Ratna Asmara / Suska, Liarsip, dan Saya

Ratna Asmara / Suska, Liarsip, dan Saya merupakan pidato yang saya bawakan dalam acara Sekolah Pemikiran Perempuan x Jakarta Biennale. Acara ini diadakan pada tanggal 22 Desember 2021, saat perayaan Hari Kongres Perempuan pertama di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Video ini bisa diakses pada tautan berikut.

Ratna Asmara / Suska

Dua tahun setelah Kongres Perempuan Indonesia Pertama, seorang tauke perempuan membawa Suhara Opera, kelompok sandiwara amatir dari tanah Minang untuk berkeliling Jawa. Usianya saat itu baru 17 tahun. Perempuan itu bernama Suratna. Bersama saudarinya yang bernama Suhara, ia pergi meninggalkan keluarganya yang konservatif, yang sempat menentang keputusannya untuk bekerja dalam kelompok sandiwara.

Sebagai tauke, Ratna berperan layaknya manajer. Begitu sampai Gombong, Jawa Tengah, ia justru dipinang oleh penulis naskah kelompok Dardanella. Ratna menikahi Abisin Abbas, atau yang dikenal dengan nama Andjar Asmara, pada tanggal 7 April 1931. Pernikahan mereka di bawah naungan bintang Aries dan tahun Kambing Logam. Setelahnya, Ratna meleburkan Suhara Opera ke dalam Dardanella, mengikuti Tour d’ Orient sebagai pemain sandiwara dan penari. Saat suaminya tak sejalan lagi dengan anggota Dardanella lain, Ratna pun pulang ke Hindia Belanda. Pasangan ini kemudian mendirikan Bolero bersama dengan jurnalis dan aktivis pergerakan nasional pada pertengahan 1930an; bergabung dengan The New Java Industrial Film pada tahun 1940an; mendirikan kelompok sandiwara Cahaya Timur pada masa penjajahan Jepang; mendirikan Asmara Films pada tahun 1951.

Petualangan Ratna sebagai pemain sandiwara, pemain film, hingga sutradara film terbentang dari tahun 1930-an hingga pertengahan tahun 1950-an. Saat bersama Dardanella ia kerap membawakan tarian daerah seperti Golek, Serimpi, Penca Minangkabau hingga tarian Papua. Saat bersama Bolero, ia menjadi Sri Panggung. Saat berada di bawah The Teng Chun, sutradara dan pendiri The New JIF, ia bermain dalam tiga judul film: Kartinah dan Noesa Penida yang disutradarai suaminya, dan Ratna Mutu Manikam yang disutradarai oleh Sutan Usman Karim atau Suska. Pada masa Revolusi, ia membintangi satu judul film Djaoeh di Mata. Hingga ketika industri film di Indonesia bangkit paska Perang Revolusi, Ratna debut sebagai sutradara dalam Sedap Malam, film Indonesia pertama tentang solidaritas eks jugun ianfu. Setelah Sedap Malam, Ratna dan Andjar mendirikan Asmara Film dan membuat Musim Bunga di Selabintana dan Dr. Samsi. Ratna bercerai dengan Andjar lalu menikah dengan asistennya dalam film Dr. Samsi, Suska, yang telah menjadi petinggi di Kementerian. Ratna lalu mendirikan Ratna film. Ia berkolaborasi dengan Mochtar Lubis dalam film Nelayan, dan ditugaskan oleh Perusahaan Film Nasional untuk membuat film Dewi dan Pemilihan Umum, sebuah komedi namun terselip tata cara untuk memilih sebagai jalan penerangan menuju Pemilihan Umum 1955.

Aku dan Ratna Asmara / Suska

Pertama kali saya meniatkan diri untuk mengivestigasi Ratna, ada beberapa pertanyaan yang menjadi titik berangkat. Bagaimana cara merekonstruksi sosok Ratna? Apakah keputusan Ratna sebagai sutradara perempuan didorong oleh geliat gerakan perempuan di Hindia Belanda dan Indonesia? Apakah keputusan Ratna menjadi sutradara juga didorong oleh kemunculan sutradara perempuan secara global? Apakah film yang disutradarai dan dibintangi oleh Ratna bisa dilihat sebagai refleksi atas kondisi perempuan di masa penjajahan dan Orde Lama? Mengapa film Ratna tidak dikategorikan sebagai film nasional padahal ia –lah yang pertama kali membicarakan solidaritas sesama eks jugun-ianfu? Apakah karena Ratna dekat dengan sutradara Tionghoa-Indonesia yang menjadi kambing hitam atas kondisi memburuknya industri film Indonesia, yang diperburuk pula oleh sentimen rasial pada tahun 1950-an? Apakah karena ia perempuan, mantan istri penulis film yang pro Hollywood dan Belanda pula, sehingga untuk bisa diakui dalam skena film ia harus mencari cara untuk kolaborasi dengan intelektual dan nasionalis Mochtar Lubis, kemudia  menggunakan cara produksi film ala Neorealisme Italia?

Apakah pertanyaan tersebut sudah terjawab? Tentu saja belum!

Pada Desember 2020, saya mendapati bahwa film Ratna yang tersisa di Sinematek Indonesia hanyalah Djauh di Mata dan Dr. Samsi. Ketika saya memutar reel pertama Dr. Samsi untuk memastikan dan mencari tahu cara Ratna membuat film, justru bau gosong yang terngiang hingga sekarang. Sedangkan pita seluloid 16 mm Djauh di Mata tidak bisa diputar. Ketidaktersediaan arsip film ini membuat saya pesimis. Bagaimana caranya meneliti strategi visual dan naratif dalam karya Ratna? Seluloid-nya saja sangat rentan! Pengalaman bertemu dan memegang seluloid Dr. Samsi dan Djauh di Mata tentu bukan pengalaman yang menyenangkan.

Liarsip dan Saya

Kemudian pada Maret 2021, saya bertemu dengan Julita Pratiwi, Efi sri Handayani, Imel Mandala, almarhum Anis, dan Mbak Lisabona Rahman. Saya mengikuti diskusi Liarsip. Dalam pertemuan tiap Jumat malam ini, kami membicarakan banyak hal. Mulai dari mimpi untuk merawat arsip film dengan cara yang baik, kemudian mengerucut mendiskusikan bagaimana menulis sejarah perempuan dalam film. Kami mendiskusikan bunga rampai Doing Women’s Film History: Reframing Cinemas, Past, and Futures yang dieditori Christine Gledhill dan Julian Knight. Lewat diskusi yang cukup intens ini, kami berproses untuk healing dari situasi ketidaktersediaan arsip pekerja perempuan dalam film. Alih-alih untuk menekankan yang tidak ada, kami merayakan yang ada untuk memperdalam identifikasi peran pekerja perempuan dalam film. Keberanian saya untuk melanjutkan pencarian Ratna dalam sejarah film Indonesia sekali lagi muncul.

Tantangan dalam penulisan sejarah film yang menekankan pada agensi perempuan adalah setelah mendapatkan data, peneliti tidak akan langsung melakukan deduksi. Ada data, data diolah, lalu hasil temuan akan terang benderang. Terkadang saya harus mempertanyakan dan juga mengkritisi sumber tersebut.

Dalam penelitian Ratna, sumber yang digunakan terkadang tak lazim. Sosok Ratna justru lebih banyak dituliskan dalam kolom gosip. Artikel berjudul “Regisseur Wanita” yang terbit di Minggu Pagi tahun 1952 yang ditulis oleh Umi Kaslum misalnya, tidak menerangkan strategi Ratna dalam produksi film. Film apa yang menginspirasi pembuatan filmnya? Bagaimana ia harus berhadapan dengan kru dan pemain? Artikel ini justru mempertanyakan kondisi rumah tangga Andjar dan Ratna yang sedang pisah ranjang saat produksi Musim Bunga di Selabintana. Padahal di halaman selanjutnya, Minggu Pagi justru membedah peran sutradara dengan melihat proses berkarya Kotot Sukardi. Artikel tentang Kotot Sukardi ditulis dua halaman, sedangkan untuk Ratna hanya satu halaman.

Ratna Asmara aktif sebagai aktor sejak tahun 1930. Dalam skena film dan pertunjukan, baik Ratna dan Andjar merupakan satu paket. Ratna membintangi dan menyutradarai naskah yang telah dibuat oleh Andjar. Tantangan berikutnya, tentu saja mengindentifikasi peran Ratna dalam proses kolaborasi suami-istri ini. Dengan berpijak pada pengetahuan bahwa industri film di tahun 1940-an tidaklah serigid saat ini, saya memahami bahwa Ratna berperan sebagai all rounder kru film. Ia bisa menjadi apa pun dalam produksi film. Misalnya saja dalam artikel dari Percaturan Dunia dan Film No. 7 Tahun I Desember 1941.

Njonja Ratna Asmara sementara itoe joega akan mengadjar tari Bali goena film yang kedoea (Noesa Penida)… Ada yang menarik perhatian sdr. Ratna. Boekan pohon kelapa… Sdr. Ratna memperhatikan pakaian perempoean Banten yang katanya hampir dekat dengan perempuan Bali… Adat istiadat Banten dekat dengan Bali”

Dalam kredit titel namanya memang hanya tercantum sebagai aktor. Namun dari artikel tersebut, di belakang layar Ratna menjadi mentor akting, koreografer, kru wardrobe dan make-up, hingga orang yang bertanggung jawab dalam penguncian lokasi. Ratna menjamin setiap detil proses produksi film, bahkan ia memastikan ketiga judul film yakni Ratna Moetoe Manikam, Putri Rimba, dan Noesa Penida berjalan lancar proses shooting-nya. Sehingga saat ia menjadi sutradara pada tahun 1950-an, ia telah memiliki bekal untuk memimpin sebuah produksi film.

Film Sedap Malam diluncurkan pada hari Valentine tahun 1951. Film ini diputar di bioskop elit, Metropole Jakarta. Meskipun mendapat sanjungan dari Indische Courant voor Nederland, tertanggal 21 Februari 1951, yang menyatakan, “film terbaru Sedap Malam menyinggung isu penting untuk Indonesia baik dari segi moral maupun sosial. Pemberdayaan Perempuan!”, namun tetap saja ada artikel mendiskreditkan peran Ratna. Artikel dari Cameraria majalah Aneka tersebut berbunyi:

Resensi Sedap Malam tidak kita ulangi lagi. Asmara sebagai regisseur wanita… jang pertama. Hura suatu kemadjuan dalam seni yang kita pentingkan: Ratna dan dunia film Indonesia dan bukti dari kesanggupan golongan wanita kita…. Biasanya begini; karena suami termasuk orang terlalu gemar dalam sesuatu lapangan tadi, maju isterinya (kadang- kadang dengan jalan yang sempurna. Hanya maju terlihat, tidak mau ketinggalan… terlihat!)”

Cameraria, Aneka

Sebagai peneliti sejarah film dengan perspektif feminis, hal paling awal yang dilakukan tentunya mempertanyakan dan mengkritisinya. Bukan tidak mungkin bahwa arsip tentang Ratna yang terbatas dibaca tanpa dikritisi lebih dahulu. Sehingga ketika arsip Cameraria digunakan sebagai penulisan sejarah film sebelum saya, kemungkinan untuk mempermasalahkan sumber tersebut minim dan akhirnya peran Ratna direduksi habis-habisan dan ia hanya dianggap sebagai istri Andjar Asmara semata. Padahal bila kita menyatukan sumber dari tahun 1940-an hingga 1950-an, petualangan Ratna dalam sinema  itu kaya.

Jalan yang ditempuh Ratna hampir sama dengan proses yang dilalui oleh Bapak Film Nasional Indonesia, Usmar Ismail. Baik Ratna dan Usmar pernah menjadi asisten Andjar dalam produksi film. Mereka juga sama-sama memproduksi film pada tahun 1950. Hanya saja nasib mereka berlainan. Usmar fokus untuk membuat film perjuangan yang tokoh utamanya adalah laki-laki yang harus berjibaku dengan trauma paska perang revolusi. Sedangkan Ratna justru memilih membuat film melodrama yang kisahnya menekankan pada sosok perempuan. Bila dalam film Usmar Ismail, Djadoeg Djajajakusuma, ataupun Dr. Huyung, sosok pelacur dalam film menjadi enigma, dalam film Ratna, ia malah menunjukkan solidaritas perempuan yang pernah terjebak menjadi pelacur semasa penjajahan Jepang.

Pembacaan Sementara

Film debut Ratna, “Sedap Malam” jelas tidak bisa dibaca melalui logika film nasional yang pada tahun 1950-an lebih banyak didominasi film machismo. Saat menelisik beberapa review baik yang dimuat dalam brosur iklan buatan studio Persari, studio Sedap Malam, majalah Aneka, serta tulisan Armijn Pane, istilah jugun ianfu tak pernah tersebut. Film Sedap Malam justru dikemas sebagai film yang membicarakan pelacuran dan sampah masyarakat. Kebiadaban penjajahan Jepang tampaknya belum menjadi pengetahuan bersama para intelektual yang berkawan dengan Jepang di tahun 1942 – 1945. Istilah jugun ianfu atau informasi mengenai pelacuran paksa semasa Jepang bukan menjadi prioritas. Sehingga pilihan Ratna menjadi sutradara film yang mengisahkan pengalaman perempuan yang mengalami nasib naas karena tertipu dengan janji Jepang inilah bisa dilihat sebagai pernyataan politisnya sebagai perempuan.

Film Sedap Malam memang belum terlacak. Namun setidaknya, masih ada harapan untuk melihat strategi Ratna dalam penyutradaan melalui filmnya yang masih ada, Dr. Samsi. Berdasarkan kabar yang saya dapatkan pertengahan tahun 2021 ini, film Dr. Samsi, masuk ke dalam daftar rekomendasi film yang didigitalisasi oleh pemerintah. Berita ini tentu menggembirakan. Namun hingga akhir tahun ini, kepastian untuk digitalisasi Dr. Samsi belum terdengar. Kondisi seluloidnya yang rentan membuat film ini tidak menjadi prioritas. Hingga akhirnya, kami dari Liarsip perlahan-lahan mencoba untuk setidaknya melakukan penyelamatan arsip film Ratna.

Salah satu aspek dari metode penulisan sejarah perempuan dalam film adalah memastikan eksistensi karya mereka. Kami dari Liarsip telah bergerak untuk setidaknya bisa mengimajinasikan bahwa Dr. Samsi bisa diakses. Selain karena Dr. Samsi bisa dikembangkan untuk memberikan validasi lebih lanjur atas kerja Ratna dalam sinema Indonesia, film ini juga penting dalam sejarah seni pertunjukan dan film di Asia Tenggara. Sebagai naskah panggung, Dr. Samsi telah berkelana di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1930-an. Film Dr. Samsi yang dibuat pertama kali di India adalah contoh dari kerja lintas bangsa yang dibuat sebelum Indonesia merdeka. Pengaruh Dr. Samsi jejaknya terekam. Setidaknya pada tahun 1970-an, ada satu kelompok sandiwara dari Malaysia yang memanggungkan naskah ini kembali. Selain itu, dalam Dr. Samsi yang dibuat oleh Ratna, kita bisa melihat akting Ratna yang berperan sebagai Ibu yang meminta pertanggungjawaban atas perlakuan tak adil dari dokter Samsi yang meninggalkannya ketika hamil. Kita bisa melihat Ratna secara dua dimensi, melihat tubuhnya berpindah dari frame satu ke frame yang lain, di film yang ia sutradarai sendiri!

Penelitian tentang agensi Ratna dalam sinema Indonesia akan terus berjalan. Kami dari Liarsip juga berharap di tahun mendatang bisa menghadirkan film Ratna ke publik yang lebih luas. Sebagai penutup, saya akan berbagi satu arsip foto, seorang perempuan di belakang kamera!

Sekian dari saya. Terima kasih. Dan mohon dukungannya supaya kerja Liarsip untuk memastikan eksistensi Ratna dalam sinema Indoneia bisa berjalan dengan lancar.

Ratna Asmara
Adegan pembuka dalam film Dr. Samsi.

1 thought on “Ratna Asmara / Suska, Liarsip, dan Saya”

  1. Pingback: Ratna Asmara: Melacak sutradara perempuan pertama Indonesia, 'yang hilang dari sejarah perfilman' - PPM Social Community

Leave a Reply