Dalam artikel “Filem Saya Yang Pertama: Usmar Ismail Mengupas Film”, Usmar Ismail menegaskan bahwa Harta Karun (1949) dan Tjitra (1949) bukanlah film pertamanya.[1] Sutradara kelahiran Bukit Tinggi, 20 Maret 1921, seorang Pisces yang hampir memiliki traits Aries, ini menyatakan bahwa ia tidak memiliki kuasa sama sekali ketika membuat Harta Karun dan Tjitra. Ia disetir oleh produser dari studio milik Belanda, South Pacific Film Corporation (SPFC).
Upaya untuk menghapus keterlibatan Usmar dalam dua film produksi SPFC itu nampak dari ketidakhadiran credit title pada file digital yang saya dapatkan dari Sinematek Indonesia. Saya tergelitik untuk bertanya. Apakah penghapusan ini disengaja secara institusional? Ataukah ini kesengajaan pribadi yang membuat Usmar Ismail menyerahkan seluloid tanpa credit title ke pihak Sinematek Indonesia? Wallahu a’lam!
Pastinya, upaya Usmar Ismail untuk menghapus jejak Harta Karun menyisakan misteri. Wacana nasionalisme yang mengidamkan kehadiran pembuat film bumiputra dengan konten cerita yang sesuai dengan cita-cita revolusi memang meminggirkan film dan pembuat film sebelum kemerdekaan. Nasib naas pun menghampiri Harta Karun, si anak haram Bapak Perfilman Nasional. Film ini tidak diaku, namun ia eksis dalam kuburan arsip. Dan inilah cara saya untuk meninjau ulang rahasia-rahasia dalam kuburan tersebut.
Selain didorong wacana film nasional, saya curiga bahwa penolakan terhadap Harta Karun didorong pula oleh gengsi besar Usmar Ismail. Harta Karun tampaknya tidak sesuai dengan ekspektasi Usmar. Film ini nampak seperti karya amatiran, bahkan kalah baik ketimbang film buatan The Teng Chun, Wong Bersaudara, maupun Tan Tjoe Hock. Usmar yang pernah mengaku sebagai cinephile,[2] tentu memiliki selera yang baik saat menilai sebuah film. Sehingga ketika film pertamanya tidak sesuai keinginannya, ia langsung menolak dan mengubur karya ini dalam-dalam.
Padahal bagi saya, film ini penting untuk melihat eksplorasi artistik awal dalam pengkaryaan Usmar Ismail. Kita bisa melihat bagaiamana perjalanan seorang sutradara pemula ditugaskan (commissioned) oleh studio yang lebih mapan hingga kemudian berani untuk menapaki kemandirian dengan mendirikan studio miliknya sendiri. Armijn Pane pernah menegaskan pula bahwa Usmar Ismail cukup beruntung karena terlibat dalam studio yang cara kerjanya lebih teratur. Ia bisa menerapkan pengalamannya yang pernah bekerja dalam sandiwara amatir dan menggunakannya untuk pembuatan film. [3]
Lalu seperti apa eksplorasi awal Usmar Ismail dalam pembuatan film? Pertama-tama, kita kilas balik terlebih dahulu pada sosok Usmar Ismail sebelum membuat Harta Karun dan Tjitra.

Usmar Ismail: Dari Drama ke Film
Sebelum menekuni pembuatan film dan mendirikan Perusahaan Nasional Indonesia (Perfini) bersama konco-konco bekas pegawai Keimin Bunka Shidoso atau Pusat Kebudayaan, Usmar Ismail lebih dikenal sebagai sastrawan. Sebagai pemuda terpelajar, jenjang pendidikan Usmar Ismail berjalan mulus. Ia bersekolah di HIS, MULO, lalu AMS-A II di Yogyakarta.
Umurnya masih muda ketika Usmar Ismail bekerja di Keimin Bunka Shidoso pada masa pendudukan/kolonisasi Jepang (1942 – 1945). Ia bekerja di Departemen Drama, menerjemahkan naskah-naskah drama Jepang termasuk karya Kikuchi Kan (nama pena Hiroshi Kikuchi, sastrawan modern Jepang) berjudul Chichi Kaeru yang ia ubah menjadi naskah drama Ayahku Pulang. Film Usmar Ismail, Dosa Tak Berampun (1951) adalah karya yang dibuat berdasarkan naskah terjemahan tersebut.
Saat bekerja di Keimin Bunka Shidoso, Usmar bertemu dengan nasionalis lain yang lebih progresif. Rombongan Seniman Merdeka Berdiri. Anggotanya antara lain: Usmar Ismail, Cornell Simanjoentak (musisi), Suryo Sumanto (produser film), Djadoeg Djajakusuma, S. Soedjojono (pelukis), Basuki Resobowo (pelukis dan penata artistik film), Rosihan Anwar (jurnalis), Sarifin, Rasidi, Suhaimi, dan Malidar Malik. [4] Anggota Seniman Merdeka, seperti S. Sumanto, Basuki Resobowo, D. Djajakusuma, dan Rosihan Anwar nantinya menjadi founder Perfini.
Menurut Misbach Yusa Biran pendiri Sinematek Indonesia, selama bekerja di Keimin Bunka Shidoso, Usmar sempat mengintip pembuatan film di divisi Nippon Eiga Sha. Film buatan Jepang dengan konten propaganda Asia Timur Raya, membuat Usmar Ismail paham bahwa film bisa menjadi medium untuk menyampaikan informasi terkait dengan pembentukan identitas nasional. [5]
Meskipun sudah memahami pentingnya penyampaian pesan politis dalam film, namun Usmar Ismail belum terjun langsung dalam diskusi lebih serius tentang pembuatan film. Baru saat mengikuti presiden Soekarno hijrah ke Yogyakarta selama Perang Revolusi (1945 – 1949), Usmar Ismail perlahan mempelajari pembuatan film. Kediamannya di Jalan Sembiring No. 5 Yogyakarta digunakan untuk diskusi film. Mentornya adalah R.M. Soetarto dan Dr. Huyung yang kala itu bekerja di Berita Film Indonesia (BFI), di bawah Kementrian Penerangan.
Saat meliput Perjanjian Renville di Jakarta pada tahun 1948, prajurit NICA (sekutu) menangkap Usmar Ismail. Ia dituduh sebagai mata-mata Indonesia. Berkat Andjar Asmara, Usmar akhirnya bisa bebas. Ia kemudian bekerja sebagai asisten Andjar Asmara untuk produksi film Gadis Desa (1949). Selepas Andjar memutuskan untuk fokus ke penulisan film dan bergabung dengan Djamaluddin Malik untuk mendirikan Perseroan Artis Indonesia (Persari), Usmar naik pangkat menjadi sutradara di SPFC.
Di dalam studio SPFC ini, pembagian kerja jelas. Kameramen Belanda yakni AA Denninghoff-Stelling bertindak selaku produser eksekutif dan sinematografer. Asisten Denninghoff, yakni Max Tera nantinya mengikuti jejak Usmar untuk mendirikan Perfini. Editor film dipegang oleh Nawi Ismail, pembuat film lawasan yang sempat bekerja di studio The Teng Chun dan editor di Nippon Eiga Sha. Penata artistik adalah H.B. Angin, seorang pembuat papan reklame yang terjerumus dalam produksi film. Usmar Ismail bertindak sebagai regiesseur atau sutradara. Namun pemahaman sutradara di sini hanya menyasar pada penata laku aktor, tidak sepenuhnya memegang kendali produksi.

Harta Karun: Kisah Abdulkadir Tuan Tanah Yang Kikir
Saya pernah menyinggung bahwa Usmar Ismail memiliki kecenderungan untuk memasukkan teknik teater dalam filmnya. Pemain masuk frame diperlakukan seperti pemain yang memasuki panggung teater. Terkadang ada jeda. Pemain satu menunggu pemain lain menyelesaikan dialog. Film Usmar Ismail berbeda dengan film buatan Perusahaan Film Negara (PFN). Penggunaan ambilan close-up minim, mengindikasikan adanya keterbatasan eksplorasi dari teknis kamera itu sendiri. Asumsi saya: orang-orang PFN sebelumnya telah terlatih menggunakan kamera baik di studio Tan dan The atau studio Nippon Eiga Sha; sedangkan Usmar Ismail belum pernah sama sekali memegang kamera. Efeknya, film Usmar awal, sebelum ia berangkat untuk belajar film ke Amerika, lebih mengandaikan kamera seperti mata penonton panggung. Kamera tidak luwes mengikuti pergerakan aktor. Selain itu, penempatan properti untuk mise-en-scene juga seadanya yang penting tidak mengganggu pemain film keluar masuk.
Baca Review film Pulang (1952) karya Basuki Effendy
Itulah kesan pertama saya saat melihat film nasional pertama, Darah dan Doa (1950). Demikian halnya dengan Harta Karun. Signature Usmar Ismail dengan kecenderungan pendekatan teater dalam pembuatan film justru kuat. Sebagai uji coba pertama, Harta Karun memang lebih kaku dibanding Darah dan Doa. Mimik pemainnya hiperbolis. Tidak ada kejelian untuk membangun statement berdasarkan objek visual dalam frame. Tata artistiknya sangat sederhana, tidak se-eksploratif Darah dan Doa yang dipegang Basuki Resobowo.
Harta Karun merupakan film adaptasi dari naskah panggung L’Avare buatan sastrawan Prancis, Moliere. Tokoh utamanya adalah seorang tuan tanah bernama Abdulkadir. Sebagai orang kikir, Abdulkadir menumpuk harta dan menyimpannya ke dalam sebuah kotak tertanam di halaman belakang. Dua anak Abdulkadir, Suliati dan Ramelan, hendak memilih kehidupannya sendiri namun selalu ditentang oleh Bapaknya. Suliati jatuh cinta dengan Ahmad, penyelamatnya saat pingsan. Sedangkan Ramelan ingin menikahi Rohana. Abdulkadir yang kebelet kawin lagi ternyata hendak meminang Rohana dan memilih untuk bersaing dengan Ramelan. Di satu sisi, ia juga tidak menyetujui hubungan Suliati dan Ahmad. Suliati dijodohkan dengan saudagar kaya bernama Abdulrachman.Akhir cerita, terkuak bahwa Abdulrachman adalah ayah dari Rohana dan Ahmad. Tak kuat menghadapi biaya pemenjaraan Ahmad yang dituduh mengambil harta karun, Abdulkadir memilih untuk menghabiskan masa tuanya di penjara. Kemudian, Suliati menikah dengan Ahmad dan Rohana dengan Ramelan. Film Harta Karun ditutup oleh adegan bahagian perkawinan dua kakak beradik ini.
Menilik narasi Harta Karun, jelas karya ini bukanlah karya ideal yang merepresentasikan nasionalisme. Kisah justru seputar tuan tanah dan konflik dengan orang-orang sekitarnya, lepas dari konteks Indonesia yang baru saja merdeka. Harta Karun lebih mirip dengan film produksi Java Industrial Film (JIF) seperti Matjan Berbisik (Tan Tjoe Hock, 1949) atau Tan’s Film seperti Gagak Item (Joshua dan Othniel Wong, 1939). Namun, bila dibandingkan, Harta Karun memang tidak menonjolkan satu sosok pahlawan menyelamatkan perempuan-perempuan yang ditawan oleh tuan tanah dalam cerita. Kebusukan Abdulkadir justru terungkap lewat adegan persidangan, saat masing-masing karakter mengungkapkan siapa diri mereka sebenarnya.
Tentang The Teng Chun, Dr. Huyung, dan Nawi Ismail
Usmar Ismail secara tegas menyatakan bahwa film sebelum kemerdekaan, terutama yang dibuat oleh The Teng Chun, Tan Tjoe Hock, Wong Bersaudara, hanya menjual kisah-kisah mistis yang laris di mata penonton. Tidak ada unsur nasionalisme di dalamnya. Meski Armijn Pane telah menegaskan bahwa SPFC tidak memiliki niatan untuk berdagang, tetapi apa yang terpampang dalam film itu berkata lain. Narasi yang ringan. Adegan perkelahian. Kemudian penggunaan teknik matte, ketika Abdulkadir melihat ke cermin dan muncul kepala pembantunya melayang-layang sembari mencemooh si karakter utama, untuk menegaskan kecemasan internal ke khalayak. Formula ini digunakan untuk meraba keinginan pasar. Apakah dengan cara seperti ini, maka kultur menonton yang tertunda ketika Perang Revolusi dapat bangkit kembali? Apakah pasar akan bersemangat bila dihadirkan kembali film mirip dengan film sebelum kemerdekaan? Jawabannya ada di film Tjitra, bukan Harta Karun.
Bisa Lebih Humble
Ketika industri film Indonesia berkembang paska Perang Revolusi, upaya untuk merumuskan film nasional mulai menyeruak. Karya yang dianggap oleh campur tangan orang asing dianggap bukanlah film nasional. Para pembuat film yang datang dari Belanda (AA Denninghoff-Stelling) atau Korea-Jepang (Dr. Huyung) dianggap sebagai Liyan. Film Harta Karun dan Tjitra berakhir sama dengan si Pintjang (Kotot Sukardi, 1951): dicaci karena kehadiran AA Denninghoff-Stelling selaku sinematografer. Orang dari luar Indonesia dianggap Liyan, bahkan menjadi kambing hitam. Film Frieda (Huyung, 1951), meskipun diproduseri oleh PFN, nyatanya keok di depan penghakiman massa tanpa pembelaan dari pihak produsernya. Keengganan PFN untuk membela Frieda didasari oleh identitas Huyung selaku orang Korea yang pernah menjadi kolaborator Jepang di pasa pendudukan/kolonisasi Jepang 1942 – 1945.
Baca Review Frieda dari Dr. Huyung
Pembela pembuatan film lintas-etnis kala itu adalah Armijn Pane. Ia menawarkan konsep acculturatie untuk melihat estetika film Indonesia. Bagi Pane, acculturatie tidak hanya melihat bagaimana narasi lokal diproduksi dengan medium dari Barat, yakni teknologi kamera. Acculturatie juga menyasar pada produksi yang melibatkan orang-orang dengan latar belakang negara dan etnis yang berbeda. Jejaknya sendiri telah hadir misalnya pada film Loetoeng Kasaroeng (L. Heuveldorp, 1926) yang melibatkan teknisi Belanda dan orang-bumiputera sebagai penyokong dana dan pemain.
Sayangnya, wacana nasionalisme pada tahun 1950an tampak saklek. Wacana film nasional jelas meminggirkan peran pembuat film sebelum kemerdekaan (lihat penelitian Thomas Barker dan Charlotte Setijadi Dunn). Pembuat film non-Indonesia, meskipun telah memberikan workshop singkat dalam hal teknis juga dikubur dalam-dalam. Film dianggap produk nasionalis hanya bila hanya ia mampu menonjolkan perjuangan fisik bumiputra melawan penjajah (dan dibuat oleh bumiputra). Wacana nasionalisme pada masa ini hanya menyasar pada narasi, belum ke kode-kode visual dan bagaimana kerja berkelanjutan dari masa sebelum kemerdekaan hingga kemerdekaan mampu menyumbang apa yang disebut sebagai estetika film Indonesia.
Selain itu, pembacaan sempit semacam ini turut mendorong Usmar untuk melepaskan keterlibatannya sebagai sutradara dalam Harta Karun. Padahal kalau Usmar Ismail mau berbesar hati, Harta Karun bisa dilihat sebagai upaya awalnya untuk merumuskan peran teater dalam produksi film Indonesia. Harta Karun justru bisa dilihat sebagai eksplorasi artistik awal, belajar dari kegagalan.
Harta Karun (1949)
Sutradara: Usmar Ismail | Pemain: Rd. Ismail, Rd. Sukarno,
Djuriah Karno, Djauhari Effendi, A. Hamid Arief | Penggubah Naskah: Usmar
Ismail | Sinematografi: AA Denninghoff-Stelling | Editor: Nawi Ismail | Penata
Artistik: H.B. Angin | Genre: Komedi | Rumah Produksi: South Pacific Film
Company | Durasi: 71 menit
[1] Intisari No. 1/Tahun I/17 Agustus 1963
[2] baca tulisan Usmar Ismail di tautan berikut https://jurnalfootage.net/v4/usmar-ismail-pengantar-ke-dunia-film/
[3] Pane Armijn, Produksi Film Tjerita Di Indonesia: Perkembangannya Sebagai Alat Masjarakat, 1953, hl,m, 56 – 57.
[4] Rosihan Anwar, “Seniman Merdeka Dan Sandiwara Maya,” in Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia Jilid 7: Kisah-Kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), 44–45.
[5] Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film Di Jawa (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).