Boredom menggelayut selama dua jam. Masa lalu superhero yang super tragis. Mendayu-dayu latar musik. Perkelahian melempem di akhir cerita. Karakter-karakter yang tak mendapat tempat layak. Kesan ini membuat saya bertanya-tanya: Di mana Joko Anwar yang mampu membuat teriakan saya menggema ke seluruh ruangan saat Pengabdi Setan (2017) menguasai bioskop Indonesia dua tahun lalu?
Secara keseluruhan Gundala (2019) tampak baik-baik saja. Formula tragedi yang dirumuskan oleh Aristoteles dalam Puitika digunakan secara tepat guna. Karya yang menjadi pembuka dari Bumilangit Cinematic Universe seperti diniatkan untuk memberikan pity and fear. Sebagai penonton, kita akan dengan mudahnya memberikan rasa iba pada Sancaka kecil yang ditinggal mati Bapaknya dan ditinggal pergi Ibunya. Joko Anwar juga memberikan pengalaman ketakutan, terutama dalam adegan-adegan di perlintasan kereta api.
Tragedi… O… Tragedi
Menurut Aristoteles, tragedi seperti puisi: Semacam imitasi tapi menambahkan tujuan yang serius. Untuk mendapatkan hasil yang baik digunakanlah aksi langsung. Sebagaimana yang saya kutip dari situs CliffNotes, tujuan tragedi adalah “to arose pity and fear”. [1] Kemudian, menurut Maria Puspitasari Munthe, tragedi disebut Aristoteles sebagai karya yang mempresentasikan manusia yang bertindak lebih baik daripada yang diharuskan oleh norma.[2] Untuk mempresentasikan manusia lebih baik ini, Aristoteles menekankan pada aksi. Yang dimaksud aksi di sini adalah sebuah kesatuan dalam alur cerita. Bagian awal harus menjadi sumber, gambaran semua akhir yang terjadi di tengah dan akhir cerita. Ketika cerita berakhir, tidak ada yang menggantung dalam karya tersebut.
Pada bagian awal film Gundala, sumber terpaparkan jelas. Penonton mudah menangkap pilihan moral Sancaka, dari pribadi soliter hingga mau menyelamatkan masyarakat dari serum amoral. Bagian ini pula yang menunjukkan kecermatan Joko Anwar selaku sutradara. Dengan terang ia memilih alat pengeras di pabrik sebagai alusi atas kekuasaan yang timpang: Berbekal bunyi, namun berimbas besar pada pergolakan buruh. Pada bagian ini pula, penonton melihat kisah tragis Sancaka yang mampu mengundang rasa iba. Kita telah dihadapkan pada sebuah penantian: Akan seperti apa nantinya si anak tanpa Bapak dan tanpa Ibu ini mampu bertahan seorang diri?
Pilihan anak tanpa Bapak dan Ibu sebagai karakter utama memang masif digunakan dalam budaya populer global. Jan Jagodzinski mencatat bahwa fenomena anak yatim selaku tokoh utama bisa dilacak dari tentu saja dari Harry Potter hingga Clark dan Lana dalam Smallville. Jagodzinski menambahkan bahwa posisi para yatim di masyarakat menjadi whole ketika mereka memiliki suatu berkah, bisa sihir atau memiliki super power.[3] Harry Potter punya sihirnya, sedangkan para mutan dalam X-Men, Fantastic Four, dan Spiderman diberkahi dengan kekuatan beyond human. Karena mereka memiliki kekuatan –lah, mereka bisa diterima di masyarakat – sama seperti Sancaka / Gundala versi Joko Anwar.
Jagodzinski mengaitkan temuannya mengenai anak muda yatim tapi punya super power untuk melihat bagaimana media “menyebarkan” paranoia. Ketiadaan Bapak Simbolik yang kuat, terutama setelah Perang Dingin, membuat ketidakpercayaan pada sistem menguat dalam budaya populer. Meskipun demikian, Gundala versi Joko Anwar ternyata jatuh untuk bisa memperbaiki sistem. Gundala memang menggunakan formula anak yatim untuk membangkitkan iba, tetapi anak yatim tersebut tidak dipergunakan untuk menjadi penggerak pergolakan politik yang lebih besar. Istilah lainnya, Gundala justru ditunggangi oleh anggota dewan, Ridwan Bahri (diperankan Lukman Sardi). Jalan cerita semacam ini justru kontras dengan pilihan Pengkor yang akhirnya mampu membuat pasukan anak-anak yatim demi kepentingan politisnya (meskipun pilihan Pengkor pada babak terakhir terkesan menjadikan dirinya sendiri seorang martir supaya rakyat bisa bersatu).
Aspek lain yang cukup menonjol dalam Gundala adalah penggunaan kereta dan perlintasan kereta. Dalam sinema, kereta selalu diartikan dengan modernitas, ketepatan, pembaharuan. Penggunaan kereta yang diasosiasikan dengan kemajuan dan perubahan bisa dilihat adegan Sancaka kecil berlatih dengan Awang. Sancaka bisa mendapatkan ilmu bela diri yang akan membantu saat ia dewasa. Pada sisi yang lain, kereta pula yang membawa Awang dan Ibu Sancakan di masa lalu untuk pergi ke kota yang memberikan janji manis pada penduduknya (hidup aman dan sejahtera). Kegagalan Sancaka menaiki kereta sendiri bisa dilihat sebagai upaya pembangunan cerita. Sancaka harus menyelesaikan hal ihwal di Jakarta, termasuk untuk lahir sebagai patriot.
Bila kereta pada bagian awal digunakan sebagai objek membawa hasil positif, maka pada babak berikutnya kereta menjadi pembawa atmosfer fear. Lewat bidikan pada pengamen jalanan yang secara serampangan mengganggu anggota dewan di dalam mobil, penonton dibiarkan untuk merasakan ketakutan diserang sesuatu yang tidak pasti (bidikan pada gerakan pengamen yang membabi buta). Begitu mobil melaju melewati perlintasan kereta, penonton akan ikut lega karena bahaya telah hilang. Adegan ini diulangi dua kali lagi saat adegan Ridwan Bahri. Kemudian semakin intens dalam adegan pada perlintasan kereta di babak akhir saat Gundala menolong Ridwan Bahri. Akhirnya ketidakpastian dan teror teratasi dengan kehadiran Gundala.
Bagus Sih.. Tapi….
Kritik sosial dalam Gundala memang relevan bila dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini ketika korupsi bisa ditemukan pada lapisan paling atas hingga paling bawah pemerintahan. Kemudian penekanan pada masyarakat yang mudah tersulut untuk main hakim sendiri juga mendapat tempat. Misalnya, imbas dari main hakim sendiri bisa dilihat dari kemunculan karakter Pengkor. Selain itu, banjir informasi lewat televisi maupun media sosial nyatanya tidak membuat masyarakat terbuka. Justru masyarakat semakin dilanda kecemasan tanpa dasar, terutama ketika virus amoral tersebut mengancam generasi selanjutnya.
Sekilas, kita bisa saja mengkategorikan Gundala sebagai contoh dari national-popular yang pernah ditawarkan oleh Antonio Gramsci. Menurut Valeriano Ramos, Jr, kelas proletar harus “menasionalisasikan diri” dengan mengartikulasikan melalui prinsip hegemoni atas aspirasi national-popular dan sisi objektif dari kelas subaltern.[5] Ketika penggunaan prinsip hegemoni ini berhasil, maka ini akan menjadi “kepercayaan populer”, mampu untuk menyebarkan dan memberikan kepastian pada konsensus yang lebih luas. Pertanyaannya kemudian: Apakah Gundala mampu mengemban konsensus ini? Sedari awal, Sancaka sendiri menolak untuk disebut sebagai pahlawan. Ia memilih ‘rakyat’, seolah ingin memastikan bahwa orang biasa mampu menjadi seperti dirinya. Sayangnya, hal ini tidak disokong dengan unsur sinematis yang memang lebih dekat dengan “kenyataan pabrik” sehari-hari. Properti well-arranged. Kontrakan murah pegawai pabrik minus lusuh dan pergerakan kamera tampak kurang mampu menangkap sisi survival dari karakternya. Misalnya dalam adegan Sancaka kecil harus melahap makanan yang telah ia tendang. Framing masih mengandaikan bahwa anak kecil yang malang ini sebagai objek tontonan, memaksa penonton untuk iba.
Menengok ke belakang, pilihan untuk menghadirkan sosok pahlawan secara organik bisa dilacak dari dari film Nawi Ismail. Paling membekas tentu saja filmnya yang berjudul Samson Betawi (1975). Asosiasi kata dalam ‘Samson’ dan ‘Betawi’ sudah cukup kuat untuk menjelaskan konflik tanah, identitas kesukuan, dan hierarki kelas. Nawi secara genial membuat kolase mitos: Samson dari Alkitab untuk mempresentasikan konflik lahan, saat pemerintah mengambil tanah orang-orang Betawi atas nama pembangunan. Sedangkan untuk pengambilan gambarnya sendiri, Samson Betawi lebih menekankan untuk percaya bila kamera sudah mampu menghadirkan hal-hal dekat dengan keseharian. Tidak ada upaya untuk membuat orang-orang percaya seperti ambisi bangunan properti Gundala untuk menekankan ketimpangan sistem. Gap antar kelas dalam Samson Betawi mengalir smooth lewat percakapan saat Samson dan Duile sedang pacaran.
Untuk contoh selanjutnya saya terpaksa menyinggung Gundala Putra Petir (Lilik Sudjio, 1981). Masih terngiang dalam ingatan saya saat Ghazul, diperankan oleh W.D. Mochtar yang memang piawai sebagai pemeran antagonis, menjabarkan alasannya menjadi villain. Ghazul membenci peneliti karena ia adalah korban pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Sewaktu di dalam kandungan, Ibu Ghazul membawanya ke Jepang dan radiasi bom nuklir berimbas pada kelahiran Ghazul yang cacat. Ia menyebarkan kejahatan karena ingin membalas ketidakadilan sistemik. Gundala Putra Petir mampu menunjukkan bahwa kebencian personal merupakan imbas dari situasi global dan perang. Hal ini yang belum digali dalam Gundala 2019.
Terakhir, saya juga ingin menyebut Gundah Gundala, film pendek karya Wimar Herdanto. Gundala banting setir ingin menjadi pegawai berkerah tapi gagal dalam proses wawancara. Imbas dari superhero DC dan Marvel membuatnya kehilangan job sebagai superhero lokal. Dengan caranya yang sederhana, Gundah Gundala mampu memutarbalikkan pemahaman kultural kita tentang superhero lokal dan imbas budaya populer di Indonesia. Penekanannya pada negosiasi. Tentu berbeda dengan Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot yang tampak berambisi.
Sebuah Selingan Karena Kata Roland Barthes: Yang Kadang Tidak Penting Justru Malah Penting
Well, saya menonton Gundala pada awal bulan lalu. Kawasan Serpong saat itu sedang terik-teriknya dan saya secara impulsif memutuskan pergi ke bioskop yang terletak di salah satu mall. Siang itu, ruang bioskop cukup sepi. Tiga barus diisi masing-masing oleh lima penonton.
Saat tengah pemutaran, anak-anak kecil yang mungkin masih duduk di bangku sekolah dasar, mengeluarkan celetukan, “ini jump scare… waaa… jump scare lagi!”. Saya cuma membatin, “pintar juga ya anak-anak generasi Alpha. Sudah paham untuk menamai teknik jump scare untuk sebuah adegan.”
Keluar dari gedung bioskop, saya masih memikirkan celetukan anak-anak tadi. Apa memang cinematic apparatus berhasil? Dengan mudahnya beberapa bocah memiliki perbendaharaan kata yang dulunya hanya dimengerti orang tertentu saja.
Berhari-hari kemudian, ketika saya masih bingung menentukan topik tulisan, lagi-lagi saya hanya bisa membantinkan: Bukankah Gundala film superhero? Mengapa anak-anak tersebut justru menangkap bagian jump scare yang dekat film horor? Ternyata kesan semacam ini tidak hanya dirasakan oleh anak-anak tersebut. Tulisan dari Sardina dari situs Jurnalotaku misalnya memberikan deskripsi bahwa “adegan-adegan Gundala seperti film thriller dan horor”.[6]
Bisa dikatakan Gundala sebagai pilot project menanggung beban berat. Film ini harus mengenalkan karakter yang nantinya akan muncul dalam skema Bumi Langit selanjutnya. Namun sekali lagi, ini bukan dalih untuk mengorbankan aspek yang lain. Villains Anak Bapak Pengkor dalam Gundala tidak mendapatkan tempat layak dalam layar. Penonton tidak bisa mendapatkan jeda untuk mentransfer informasi mengenai para antagonis tersebut. Padahal kalau mereka memiliki porsi yang pas, perkelahian di akhir cerita akan semakin dramatis dan citra Gundala sebagai pahlawan akan lebih kharismatik. Fear yang dibangun Joko Anwar sepanjang film masih terpaku pada teknis horor. Ia belum bisa menggali kebrutalan para villains untuk menebarkan teror supaya pahlawan bisa muncul seperti skema buatan Aristoteles.
Imbasnya, Joko Anwar seperti tidak percaya pada sinema. Pada proses sebelum dan sesudah Gundala tayang, telah bertebaran objek-objek yang akan mendukung film ini – seolah Gundala sebagai filmtidak dipercaya untuk berdiri sendiri. Imajinasi penonton terhadap film ini seperti disetir dengan munculnya infografik tentang para villains yang memang tidak mendapat tempat dalam layar. Memang sinema saat ini butuh banyak hal, terutama media sosial supaya penonton terus berdatangan. Namun dengan mengkonsumsi materi lain yang tersebar dalam beragam medium, saya tergelitik untuk bertanya: Masihkah kamu percaya sinema?
Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot (2019)
Ada anak yatim bernama Sancaka. Ia dibesarkan oleh ketimpangan kelas sosial yang membuatnya harus bertahan seorang diri. Begitu dewasa, dihantui trauma kehilangan Bapak dan Ibunya, Sancaka tumbuh menjadi pribadi yang soliter. Ia bekerja sebagai satpam dan tinggal di rumah susun. Kemudian ia terjebak untuk menolong orang-orang pasar dan tetangganya yang bernama Wulan. Semakin meluas, ternyata yang Sancaka hadapi adalah anak yatim lain bernama Pengkor yang membenci masyarakat dan berniat menyebarkan virus amoral.
Sutradara: Joko Anwar | Penulis: Joko Anwar, Hasmi | Pemeran: Abimana Aryasatya, Tara Basro, Bront Palarae, Ario Bayu | Penata Kamera: Ical Tanjung | Departemen Artistik: Wencislaus de Rozari, Patrice Isabelle, Darwyn Tse | Produser: Bismarka Kurniawan, Sukhdev Singh, Wicky V Olindo | Produksi: Screenplay Films, Bumilangit Studios, Legacy Pictures, Ideosource Entertainment | Durasi: 123 Menit
[1] Dikutip dari “Critical Essay Aristotle on Tragedy” sumber: https://www.cliffsnotes.com/literature/a/agamemnon-the-choephori-and-the-eumenides/critical-essay/aristotle-on-tragedy. Diakses pada 1 Oktober 2019 pukul 11:59.
[2] Munthe, Maria Puspitasari (2015). “Jalan Tengah Aristoteles”. Sumber: https://mediasastra.com/esei/441/jalan_tengah_aristotle. Diakses pada 1 Oktober 2019 pukul 12.04.
[3] Jagodzinski, Jan. (2008). Television and Youth Culture: Televised Paranoia. New York: Palgrave Macmillan. Hlm. 10.
[4] Rizal, Jose. (1994). El Filibusterismo: Merajalelanya Keserakahan. Jakarta: Pustaka Jaya. Hlm. 400.
[5] Valeriano Ramos, Jr. (1982). “The Concepts of Ideology, Hegemony, and Organic Intellectuals in Gramsci’s Marxism”. Sumber: https://www.marxists.org/history/erol/ncm-7/tr-gramsci.htm Diakses pada 1 Oktober 2019, pukul 14. 24.
[6] Sardina. (2019). “Gundala Mau Dibawa Kemana”. Sumber: http://jurnalotaku.com/2019/09/07/review-gundala-mau-dibawa-ke-mana/ Diakses pada 1 Oktober 2019 Pukul 16.33.
setelah membaca ulasan Perempun Tanah Jahanam saya mampir ke ulasan ini… dan saya ketagihan membaca ulasan buatan anda. 🙏 Terima kasih telah berbagi
sama-sama, mas. selamat membaca 🙂