Dua Garis Biru: Akselerasi Kedewasaan

Sange gak kenal kelas sosial!

Ketika ketertarikan jasmaniah dan jiwani ini terlembagakan ke dalam pernikahan, ceritanya menjadi lain. Kita harus berhadapan dengan yang baik dan yang buruk dari pasangan. Dua Garis Biru (2019) karya Ginantri S. Noer sendiri cukup detil dalam memaparkan kompromi pasangan muda yang terjebak dalam lembaga pernikahan. Tubrukan nilai-nila agama, tradisional, dan modernitas diperlihatkan melalui konflik yang cukup intens.

Mulanya penasaran, sisanya malapetaka. Perbedaan kelas sosial antara Dara dan Bima, protagonist dalam Dua Gari Biru, tersamarkan lewat sentuhan jahil dan olok-olok khas remaja. Dunia seperti milik berdua saat mereka berkejaran manja dalam rumah Dara di awal cerita. Namun saat kehamilan di luar rencana itu hadir, norma masyarakat menunjukkan wajah yang sebenarnya. Tuntutan, hukuman, dan tanggung jawab menuntun Dara dan Bima untuk mengakselerasi kedewasaannya. Dan dunia tidak sama lagi seperti sebelumnya.

Butuh kurang lebih sembilan tahun sehingga Gina berani menyutradarai naskahnya sendiri. Gina telah menulis naskah untuk beberapa film seperti: Keluarga Cemara, Kulari ke Pantai, Posesif, Rudy Habibie, Habibie & Ainun, Hari untuk Amanda, dan Pintu Harmonika. Gina layak disebut sebagai pembelajar mandiri yang memulai karir penyutradaraannya dari penulis dan penata naskah. Tidak heran bila beberapa gambar akan mengingatkan kita pada gambar sutradara yang pernah bekerja sama dengan Gina. Misalnya seperti dalam film Posesif (Edwin, 2017), saat kamera membidik kaki-kaki berjinjit menuju ruang rahasia para pasangan dan adegan ketika pasangan muda ini menaiki tangga melingkar.

Baca Mantan Manten yang juga berstrategi membedakan seni lukis dan seni jalanan sebagai bagian dari artistik film.

Bila menilik ke belakang, tema mengenai kehamilan tidak direncanakan dan konflik yang menyertainya bukanlah hal baru. Laila S. Chudori dalam Kolom Tempo menulis, “ini tema semacam film Buah Terlarang (Edward Pesta Sirait, 1979) versi 2019.” Bila Laila merujuk pada film 1970-an, maka saya merujuk pada Pernikahan Dini (sutradara: S. Subakti I.S., rilis: 2001), film Jenny dan Juno (Kim Ho Jun, 2005) dan film Juno (Jason Reitman, 2007). Strategi Gina dalam film ini sebenarnya cukup menarik. Gina mampu menghadirkan kenyataan yang sebenar-benarnya. Dua Garis Biru tidak senaif Pernikahan Dini maupun Jenny dan Juno yang melihat pernikahan pasangan muda sebagai jawaban atas semua konflik. Tawaran adopsi seperti dalam film Juno juga pada akhirnya ditampik.

Dua Garis Biru
Karya kolaborasi Dhigel dan Mushowir Bing. sumber: Akun instagram @dhigel23

Posisi Gina jelas. Secara tegas ia menolak memberikan fantasi penyatuan pasangan muda Bima dan Dara. Tengok saja adegan setelah Dara diusir oleh Ibunya dan harus mengenal Bima sebenar-benarnya. Kecanggungan Dara menelusuri gang gelap dan sempit (tetapi cukup juara karena Gina mengambil karya mural Dhigel yang berkolaborasi dengan Mushowir Bing). Atau ketika Dara bersandar pada Bima, kamera secara close-up mengambil kebingungan, keragu-raguan, dan ketidaknyamanan menghadapi konsekuensi pre-marital sex. Kemudian beralih ke adegan saat Bima dan Dara bertengkar layaknya suami istri. Wajar memang bila dalam keseharian kita melihat debat kecil pasutri. Namun dalam Dua Garis Biru, ribut kecil ini sulit ditelan mentah-mentah. “Lu kira gua seneng kerja sama Bapak Lu!” bentak Bima saat Dara masih mencurahkan keinginannya untuk sekolah. Inilah strategi dari Gina yang mampu membuat penonton kikuk, kebingungan menghadapi konflik pasangan muda yang sebenarnya sangat serius namun berkat visualnya yang manis justru terkesan menjadi ironis.

Akhir yang dipilih Gina sangat menyakitkan. Bima mendadak dewasa. Dorongan orang tuanya yang lebih tradisional membuat Bima berani untuk bertanggung-jawab, mengasuh anak lelakinya supaya kejadian ini tidak terulang lagi. Sedangkan Dara, sebagai perempuan ia kehilangan otoritas atas tubuhnya. Bima, suaminya, harus mewakilinya menandatangani prosedur pengangkatan rahim. Perempuan tidak bisa memilih. Inilah kritik keras dari Gina S. Noer selaku sutradara dalam melihat kehamilan tanpa rencana karena kurangnya pendidikan seks untuk remaja di Indonesia sekarang.

Dua Garis Biru (2019)

Sebagai sepasang kekasih, Dara dan Bima memang menggemaskan. Belum selesai menikmati masa-masa remaja, mereka terpaksa berhadapan dengan kehamilan di luar rencana. Pertama mereka menutupi kehamilan tersebut. Begitu ketahuan oleh pihak sekolah, konflik semakin intens. Adegan dalam ruang UKS menjadi kuncian, bagaimana sistem menyederhanakan masalah bersama. Anak perempuan harus putus sekolah. Anak lelaki yang notabene dianggap sebagai calon Bapak, tetap berada dalam sistem pendidikan yang mampu membantunya untuk memberi nafkah keluarga kecil ke depan. Lembaga pernikahan memang bisa membantu, terutama bila nantinya pasangan ini berurusan dengan pembuatan akta kelahiran. Namun lebih penting dari itu, Gina selaku sutradara justru menekankan pada komunikasi supaya kejadian yang membawa luka tidak terulang kembali.

Sutradara: Gina S. Noer | Penulis: Gina S. Noer | Produser: Chand Parwes Sevia | Pemeran: Angga Yunanda, Zara JKT 48, Cut Mini, Arswendy Bening Swara, Dwi Sasono, Lulu Tobing, Maisha Kanna | Penata Artistik: Oscart Firdaus | Rumah Produksi: Starvision, Wahana Kreator

Leave a Reply