Liburan Seniman Portrays New Emerging Forces 1965

Rekaman Perayaan NEFOS 1965 Dalam Liburan Seniman

Liburan Seniman (1965) merupakan karya Usmar yang dibuat beberapa bulan sebelum Peristiwa September 1965. Mengutip halaman langgar.com, peredaran film Liburan Seniman terhenti selama Orde Baru – entah termasuk dalam kategori film terlarang atau Usmar Ismail sendiri yang memutuskan untuk tidak mengedarkannya. Kesempatan untuk mengakses ini saya peroleh saat Kinosaurus Jakarta turut  berpartisipasi dalam “100 Tahun Usmar Ismail” dan Hari Film untuk memutar beberapa film Usmar Ismail di program Virtual Cinema.

Bromance para seniman. Mungkin inilah istilah yang tepat untuk merangkum kisah Liburan Seniman. Aspek bromance ini seperti lanjutan dari film Perfini awal, Terimalah Laguku (Djadoeg Djajakusuma, 1953), yang menitikberatkan pada kisah tiga musisi. Bedanya, Liburan Seniman mengajak saya untuk menyelami kehidupan Suromo si sastrawan, Rutaf si pelukis, Kadjiman si sutradara, dan seorang bankir Bank Dagang Negara yang mendukung kesenian. Empat karakter ini berusaha menemukan “the thing” dalam berkarya sembari menelusuri hingar bingar Jakarta yang sedang menyambut perayaan 10 tahun Konferensi Asia Afrika sekaligus berdirinya New Emerging Forces, Nefos.

Baca tentang Terimalah Laguku

Liburan Seniman
Liburan Seniman dan Berdirinya New Emerging Forces 1965

Dalam buku Revolusi, Diplomasi, Diaspora (Kompas, 2019), Taomo Zhou memberikan pandangan menarik mengenai relasi Tiongkok-Indonesia selama Perang Dingin. Kala itu, Mao Zedong mendukung tiap langkah Sukarno bermanuver untuk menciptakan jejaring negara baru, blok selain Rusia dan Amerika. Langkah ambisius Sukarno salah satunya adalah membangun citra di dunia internasional meskipun kondisi di dalam negeri sendiri begitu rapuh. Pesta perayaan persatuan Asia Afrika ke-10 sekaligus inisiatif pendirian Nefos diselenggarakan di Jakarta pada April 1965. Pemerintahan Tiongkok turut memberikan modal untuk perhelatan ini, termasuk mendanai pembangunan kompleks gedung Gelora Senayan yang akan digunakan sebagai gedung Nefos.

Baca tentang Big Village

New Emerging Forces sendiri merupakan bentuk protes Sukarno terhadap Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) yang tidak mau netral terhadap situasi Perang Dingin. Perseteruan Sukarno dan PBB kemudian memuncak saat Malaysia resmi masuk. Indonesia akhirnya menjadi negara yang cukup berani untuk keluar dari PBB, kemudian membangun tandingan dengan mengumpulkan negara-negara yang baru berkembang untuk melawan negara Oldefo, Old Established Forces.

Sejalan dengan produksi Perfini yang berusaha merekam modernitas Indonesia pada usia awalnya, Liburan Seniman turut menjadi saksi obsesi Sukarno untuk membangun Indonesia di mata internasional. Lewat perjalanan Suromo yang bergerak di luaran perhelatan Nefos 1965, kamera menangkap antusiasme massa, poster bertuliskan “Nefos Bersatu”, “AA Penentang Nekolim”, maupun poster bergambar tubuh-tubuh yang sedang melawan. Selain itu, lewat perjalanan Suromo, penonton bisa melihat sosok Subandrio, tangan kanan Sukarno, dan beberapa diplomat asing yang turun dari mobil menuju Senayan. Selain itu, lewat karakter Dewi Lani, sang aktris banyak mau, penonton bisa turut menyaksikan sajian tari-tarian dari beberapa negara dalam perhelatan Nefos.

Liburan Seniman, Visual Jalanan, dan Seni Revolusioner

Enam Djam di Djogja (Usmar Ismail, 1951) cukup jelas dalam memberikan gambaran tentang seni poster dan fungsinya untuk menyebarkan semangat anti Belanda selama Perang Revolusi 1945 – 1949. Penggunaan poster sebagai medium perlawanan terhadap hegemoni Barat sudah berlangsung sejak masa pendudukan Jepang saat Perang Dunia II.

Penggunaan poster sebagai medium yang murah dan efektif untuk membangkitkan sekaligus menyebarkan pesan-pesan revolusi cukup banyak ditemukan dalam film semasa Orde Lama. Poster bisa menjadi indeks, memunculkan sebab-akibat dalam narasi, atau menjadi sebuah statement politis. Misalnya saja, ada rekaman Berita Film Indonesia yang berisi bagaimana antusiasme massa atas kemerdekaan diamplifikasi dengan tambahan gambar mural dan poster kemerdekaan. Kemudian dalam film si Pintjang (Kotot Sukardi, 1951) atau Frieda (Dr. Huyung, 1951), poster menjadi bagian yang turut menggerakkan cerita.

Dalam Liburan Seniman, Usmar Ismail cukup jeli dan beruntung karena ia bisa merekam poster perhelatan Nefos yang terpasang di sepanjang jalan. Menurut data dari sumber yang tidak bisa saya sebutkan namanya, salah satu artisan poster Nefos tersebut adalah seniman yang pernah berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Baik poster, baliho, bahkan hingga monumen Asia Afrika, sebuah patung mirip dengan Monumen Selamat Datang namun ditambah dengan logo AA, seperti menginsepsi karakternya. Objek yang ditebar di jalanan ini membawa kesadaran akan adanya identitas bersama sebagai negara baru. Secara ekstrim bahkan, kamera membidik gambar dalam poster dan menjadikanya sebagai adegan tersendiri. Sebagai sebuah indeks, penonton akhirnya bisa memahami mengapa Suromo bisa kesirep dan memutuskan untuk mendukung cita-cita Bung Besar.

Selain poster, tentu saja yang menarik dalam Liburan Seniman adalah bagian studio Rutaf si pelukis. Adegan pembuka Liburan Seniman pertama-tama fokus pada patung kepala ala patung Yunani yang kemudian bergulir pada lukisan yang mirip dengan karya seniman realis seperti Sudjojono atau Affandi di periode 1940-an. Ada tubuh-tubuh yang sedang bekerja pada bagian foreground dan middle ground. Dari adegan ini, Usmar seperti menghadirkan situasi yang ambigu. Apakah Rutaf menjadi sosok seniman yang sedang mengikuti trend melukis dengan tema kerakyatan, sebagaimana yang cukup hangat di kebudayaan pada masa itu?

Karakter Rutaf sendiri cukup menarik. Ia kadang mengambil job sebagai pelukis baliho. Kemudian saat Suromo membuat film, ia bertindak sebagai story board artist. Jelas sosok Rutaf mengingatkan saya pada sosok Basuki Resobowo dan H.B. Angin yang mengawali karir mereka sebagai pelukis baliho sebelum terjun sebagai penata artistik film.

Liburan Seniman: Film yang Mendokumentasikan Pembuatan Film

Bila pada masa awal Orde Baru, sinema Indonesia memiliki Apa Jang Kau Tjari, Palupi (Asrul Sani, 1969) yang mengijinkan penonton melihat situasi pembuatan film, maka Liburan Seniman mungkin menjadi satu-satunya film dengan gambaran serupa di masa Orde Lama yang masih bisa kita saksikan sekarang. Lewat sosok Kadjiman sang sutradara, Liburan Seniman mengajak penonton untuk mengetahui seluk beluk pembuatan film di studio sekaligus perdebatan semacam apa yang muncul dalam wacana sinema Indonesia kala itu. Kadjiman sering berkeluh bahwa ia harus membuat film komersil. Hal ini kemudian ditegaskan lewat aktris Kadjiman yang sedang lip sync. Kemudian pemilik Studio Banteng selalu menegaskan bahwa selera penonton telah disetir oleh film Hollywood sehingga tidak ada tempat untuk seni revolusioner dalam film. Selain itu, menariknya Usmar justru menempatkan sosok perempuan selaku asisten sutradara – entah untuk representasi, atau ia memang mengidamkan perempuan yang bisa mengambil peran besar dalam pembuatan film.

Di tengah situasi shooting. Di antara crane, camera, dan set. Suromo berapi-api menceritakan keinginannya untuk membuat film tentang perjuangan rakyat. Ia mendapatkan ide cerita, kisah tentang petani yang melawan sistem dan menyuarakan hak atas tanah, setelah mendengarkan pidato Sukarno. Tiga kawan Suromo akhirnya sepakat. Kadjiman mendukung film yang bertujuan mulia ini seolah ingin menebus dosanya karena terlalu sering membuat film komersil. Si bankir turut serta memantau karena ia tak ingin wanita yang disukainya, istri Suromo, bersedih hati karena ditinggal suami yang selalu mengalami writer’s block. Mereka berempat kemudian membuat film dengan modal apa adanya, meminjam studio tempat Kadjiman, hingga bahkan ada yang menjadi figuran – layaknya kisah pembuatan Perfini di awal tahun 1950.

Baca tentang Perfini

Sayangnya, akhir film ini tidak ada. Apakah Suromo berhasil membuat film yang revolusioner sesuai cita-cita Bung Besar? Apakah film tersebut lancar pembuatannya? Bagian akhir dari film ini dinyatakan hilang sehingga saya tidak mengetahui lebih jauh apakah upaya Suromo, Kadjiman, Rutaf, dan si bankir untuk mewujudkan seni revolusioner ini berhasil atau tidak.

CODA

Sudah jadi pengetahun bersama bahwa Orde Baru melarang atau bahkan menghancurkan jejak sutradara yang berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Film Violetta (Bachtiar Siagian, 1963) sendiri bisa selamat karena ada pengusaha layar tancap yang memberikan seluloidnya ke Sinematek Indonesia. Sedang karya dari Bachtiar Effendi ataupun Kotot Sukardi yang dibuat setelah tahun 1959 sekarang tidak diketahui rimbanya. Saya sendiri cukup kaget mengetahui bahwa selama Orde Baru, film Usmar Ismail berjudul Liburan Seniman dihentikan peredarannya. Apakah karena Usmar Ismail tampak mengagungkan gagasan Sukarno? Ataukah Pemerintahan Orde Baru tak ingin ada bukti tentang Nefos? Orde Baru sendiri berusaha untuk menutupi bahwa pada tahun 1965, Sukarno mampu bertindak ekstrim dengan meresmikan Nefos. Gedung yang dibiayai oleh pemerintahan Tiongkok untuk Nefos tidak berlanjut – bahkan monumen Asia Afrika yang muncul dalam Liburan Seniman tak dapat kita jumpai di jalanan Jakarta.

Liburan seniman sendiri merupakan naskah panggung buatan Usmar Ismail saat ia bekerja di Keimin Bunka Shidoso. Tentunya akan menarik apabila ada yang bisa membaca sejauh mana Usmar Ismail melakukan peranahan atas naskah yang ia buat semasa Jepang datang dengan konteks peristiwa 10 Tahun Asia Afrika dan kelahiran New Emerging Forces, ambisi Sukarno menyatukan jejaring baru.

Liburan Seniman (1965)

Mira anak orang kaya harus meyakinkan bapaknya bahwa ia dan Rutaf si pelukis miskin bisa bersama. Istri Suromo pasif dan submisif, hanya bisa menangis meratapi suaminya yang ngilang tanpa arah karena writer’s block. Piko sang asisten sutradara musti tahu watak Kadjiman yang harus negosiasi membuat film yang “sedikit nyanyi, sensasi, ketawa, dan ada wanita.” Dewi Lani memang angkuh, tetapi ia terjebak main perasaan dengan seorang pria yang tak jelas rimbanya. Keempat wanita ini harus menemani empat pria yang ingin membuat film dengan tema kerakyatan. Mereka menyusuri jalanan Jakarta untuk mencari kekasihnya sembari menyaksikan antusiasme massa menyambut perayaan 10 tahun Asia Afrika dan kelahiran New Emerging Forces.

Sutradara, Cerita, dan Penulis Naskah: Usmar Ismail | Kamera: Max Tera | Penata Artistik: Ardi Ahmad | Suara dan Musik: E Sambas | Editor: Soemardjono | Pemeran: Sukarno M Noor, Mieke Wijaya, Mila Karmila, Rachmat Hidayat, Menzano, Nizmah Zaglulsyah, Sandy Suwardi Hassan, Keiko Takeuchi, Tiar Muslim, Fenty Effendi, MS Derita | Durasi: versi digital sekitar 110 menit | Genre: Drama Komedi | Rumah Produksi: Perfini

Leave a Reply