Konsep aparatus cinema yang muncul pada era 1970-an menekankan pada kritik terhadap ideologi dalam teks film dan proses menonton itu sendiri. Bagi Metz, Baundry, dan Mulvey, sinema menawarkan ilusi. Para pemikir Lacanian awal ini mengawinkan konsep Ideological State Apparatuses dari Louis Althusser dengan konsep pembentukan subjek dalam esai “Fase Cermin” dari Jacques Lacan. Sinema diibaratkan sebagai cermin yang memberikan kesadaran palsu dan membawa subjek supaya tunduk pada ideologi.[1]
Sayangnya,konsep aparatus sinema tersebut menggunakan konsep Lacan yang belum matang. Menurut McGowan, para pemikir Lacanian awal tersebut belum menyentuh ranah Real. Padahal ketika sinema mampu mengungkapkan sesuatu yang tidak terbahasakan, ia memiliki potensi untuk mempertanyakan ideologi. Namun McGowan sendiri tidak menampik adanya jenis film yang membuat penonton tunduk pada ideologi dominan. Ini adalah jenis sinema integrasi yang dihadirkan oleh film-film Hollywood (dan sejenisnya). Salah satu ciri sinema integrasi adalah alur dimulai dengan pertanyaan, lebih menekankan pada hasrat, tetapi pada akhirnya fantasi bekerja sebagai jawaban. Kebebasan yang ditawarkan relatif semu, masih tunduk pada tatanan simbolik dalam narasi. Jenis sinema integrasi biasanya menggunakan keberhasilan hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk mengatasi antagonisme kelas.
Salah satu sutradaranya Indonesia yang karyanya bisa dikategorikan ke dalam sinema integrasi adalah Ody C. Harahap. Sutradara yang memulai debut dengan Bangsal 13 (2004), beberapa tahun belakangan lebih sering memunculkan tema keluarga. Terakhir, Ody membuat Orang Kaya Baru (2019). Film Ody selalu dimulai dengan pertanyaan, “mengapa aku berbeda?”, “mengapa aku tidak bisa menikmati sesuatu seperti orang lain?”, dan terakhir, “mengapa keluargaku terlihat miskin?”. Penegasan antagonisme ini menjadi jalan Ody untuk menunjukkan fantasi keharmonisan keluarga sebagai jawaban atas kesenjangan sosial yang dialami karakter dalam filmnya. Meskipun pada akhirnya Ody membuat karakternya bebas memilih jalan hidupnya, tetapi unsur lega karena semua hal kembali pada tempatnya lebih dominan. Ody memang mampu memunculkan kehangatan menjadi sebuah keluarga utuh. Namun hangatnya seperti sop ayam versi restoran cepat saji, minim modifikasi.
Baca Marlina si Pembunuh sebagai Sinema Integrasi
Tulisan ini menyandingkan tiga karya Ody C. Harahap. Pertama, Kapan Kawin (2015) yang lebih menitikberatkan pada proses pembentukan keluarga. Film ini menjadi contoh bagaimana antagonisme kelas diselesaikan melalui penghadiran sepasang kekasih yang dibutakan oleh asmara. Kedua, Sweet 20 (2017) bisa diandaikan sebagai perjalanan Bapak menjadi Hukum-Sang-Ayah dengan skenario kepergian Ibu. Terakhir, Orang Kaya Baru (2019), di mana Bapak tidak mau merelakan posisinya sebagai pemegang otoritas simbolik. Dalam film ini, Bapak tetap ingin mengatur kehidupan anak-anaknya meskipun ia telah tiada. Ketiga film ini ber-genre drama komedi. Alih-alih menggunakan potensi komedi untuk mengganggu atau mempertanyakan ideologi saat ini, Ody ternyata membawa komedi untuk mendukung norma yang berlaku di masyarakat mengenai pentingnya keluarga dan porsi masing-masing anggotanya.
Fantasi Percintaan Ala Kapan Kawin
Sebelum mengeksplorasi mode fantasi dalam teks film, Ody terlebih dahulu bermain aman dalam Kapan Kawin (2015). Ardinia “Dinda” Wirasti selalu dihantui oleh permintaan Bapak dan Ibunya untuk segera menikah di usianya yang sudah menginjak 33 tahun. Kehadian Satrio/ Rio (diperankan Reza Rahardian) menjadi kontras, memunculkan unsur komikal dalam hubungan antara wanita karir vs lelaki pengangguran berkedok seniman peran. Pada awalnya cukup menghibur, tetapi saat pertengahan cerita, Kapan Kawin menjadi normatif. Pesannya masih umum: keluarga sempurna belum tentu bahagia (diwakili keluarga kakak Dinda), orang tua akhirnya mendengarkan keinginan anak, dan cinta itu buta tidak memandang kelas sosial (penyatuan Dinda dan Satrio).
Kapan Kawin menjadi film yang sangat ringan untuk ditonton. Gambar dan jalan ceritanya akan mengingatkan kita pada Film Televisi (FTV). Pemilihan Yogyakarta sebagai latar untuk menyelesaikan konflik sekaligus mendapatkan pasangan masih berelasi dengan gaya FTV. Tetapi ini tidak sinkron dengan cara Ody membiarkan karakter Satrio yang selalu mengkritik akting sinetron. Ody seperti “banyak omong, tindakan kosong”. Komentar pedas pada akting sinetron dilancarkan, namun Ody masih menggunakan gambar ala televisi. Yogyakarta masih digambarkan melalui: 1) Gunung Merapi dan lanskap sawah melalui kamera drone; 2) jalanan Malioboro untuk membangun romansa; 3) piknik di pantai selatan; 4) menaiki mobil berlampu warna-warni di Alun-alun Selatan.
Untuk narasinya sendiri, sedari awal Ody memang tidak menampilkan Dinda sebagai wanita karir mandiri. Terlihat misalnya dalam adegan Dinda yang salah tingkah ketika Ibu menelpon. Ia dihantui desakan Bapak (dan Ibunya) untuk segera memasuki tahapan pernikahan. Untuk membebaskan diri dari desakan tersebut, Dinda menyewa Satrio untuk menjadi kekasih bayaran. Skenario manis ini berujung kenyataan. Dinda sepertinya dengan mudah menerabas batas, mengijinkan dirinya menyukai lelaki “beda kelas”. Meskipun manis, namun ini hanya ilusif. Pelembagaan ini berlangsung tanpa banyak drama, tanpa perlu mempertanyakan latar belakang, dan tampak baik-baik saja.
Sweet 20: Menjadi Bapak dan Anak yang Patuh
Bila menyangka bahwa Sweet 20 (2017) akan membicarakan mengenai petualangan Fatma, si nenek 70 tahun, mendiami tubuh seorang gadis, maka ini keliru. Kepergian Fatma (diperankan Niniek L. Karim) justru dibuat supaya tokoh Aditya (Lukman Sardi) bisa menjadi Bapak, si pembuat hukum dalam keluarga. Aditya yang semula tidak bisa menengahi konflik antara Salma (Cut Mini) dengan ibunya sendiri, tampak sebagai laki-laki tanpa daya. Skenario menjadi berumur 20 tahun dihadirkan supaya dalam waktu yang singkat Aditya bisa menyadari posisinya sebagai Bapak, kepala keluarga, sekaligus anak yang harus berbakti pada orang tuanya. Fantasi ini ditunjukkan supaya bentuk keluarga utuh kembali pada posisinya.
Pemilihan kota Bandung dengan jalanan Braga, tepat untuk menggapai vibes menjadi vintage. Kota Bandung membuat ruko “Forever Young” yang menjadi tatapan (gaze) dalam film ini tampak bisa diterima. Rukonya dibuat semencolok mungkin, menggunakan cat warna ungu, kontras dengan bangunan lain di sekelilingnya. Kehadiran Fatma di ruko ini tak lain adalah demi menjinakkan usia, menjadi muda kembali seperti apa yang ia idamkan. Selain itu, tatapan ini akhirnya juga memantik hasrat Fatma, mewujudkan keinginan lamanya sebagai penyanyi sekaligus merasakan jatuh cinta kembali. Begitu ruko itu menghilang, tatapan itu sudah menetap dalam tubuh Fatma. Ia tidak kontras dan bisa diterima oleh lanskap Bandung yang lekat dengan kesan zaman dulu. Ruangnya juga intim, sesuai dengan pesan yang hendak diangkat. Antara karakter dan masyarakat yang ada dalam film tampak dekat, dengan mudah berlalu lalang.
Petualangan Fatma muda bergerak dari satu tempat ke tempat lain bisa diandaikan seperti melihat sebuah tatanan simbolik di suatu kota. Secara tidak langsung, Mieke/Fatma mengajari cucunya untuk terjun ke masyarakat, menegaskan identitas menjadi pemusik. Dengan bergabung dengan band, mendandani anggotanya supaya lebih diterima di masyarakat, kemudian meyakinkan cucunya untuk percaya diri menulis lagu, menjadi seperangkat aturan main yang diturunkan ke cucunya sendiri. Langkah yang ditunjukkan, mengikuti aturan main yang ada di masyarakat seperti berikut: menjadi pengamen jalanan, tampil di tayangan televisi lokal, kemudian bisa tampil dalam konser skala besar. Fatma membuat cucunya tampak menjadi pemuda normal yang nantinya bisa bisa meyakinkan bapaknya sendiri.
Selama Fatma pergi, karakter Lukman Sardi justru berkembang. Ia sadar bahwa selama ini ia tidak mampu menengahi konflik yang terjadi di dalam rumahnya, menjadi bapak yang tidak sempurna. Begitu disadarkan dengan pentingnya kehadiran seorang Ibu melalui perjalanan kepergiannya, karakter Aditya akhirnya bisa menjadi Bapak yang lebih tegas, sekaligus toleran, mau mendengarkan keinginan anaknya. Adegan terakhir dalam film, ketika Fatma ditemani anak dan menantunya melihat cucunya di atas panggung, menjadi titik di mana keseimbangan proporsi menjadi keluarga berjalan senormal mungkin. Memang ada debat antara mertua dan menantu, tetapi itu tidak merusak tatanan keluarga.
Momok Sang-Ayah dalam Orang Kaya Baru
Formula yang digunakan OKB mirip dengan Sweet 20. Lukman Sardi masih menjadi Bapak dan Cut Mini sebagai Ibu. Ody juga mengeksplorasi luberan fantasi, ketika karakter dalam filmnya mampu mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan jalan berlebihan. Ia mengontraskan keadaan ketika keluarga berkecukupan dan saat uang hadir turah-turah. Ceritanya sendiri bisa dibilang klise, mengulang imaji menjadi kaya dan bisa membeli apa saja.
Sebenarnya ada beberapa adegan yang bisa dimatangkan untuk mengolah sisi komikal film ini. Pertama, ketika Dodi si bungsu menceburkan diri dalam bak mandi. Kamera terlalu terburu-buru, tidak memberikan jeda supaya pengalaman ‘salah pakai’ tersampaikan dengan pas. Kedua, ketika objek seperti meja, kursi, dan lemari plastik dari rumah lama ditempatkan dalam ruang keluarga di rumah seharga 8M. ‘Salah tempat’ ini bisa dibaca sebagai ketika kepincangan (lack) dan kelebihan (excess) bisa melebur dalam satu momen, digamblangkan dalam gambar. Sayangnya, sekali lagi Ody terlalu terburu-buru mengganti bekuan gambar tersebut. Padahal titik inilah yang memiliki potensi untuk mengganggu persepsi penonton.
Baca tentang Komedi dalam Film Milly & Mamet
Komedi terjadi saat kita dikejutkan oleh pertemuan antara kepincangan dan yang berlebihan. Sehari-hari kita hanya mengalami pengalaman menjadi kurang (lack) seperti ketidakpuasan saat bekerja, frustasi saat berinteraksi dengan kolega. Dalam keseharian kita, yang kurang selalu dipisahkan dengan yang berlebihan: gelandangan dipisahkan dengan kelompok dengan rumah bagus dan orang sakit dikarantina di rumah sakit. Divisi semacam ini yang membentuk logika kita sehari-hari, menjaga gangguan untuk muncul seminimal mungkin. Komedi itu sendiri dibentuk dari ketidaksengajaan, keintiman antara relasi kurang dan lebih muncul ke permukaan. [2]
Ody memang memberikan gambaran pemisahan antara rumah orang biasa di antara gang-gang Jakarta dengan gambaran town house yang akhirnya dimiliki keluarga OKB. Ody juga sempat menunjukkan kejutan dengan penempatan yang tidak sesuai, meskipun ternyata berakhir kurang pas. Alih-alih mengolah hal-hal kecil semacam itu, ternyata Ody lebih ingin menegaskan posisi Bapak yang dimoderasi secara digital sehingga wejangan dan aturan mainnya masih “hidup”. Bapak yang muncul dalam layar laptop menjadi tatapan. Ia yang seharusnya terkubur, ternyata meminta hidup dalam dunia digital. Kehadirannya sebagai objek a sekaligus fantasi ditegaskan oleh Ody melalui jukstaposisi ketika ia masih berada dalam laptop kemudian dihadirkan secara penuh dalam layar. Ketika Bapak muncul pertama kali dalam layar laptop, ia bisa dilihat sebagai momen kejutan saat yang kurang (keadaan mati) dan yang lebih (mediasi lewat digital) berkelindan.
Kehadiran Bapak di dalam video selalu diulang-ulang. Meskipun pada awalnya Bapak memberikan warisan berupa uang yang mampu membuat anak-anaknya menangguhkan perbedaan kelas sosial dengan sekitarnya, tetapi itu hanyalah ilusi. Tika bisa lintas kelas bergaul dengan anak populer di kampus, Duta bisa menampilkan pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta, dan Dido bisa membeli sepatu seharga empat juta rupiah yang membuat teman-temannya terpana. Namun ujungnya, anak-anak ini tidak sebebas itu. Mereka diproyeksikan untuk bisa ‘stick to’ Hukum Sang-Ayah. Niatan untuk mengeksplorasi sisi komikal setelah kepergian Bapak ternyata berhenti hanya sebagai pengulangan. Akhirnya ia menjadi mengerikan. Bapak sebagai otoritas simbolik dalam cerita tidak mau merelakan posisinya terganti. Pengulangan “sebenarnya Bapak masih hidup” yang selalu dilontarkan Lukman Sardi, lebih terasa sebagai ancaman daripada bahan bercandaan. Lewat olok-olok Bapak di video, posisi anak-anak semakin menjadi bayi, dibiarkan untuk terus bergantung pada Bapak yang secara fisik telah tiada.
[1] Lihat penjabaran secara singkat mengenai Aparatus Sinema dalam https://kopitengahhari.wordpress.com/2015/10/20/aparatus-sinema/
[2] McGowan, Todd. 2017. Only Joke Can Save Us: a Theory of Comedy (Diaeresis). Illinois: Northwestern University Press. Halaman 13 – 15. Link: https://www.academia.edu/34720890/Only_Joke_Can_Save_Us_A_Theory_of_Comedy