DSekitar tahun 1954, Usmar Ismail pernah menulis,
“film adalah kesenian bersama (collective) yang membutuhkan ahli-ahli bagi tiap cabang pekerjaannya.”
“Sari Soal dalam Filem Indonesia” di Konfrontasi No.1/Juli-Agustus 1954
Pernyataan ini ditulis setelah Usmar selesai sekolah di Amerika. Tentu menarik karena apabila kita menyandingkan wacana mengenai kepengarangan (auteur) dalam sinema yang disematkan pada Usmar Ismail (lihat blurb Lewat Djam Malam di DVD Criterion) dengan pernyataan bahwa sebenarnya kerja film itu semata-mata bukan milik sutradara saja. Memang dalam esai yang sama pula, Usmar menegaskan bahwa, “regisseur (sutradara) adalah satu-satunya yang menjadi pusat pengatur pembangunan filem dari mula sampai akhir.” Tetapi kesadaran akan kerja kolektif inilah yang layak untuk ditilik kembali ketika membicarakan Perusahaan Film Nasional Indonesia atau Perfini.
Bila dibandingkan dengan rumah produksi yang lahir pada tahun 1950-an di Indonesia, Perfini terdiri dari sekumpulan laki-laki yang baru seumur jagung mempelajari pembuatan film. Kru di Perfini tidak memiliki jam terbang mumpuni layaknya para laki-laki di Perusahaan Film Negara (PFN). Selain PFN, adapula pembuat film yang musti gulung tikar semasa penjajahan Jepang perlahan bangkit kembali dan mulai membuat film di tahun 1950-an. Usmar Ismail justru baru belajar pembuatan film dari Dr. Huyung selama Perang Revolusi 1945 – 1949. Kediaman Usmar Ismail di Jalan Sembiring No. 5, Yogyakarta, kerap digunakan sebagai tempat diskusi film. Baru pada tahun 1949, Usmar secara langsung dapat merasakan proses pembuatan film di South Pacific Film Corporation sebagai asisten Andjar Asmara.
Meskipun orang-orang Perfini lebih tepat disebut sebagai pembuat film amatir, namun semangat kerja kolektif inilah yang menjadikan mereka berani bertaruh untuk terjun langsung dalam pembuatan film. Berbasis pertemanan dan nostalgia semasa Revolusi, Usmar Ismail mengajak beberapa kanca-kanca Keimin Bunka Shidoso yang pada tahun 1940-an mendirikan Seniman Merdeka untuk tergabung dalam Perfini. Mereka adalah Djadoeg Djajakusuma, Basuki Resobowo, S. Sumanto, Rosihan Anwar. Kemudian, Usmar juga mengajak Max Tera, asisten kamera di SPFC, yang juga menggarap Harta Karoen dan Tjitra. (Baca Harta Karoen )
Perfini lahir bertepatan dengan proses produksi film Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950). Dalam esai “Filem Saya yang Pertama”, Usmar Ismail menceritakan bahwa modal pendirian Perfini diambil uang yang ia kumpulkan dari persenan saat bekerja di SPFC, upah saat ia tergabung sebagai tentara, dan persekot yang dijanjikan pemodal. Penandatanganan dengan saksi notaris berlangsung pada tanggal 30 Maret 1950. Setelahnya, ia dan kru berangkat ke daerah Subang untuk syuting pertama Darah dan Doa menggunakan mobil sederhana. Untuk peralatan teknis, Usmar Ismail hanya memiliki kamera Akeley tua. Kamera ini biasanya digunakan untuk syuting di luar ruangan dan mendokumentasikan acara olahraga. Demi mengatasi kendala teknis, Usmar mendapatkan pinjaman berupa penggunaan studio dan alat-alatnya dari PFN.
Meskipun proses produksi Darah dan Doa tidak sesuai ekspektasi, namun Perfini tampak percaya diri. Dua senior Perfini, Basuki Resobowo dan Djadoeg Djajakusuma, tampaknya seperti penjamin bahwa Perfini ke depan akan baik-baik saja. Basuki Resobowo telah dikenal sebagai orang pergerakan, seniman, dan penata artistik panggung bertindak sebagai penata artistik film. Sedangkan Djajakusuma, sebelumnya pernah menjadi sekretaris Dr. Huyung di Cine Drama Institute dan pengajar di Kino Drama Atelier, dua sekolah film awal yang berdiri semasa Revolusi.
Pernyataan Usmar yang menekankan bahwa film adalah kerja kolektif tampaknya ia refleksikan dari pengalaman pribadinya saat bertemu dengan ahli-ahli dalam pembuatan film yang tergabung dalam Perfini. Lalu siapakah orang-orang Perfini pada batch awal ini?
Usmar Ismail (1921 – 1971)
Mulanya saya pikir, mereka yang lahir pada tanggal 20 Maret itu memiliki zodiak Pisces. Ternyata setelah saya telisik lagi, Usmar Ismail adalah seorang Aries dengan shio Ayam. Lelaki kelahiran Bukittinggi ini dikenal pula sebagai sastrawan, jurnalis, dan juga sutradara. Ciri khas film Usmar Ismail, seperti yang pernah saya tulis dalam artikel tentang Harta Karoen dan Tjitra, adalah pengaruh panggung dalam pengadeganan aktornya. Pada tahun 1952, Usmar mendapatkan kesempatan untuk belajar di Amerika, lebih tepatnya mempelajari penulisan naskah, Begitu pulang dari Amerika dan terdesak oleh situasi keuangan Perfini, Usmar yang mulanya membuat film idealis beralih untuk membuat film yang bisa dinikmati publik lebih banyak dengan memasukkan unsur hiburan di dalamnya. Filmnya yang terkenal diantaranya: Darah dan Doa (1950), Krisis (1953) yang box office dan diputar di bioskop kelas I Metropole Jakarta selama lima pekan; Tamu Agung (1955) sempat mendapatkan anugerah Film Komedi Terbaik di Asia film Festival 1956 di Hong Kong; dan Adventures in Bali (1970) yang membuatnya meradang dan jatuh sakit.
Djadoeg Djajakusuma (1918 – 1987)
Lelaki Leo Tikus ini merupakan keturunan bangsawan Temanggung. Ia lebih dekat dengan seni tradisi. Apabila kita menilik karyanya seperti Embun (1951) maupun Harimau Tjampa (1953), eksplorasi seni tradisi seperti wayang lebih mendominasi. Untuk narasi film, Djajakusuma terpengaruh cerita rakyat seperti dalam Lahirnya Gatotkatja (1960), Bimo Kroda (1967), dan Malin Kundang (Anak Durhaka)(1971). Film pertamanya, Embun, dibuat saat Usmar pergi ke Amerika. Djajakusuma memilih Gunung Kidul sebagai latar cerita Embun karena ia sadar lanskap gersang kawasan minim hujan ini mampu menjadi simbol kekeringan psikis tokoh utamanya.
Basuki Resobowo (1916 – 1999)
Berdasarkan data dari Konstituante.Net, Resbow lahir pada tanggal 18 Februari 1916. Iya! Dia seorang Aquarius dengan shio Naga. Sehingga jangan heran apabila dia terkesan nyeleneh sekaligus ambisius. Sebelum aktif menjadi direktur artistik Perfini, Resbow pernah menjadi Guru Sekolah Rakyat Taman SIswa lalu menjadi ketua Indonesia Moeda cabang Bandung pada tahun 1930-an. Pernah pula ia berperan menjadi pelukis bernama Basuki dalam film yang terinspirasi dari cerita Zorro berjudul Kedok Ketawa (1941) buatan Union Films. Resbow sangat akrab dengan Leo Anjing, Chairil Anwar. Mereka sering main-main di Pasar Senen, untuk diskusi kebudayaan dan pergi ke tempat pelacuran. Pada Januari 1950, Basuki Resobowo pernah menulis bahwa tata artistic panggung itu seperti lukisan. Ia menerapkan kaidah seni rupa modern pada film-film Perfini awal, dengan mematangkan chiaroscuro (kontras gelap terang), menjurus pada lukisan karya Rembrandt Van Rijn dan Caravaggio. Inspirasi realisme versi seni rupa Indonesia juga dimunculkan dalam tata artistic film Perfini awal seperti Darah dan Doa, Enam Djam di Djogja, dan Terimalah Laguku. Selain menjadi penata artstik, Resobowo juga menulis naskah untuk film Terimalah Laguku (1953) dan penggagas cerita Tamu Agung.
Max Tera (1920 – 1992)
Mulanya ia seorang fotografer. Tera belajar sinematografi di bawah bimbingan sinematografer kebangsaan Belanda, AA Denninghoff-Stelling, sewaktu bekerja di SPFC. Ciri khas pergerakan kamera Tera adalah pengaplikasian teknis panning shot mengikuti gerakan aktor yang mengimajinasikan latar dalam frame sebagai panggung. Bersama dengan Djohan Sjafri, Tera turut berperan sebagai editor untuk film Darah dan Doa serta Enam Djam di Djogja. Tera memegang hampir semua film produksi Perfini, termasuk film Bayangan Diwaktu Fajar, produksi Perfini kerjasama dengan Singapura. Setelah Perfini bubar, Tera sempat menjadi penata kamera untuk film Romusha (1972) yang gagal dipasarkan karena Departemen Penerangan semasa Orde Baru menganggap film ini berpotensi mengganggu hubungan Indonesia-Jepang yang sedang mesra-mesranya di tahun 1970-an. Sampai akhir hayat, Tera masih terus memegang kamera untuk beberapa judul film.
Rosihan Anwar (1922 – 2011)
Dialah orang yang paling getol mempromosikan Neorealisme Italia ke publik Indonesia. Karena tulisan Rosihan Anwar pula, Usmar Ismail akhirnya berani untuk mengikuti beberapa rumusan Neorealisme Italia seperti pengambilan gambar di luar ruangan dan penggunaan aktor non-profesional untuk produksi awal Perfini. Rosihan Anwar, Libra Anjing, merupakan adik ipar Usmar Ismail yang dikenal sebagai jurnalis. Memang Usmar dengan tulisannya mampu membuat hegemoni Perfini serta Darah dan Doa masih eksis hingga sekarang. Namun jangan lupakan pula Rosihan Anwar yang selalu mention nama Usmar sebagai seseorang yang paling penting dalam industri film Indonesia. Selain menjadi jurnalis, di Perfini terkadang Rosihan berperan sebagai produser.
E. Sambas (1924 -)
Pria Gemini kelahiran Racaekek Cicalengka ini merupakan penata suara untuk film Darah dan Doa. E. Sambas lulus dari RTVS (Radio Technische Vac School) di Bandung. Selama di Perfini ia menjadi penata suara untuk film Dosa Tak Berampun (1951), Harimau Tjampa (1953), Lagi-lagi Krisis (1955), dan Anak Perawan di Sarang Penyamun (1962). Film Buah Terlarang (Eduart P. Sirait, 1979) membawanya mendapatkan Penghargaan Tata Suara Terbaik dalam perhelatan Festival Film Indonesia 1980. Mengutip halaman filmindonesia.or.id, E. Sambas setidaknya menjadi penata suara untuk 113 judul film dari tahun 1950 – 1994.
Suryo Sumanto (1918 – 1971)
Adik dari Soerastri Karma Trimurti atau S.K. Trimurti (1912 – 2008) ini merupakan penulis skenario dan produser. Di bidang politik, namanya memang tak setenar kakak perempuannya itu. Suryo Sumanto lahir di Klaten pada 15 September 1918. Mengutip halaman encyclopedia.jakarta-tourism.go.id, pada masa Hindia Belanda, ia sempat mengajar di Neutraalschool Delanggu, Verslaggeyex in die Bode di Klaten. Pada masa penjajahan Jepang, S. Sumanto bekerja di bagian pers dan propaganda di Pusat Tenaga Rakyat lalu menjadi pembantu umum di badan propaganda Jepang, Sendenbu. Sebagai produser, S. Sumanto membuat Embun, Dosa Tak Berampun, dan Tamu Agung. Sedangkan beberapa penulisan skenario untuk produksi Perfini diantaranya: Harimau Tjampa yang mengantarkannya menang sebagai Skenario Terbaik pada Festival Film Indonesia 1955; Putri dari Medan (1954); Lagi-lagi Krisis (1955); dan Tamu Agung. Pada 10 Maret 1956, S. Sumanto mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Karena lebih banyak bersinggungan dengan artis, bahkan membuat sesi temu pejabat dan artis, maka Suryo Sumanto lebih dikenal sebagai Bapak Artis Film Indonesia.
Perfini Selanjutnya
Beberapa nama yang telah saya sebutkan di atas merupakan kru utama untuk produksi film Perfini awal, terutama yang berkaitan dengan pembuatan film Darah dan Doa. Militansi Perfini awal yang cukup percaya diri untuk membuat film meski hasilnya tidak laris-laris amat bisa membius anak-anak muda (pria) untuk mau terjun dalam pembuatan film. Setelah dua tahun didirikan, nama-nama yang nantinya besar di dunia film mulai mendatangi Perfini. Beberapa anak muda yang menjadi batch selanjutnya untuk Perfini antara lain:
Chalid Arifin, asisten Basuki Resobowo di film Kafedo (1953) hingga kemudian meraih penghargaan di FFI 1955 untuk Tata Artistik Terbaik karena film Lewat Djam Malam. Chalid Arifin dikenal pula sebagai pengajar di Institut Kesenian Jakarta.
Nya Abbas Akup. Mulanya ditugaskan sebagai asisten Djadoeg Djajakusuma dalam produksi Harimau Tjampa. Setelahnya, Nya Abbas Akup dikenal sebagai sutradara yang fokus membuat film komedi.
Misbach Yusa Biran. Karena Misbach membuat review tentang Mertajun Sukma karya Bachtiar Effendi, Usmar mengajaknya turut dalam produksi film. Misbach mulanya bekerja sebagai asisten Usmar Ismail untuk Tamu Agung. Selain dikenal sebagai pembuat film, Misbach juga dikenal sebagai pendiri Sinematek Indonesia. (Baca Review Meratjun Sukma)
Terakhir ada Soemardjono, Aries kelahiran tahun 1927 yang menjadi editor. Pertama kali terlibat di Perfini saat Darah dan Doa dan Enam Djam di Djogja membutuhkan bantuan untuk syuting di Yogyakarta. Setelahnya, ia tergabung sebagai editor untuk film Embun. Soemardjono merupakan lulusan Kino Drama Atelier, murid Dr. Huyung. Selain berkolaborasi dengan Perfini, Soemardjono juga berkolaborasi dengan Sjumandjaja untuk produksi film Atheis (1974), Laila Majenun (1975), dan R.A. Kartini (1982).
ps. sebenarnya saya sudah cukup bosan menulis biografi para pria yang berkecimpung dalam dunia pefileman di tahun 1950-an. Namun sisi naif saya yang selalu berbisik, “its okay tulis dulu saja pria-pria ini, baru nanti kamu akan paham betapa dahsyatnya para perempuan pekerja film di periode ini.” Sejauh ini saya melihat bahwa para pria-pria ini, mengidamkan seorang perempuan terpelajar – bersanding sama-sama terpelajar dengan mereka. Namun, di samping aspek mengidamkan itu, mereka menutup mata pula pada ketimpangan-ketimpangan. Karya Ratna Asmara dikesampingkan, bahkan lebih parah semakin terkubur dalam kuburan arsip Sinematek. Saya harap kalian semua sabar menunggu para perempuan dan karyanya hadir menjadi nafas dalam blog ini. 🙂
Pingback: Sinema Klasik Indonesia: Si Melati Karya Basuki Effendy | Umi Lestari