Setiap melihat filem klasik Indonesia yang dibuat pada tahun 1950-an, saya selalu bertanya: Bagaimana para pekerja kreatif membayangkan Indonesia yang baru seumur jagung? Sebelum memasuki perdebatan estetika dari kelompok yang berafiliasi dengan LEKRA ataupun Lesbumi, setidaknya belum ada pembacaan detil yang menyasar pada filem-filem periode ini. Dari beberapa filem klasik Indonesia yang pernah saya tonton, tawarannya memang hampir sama. Temanya tentang kecemasan paska perang fisik. Sedangkan karakter yang menonjol tentu dari pihak militer.
Namun, ketika mendudukkan satu per satu filem klasik tersebut, saya justru menjumpai hal-hal baru. Masing-masing sutradara ternyata memiliki ciri khas. Usmar Ismail tentu saja lebih piawai dalam membangun dramatisasi melalui dialog antar pemain. Dr. Huyung bisa menggabungkan romansa dan drama melalui montase gambar. Nawi Ismail pada masa tersebut, masih mengekor Huyung. Sedangkan Kotot Sukardi dan Basuki Effendy, dua tokoh penting yang mulanya bekerha di Perusahaan Filem Negara (PFN) dan nantinya berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat, justru mengeksplorasi efek film dengan penggunaan teknik superimposition dan penekanan pada unsur terang gelap atau chiaroscuro.
Baca lebih lanjut tentang filem Huyung dan Nawi Ismail
Baca lebih lanjut tentang Estetika Filem Klasik Indonesia
Bagaimana teknik tersebut digunakan? Pengalaman sinematis semacam apa yang ditawarkan dari penggunaan efek tersebut? Tulisan ini sendiri berusaha untuk menjawab dua pertanyaan itu dari contoh film karya Basuki Effendy berjudul Pulang. Saya menonton filem ini pada pertengahan Agustus 2019 di Museum Nasional, Jakarta, pada perhelatan Kultursinema #6: Gelora Indonesia dari Festival Arkipel.

Tentang Pulang
Secara garis besar, Pulang memiliki cerita yang hampir mirip dengan Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954). Keduanya sama-sama menunjukkan kecemasan seorang bekas tentara ketika menghadapi situasi di daerah asalnya yang telah berubah. Kedua karakternya kagok dengan modernisasi dan perubahan sistem masyarakat. Dalam Lewat Djam Malam, Iskandar si tokoh utama ditembak aparat dan mati secara tragis. Sedangkan dalam Pulang, Giman bekas tentara Heiho akhirnya bisa mantab mengikuti arus kemerdekaan dan berjuang untuk modernisasi Indonesia lewat pengobatan. Meskipun perubahan karakter dari Giman yang galau ke Giman yang mantab tampak terburu-buru, kurang mengeksplorasi potensi perjalanan psikis ke dalam gambar, tetapi banyak aspek yang bisa dibahas.
Pada masa pendudukan Jepang, Giman (diperankan oleh Turino Djunaedy) terpesona oleh propaganda Jepang dan bertugas di Birma di bagian Palang Merah. Ia dan istrinya kerap kali menyanyi untuk menghibur pasien korban perang di rumah sakit. Mereka tinggal bersama kedua orang tua sang istri. Sesekali kehangatan keluarga yang sedang menanti buah hati ini digambarkan melalui bidikan tatami (alas duduk orang Jepang). Giman tampak menaruh hormat pada mertuanya dan ia selalu berjanji membawa istrinya pulang ke tanah Jawa. Sayangnya saat Giman bertugas di medan perang, kabar bahwa istri dan calon anaknya telah meninggal tersiar. Giman pulang. Merana.
Sekembalinya ke tanah Jawa, Giman dihantui masa lalu. Ia tertangkap pihak sekutu dan harus menjadi mata-mata. Orang-orang di desa menganggapnya tidak memberikan kontribusi apapun untuk kemerdekaan Indonesia. Lalu Giman berjalan seorang diri dikelilingi latar pegunungan. Tubuh yang rapuh berdiri dilatari keindahan dan ketentraman pedesaan. Sekali waktu ia menyanyi di saung, membuat warga desa yang mendengarnya menjadi iba.
Penggunaan lanskap sebagai latar belakang si karakter yang berjalan tanpa arah, didera kegalauan membabi-buta, mengingatkan saya pada film Neorealisme Italia. Karakter dalam filem Neorealis seperti terjebak dalam alienasi dan kehampaan. Hal ini ditegaskan oleh Kovacs bahwa film Neorealis biasanya ditempatkan dalam kawasan miskin, terkadang menegaskan kekosongan emosi atau spiritual, seperti dalam film Rosselini Germany Year Zero (1948) atau Stromboli (1950). [1] Lanskap keindahan alam bukanlah ekspresi dari keadaan mental si karakter, tetapi justru menunjukkan kontras antara keindahan dan depresi si karakter. Mereka tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat yang ada di sekelilingnya.
Ketegangan ini semakin intens dengan penggunaan efek chiaroscuro. Dalam adegan saat Giman menceritakan masa lalunya, kesedihannya karena ditinggal istri dan penyesalannya bergabung dengan sekutu, efek terang gelap ini akan membuat penonton fokus pada si karakter. Terkadang bidikannya secara close-up dan middle shot. Kontras antara terang yang mengarah pada raut wajah karakter dan gelap sebagai latarnya semakin mempertegas unsur dramatis dari si karakter yang sedang menceritakan kejatuhannya. Kita akan mendapatkan kesan bahwa Giman sedang berada dalam fase tergelapnya, terpisah dari lingkungan maupun orang-orang di sekelilingnya.
Efek lain yang digunakan dalam Pulang adalah superimposition, penumpangan gambar. Efek ini digunakan untuk menggambarkan trauma dan kecemasan karakter paska perang. Giman dihantui oleh cemooh dari masyarakat setempat. Ketika ia mengawang, berada dalam fase ingin tidur tetapi terlalu sulit, kamera membidik raut wajah Giman. Beberapa detik kemudian, muncul kepala orang-orang desa yang mencaci Giman. Efek ini secara lebih khusus disebut matte.
Efek matte digunakan pertama kali oleh George Melies. Sang Godfather efek visual ini percaya kalau kita mengambil adegan lalu menempatkannya lagi ke dalam kamera, kita dapat membuat gambar baru. Jika kita membiarkan gambar gelap ada dalam paparan pertama, maka nanti kita dapat menyelaraskan atau membuat gambar baru di area gelap tersebut.[2] Dalam Pulang paparan pertama adalah gambar Giman sulit tidur. Setelahnya, kamera mengambil lagi menggunakan gulungan roll filem sebelumnya lalu meminta karakter figuran (orang-orang yang menghina Giman) untuk berakting di area yang lebih gelap. Efeknya penonton bisa membayangkan pergulatan batin semacam apa yang dirasakan oleh karakter utama dan apa yang membuatnya ketakutan.

Terakhir adalah penggunaan superimposition. Efek yang dibuat dengan menggabungkan dua gambar dalam satu bingkai (frame) digunakan saat Giman berada di kota. Merasa sebagai troublemaker di desa, akhirnya Giman memutuskan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Ia mengunjungi satu pintu ke pintu yang lain namun yang ia dapat adalah tulisan “Tidak Ada Lowongan”. Giman lalu berjalan tanpa arah, tentu kebingungan karena hidup memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam adegan ini, penonton dapat melihat tulisan “Tidak Ada Lowongan” bergerak berulang-ulang, menumpang ke gambar Giman berjalan. Gambar ini menjadi perwakilan dari kondisi mental Giman yang merasa ditolak dan menjadi orang tidak berguna.
Secara tepat guna, Basuki Effendy menggunakan beragam efek yang telah saya paparkan di atas untuk membahasakan kondisi psikologis si karakter utama. Penonton bisa merasakan kesepian, kecemasan, kemarahan, penolakan, serta trauma perang. Sayangnya kejelian Basuki Effendy ini tidak digunakan kembali untuk sekuen selanjutnya.
“Saudara adalah seorang laki-laki. Saudara harus mengatasi sentimen!”
Tentu ketika kita mendengar dialog ini, ada kesan supaya seorang laki-laki harus menunjukkan sisi maskulinnya. Dialog ini diucapkan oleh seorang dokter yang langsung mengetahui bahwa Giman didera beban masa lalu. Apakah memang kondisi paska perang meminta supaya seorang laki-laki untuk tetap siaga, mampu memberikan kontribusi untuk kemerdekaan? Apakah sentimen, pengalaman meratapi masa lalu adalah penghalang bagi seorang laki-laki untuk menjadi maskulin?
Bila sebelumnya Basuki Effendy mampu memaparkan alienasi Giman dengan kompleks dalam beragam efek, pada sekuen terakhir pola seperti itu tidak kita temukan. Giman langsung mantab belajar kembali menjadi mantri. Lanskap alam yang indah tampak padu dengan gerak cepat tim medis yang memiliki tugas membasmi wabah di desa. Tidak ada kontras terang gelap, seolah semua kembali terang – baik untuk Giman maupun penduduk desa yang berjumpa dengan modernitas lewat tim medis sebagai perwakilannya. Hubungan Giman dan keluarga justru membaik karena ia mampu menyembuhkan Bapaknya dan membantu masyarakat desa.
Tentang Basuki Effendy
Basuki Effendy atau yang akrab dipanggil BAS dikenal sebagai sutradara yang berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Ia lahir di Jakarta pada tanggal 9 Mei 1930. Saat pemerintahan kolonial Belanda, Basuki Effendy pernah terlibat sebagai pemain cilik dalam filem Air Mata Iboe (Njoo Cheong Seng, 1940). Setelah Indonesia merdeka, Basuki Effendy mengikuti Kotot Sukardi ke Yogyakarta. Pada tahun 1946, BAS dan Kotot membentuk Barisan Pemuda. Dalam kelompok ini, Basuki Effendy aktif sebagai pemimpin seksi penerangan dan membuat sekolahnya terganggu. Namun pada tahun 1948, BAS akhirnya bisa menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Pertamanya. Setelah Agresi Militer II, Basuki Effendy terlibat dalam penyelenggaraan sandiwara radio bersama Kotot Sukardi dan Pak Kasur sekembalinya ke Jakarta. [3]
Proses kreatif Basuki Effendy di dunia filem dimulai lagi dalam Djembatan Merah (Njoo Cheong Seng, 1949). Bas menjadi figuran dalam filem produksi Bintang Surabaya ini. Pada tahun 1951 – 1952, Basuki Effendy terlibat dalam Perusahaan Filem Negara. Ia menjadi pembantu sutradara dalam filem Inspektur Rahman (Moh. Said dan Nawi Ismail, 1951) dan Djiwa Pemuda (Bachtiar Effendi, 1951). Kolaborasinya dengan Kotot Sukardi kembali lagi ia lakukan pada filem Si Pintjang (1951). Ketika berumur 22 tahun, Basuki Effendy menyutradarai filem pertamanya yakni Pulang. Tercatat, Pulang mendapatkan penghargaan dalam perhelatan Festival Film Internasional Karlovy Vary yang diselenggarakan di Cekoslowakia.
[1] Kovacs, Andras Balint (2007). Screening Modernism. Chicago: University of Chicago Press. Hlm. 149.
[2] Sumber: https://www.futurelearn.com/courses/vfx-for-filmmakers/0/steps/13250
[3] Diambil dari Aneka, Nomor 6 Tahun III, 20 April 1952 “Bercakap-cakap Dengan Bintang: Basuki Effendy”. Sumber: https://seputarteater.wordpress.com/2016/08/15/aneka-1952-bercakap-cakap-dengan-bintang-basuki-effendy/
Pingback: Film Indonesia Minus Kiri? : Menelisik Sutradara Kiri Bachtiar Siagian, Kotot Sukardi, Tan Sing Hwat dan Basuki Effendy – Perpustakaan Online Genosida 1965-1966
Pingback: Reenactment Performance Daerah Hilang karya Bachtiar Siagian