativitas sebagai ratu meskipun kehidupannya terbilang biasa saja. Paling mencolok tentu saat Ratmi mengenakan gaun oranye, wig pirang, berkacamata hitam, mengenakan hak tinggi. Ia berjalan membawa payung di antara jalanan lengang dengan pinggiran berupa areal persawahan dan tanah kosong. Olok-olok terhadap sosok Ratmi yang janggal dalam gambar membuat saya mempertanyakan arti tindakan menertawakan itu sendiri.

BENYAMIN BIANG KEROK (1972)
Kok bisa? Begitu Benyamin Sueb membuka pintu garasi, ia lalu terduduk dalam ember berisi air. Ambilan gambar Nawi memang penuh perhitungan. Ia mampu bermain-main dengan ritme gambar, membawa penonton bersabar untuk tertawa total. Film yang naskahnya ditulis oleh Sjamsul Fuad ini menceritakan Pengki mengelabui majikannya. Akal-akalan ini tak lain sebagai strategi untuk bertahan hidup sekaligus cara untuk mengolok-olok kelas atas. Bila diibaratkan, Pengki terus-menerus menyerang struktur sistem kerja dan kelas sosial, membawa penonton untuk tahu bagaimana ideologi itu bekerja. Kalau kamu ingin membuat remake film ini, bisa saja! Tapi kuasai dulu cara Nawi menempatkan properti, cara Benyamin menggunakan tubuhnya, dan pengaturan ritme gambar. Terpenting: komedi itu selalu bisa menyatukan orang-orang terpinggirkan lewat tawa!

BENYAMIN KOBOI NGUNGSI (1975)
Kurang surealis apa coba? Benyamin Sueb dan Gombloh menyeret kasur, lalu menyebrangi sungai. Bahwa yang personal selalu dibawa berpindah ruang menjadi bukti sebuah gugatan. Gambar dalam film ini seperti tak lekang oleh waktu. Ia selalu kontekstual, bahkan bila kita mendudukkannya pada problematika penggusuran atas nama pembangunan. Lalu gambar kasur menyebrang sungai, seperti membawa kembali pengalaman keseharian berhadapan dengan banjir tahunan.
Baca Penjabaran mengenai Film Nawi Ismail dan Spaghetti Western di Jurnal Footage
3 DJANGGO (1976)
Ketidaksetujuan Nawi Ismail atas peristwa 65 tampaknya ia utarakan secara halus dalam adegan kantor Sheriff Bero’ City. Saat Beni diminta menyerahkan surat bebas G30S, ia menunjukkannya dengan muka masam. Setelahnya, Beni bersimpati pada mereka yang dijebloskan dalam penjara tanpa pengadilan. Baik Koboi Ngungsi maupun 3 Djanggo merupakan parodi dari genre Spaghetti Western. Namun akhir ceritanya sendiri menurut saya cukup unik. Beni memilih untuk naik haji, Djanggomen menjadi petani, dan Gomi menjadi satpam. Ketiga Djanggo ini menolak untuk mendapatkan posisi layak sebagai marshall di sebuah kota dan lebih memilih untuk mengelola apa yang mereka miliki.
BENYAMIN TUKANG NGIBUL (1975)
Saya sudah beberapa kali menuliskan sisi politis dari film ini. Bagi saya, film ini menjadi primadona. Ketika menulis mengenai film komedi Indonesia, rujukan saya selalu Benyamin Tukang Ngibul. Film ini sebenarnya sangat biasa! Benyamin Sueb yang ingin menaklukkan kota besar, menipu orang gedongan, lalu gagal usaha! Saat gagal ia malah pergi memancing dan mendapatkan sepatu boot.
Tetapi sisi menyeramkan dari film ini justru saat sepatu boot itu mampu menghantui keseharian si tokoh utama. Tambah absurd, saat sepatu boot masuk ke panci bakso! Opo to iki! Saat sutradara film komedi Indonesia sekarang ini lebih banyak mengelola kejadian keselek, Nawi Ismail justru menghadirkan potensi dari peristiwa makan bakso dengan cara lain. Sepatu boot yang mengikuti Benyamin Sueb menjadi seperti pengingat atas kehadiran hantu-hantu kolonial yang masih bercokol. Kulit boleh berganti, namun militer tetaplah militer. Penawaran Nawi adalah kemungkinan sipil untuk bisa menjaga kesewenangan militer lewat adegan Benyamin yang hendak menangkap kembali sepatu boot supaya tidak membuat ulah.
Lebih lengkap tentang Benyamin Tukang Ngibul
