Filosofi “senyumin aja, say!” di akhir cerita cukup politis. Bahwa perempuan bisa menentukan takdirnya sendiri tanpa bergantung pada lelaki yang ada di sekitarnya disisipkan secara halus melalui alur jatuh-bangun Yasnina Putri (Atiqah Hasiholan) untuk mengambil kembali apa yang menjadi haknya. Kisahnya sederhana. Pembelajaran menuju kedewasaan jadi yang utama. Begitu memberdayakan tanpa banyak berkoar. Perihal kelas sosial juga menjadi sorotan. Mantan Manten berhasil melucuti ‘orang kaya lama’ dan cara sistem menyokong kehadiran mereka dengan halus. Meskipun secara teknis penyatuan gambar masih keteteran, tetapi jalinan kisah yang ditulis oleh Farishad Latjuba dan Jenny Jusuf justru kuat.
Baca Tulisan tentang Film Produksi Visinema Pictures: Terlalu Tampan
Baca Tulisan tentang Film dari Angga Dwimas Sasongko: Wiro Sableng 212
Mantan Manten: Antara Lukisan dan Graffiti
Pertama-tama saya ingin menyasar pada bagaimana orang kaya digambarkan dalam Mantan Manten. Farishad Latjuba selaku sutradara masih teguh bahwa lukisan sebagai investasi masih berlaku –bukan seni video atau patung. Bagi Farishad, lukisan tidak hanya berhenti sebagai properti. Lukisan mampu merepresentasikan gejolak yang ada dalam adegan Mantan Manten. Misalnya saja, lukisan putih dengan garis grafik warna hitam tergantung di ruang kerja Nina yang menyimbolkan tegangan. Ketika Nina bersitegang dengan Iskandar, mantan calon mertua, bidikan kamera selalu menampakkan lukisan sebagai latar belakang. Selanjutnya, ketika Nina sudah kalah dan tidak memiliki apa-apa. Situasi ini terwakili dalam adegan saat Nina menatap nanar lukisan di rumahnya diambil. Lukisan itu objeknya berupa tubuh dengan celana jeans dan bra, mengindikasikan bahwa apa yang sudah menempel pada diri Nina mulai dilucuti satu per satu. Kekosongan di dinding menegaskan bahwa Nina tidak memiliki jaminan lagi.
Begitu status simbolik dilucuti dari diri Nina, bidikan kamera lebih banyak mengambil tempat di jalanan. Misalnya saat Nina dan Ardy berada di Solo. Nina sedih karena Surya, tunangannya, ternyata ingkar. Latar belakang percakapan kedua orang ini adalah graffiti! Tentu penggunaan graffiti yang lebih populer dan dianggap rendahan, kontras dengan penggunaan lukisan yang masih dianggap eksklusif dalam Mantan Manten. Meskipun Farishad masih terjebak dalam dikotomi seni rendah dan seni tinggi, tetapi ia mampu menunjukkan karakteristik dari suatu medium. Lukisan dinikmati seorang diri. Graffiti bisa dinikmati oleh banyak orang yang berlalu lalang di jalanan.
Baca tentang Graffiti dan Seni Jalanan
Mantan Manten: Tubuh yang Ditempa, Tubuh yang Disiplin
Untuk memahami sisi politis film ini, kita harus menyandingkannya dengan fenomena kini. Beauty bloggers / youtubers / enthusiasts yang membanjiri kanal sosial media kita, tampak menjanjikan. “Jadi make-up artist itu gampang!”. Begitu kesannya. Tengok misalnya foto/video viral mengenai riasan pengantin yang mengundang empati karena periasnya berbekal sesuatu yang instan tanpa patokan.
Mantan Manten justru ingin menegaskan bahwa patron masih diperlukan. Misalnya adegan saat Nina belajar menjadi wanita Jawa, mengenakan bawahan jarik untuk latihan jalan-jongkok, bersemedi, puasa mutih, dan mandi dengan air dari tujuh sumber mata air. Kemudian, penekanannya justru bukan pada riasan, tetapi pada paes demi menjadi manglingi, berbeda dari keseharian. Pernikahan tidak hanya dilihat sebagai ritual, tetapi ada unsur to perform, to show, dan to educate. Dibutuhkan tubuh yang disiplin dan tenang pada seseorang yang akan memimpin jalannya ritual. Tubuh Nina mulanya lincah. Logat bicaranya kosmopolitan. Saat ia resmi menjadi dukun paes, tubuhnya tenang, tertata, fokus, dan ia bisa memimpin ritual menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Jawa medhok.

Mantan Manten: Beda Status Sosial? Senyumin Aja, Say!
Alur cerita Mantan Manten sebenarnya mengingatkan saya pada Ratu Amplop karya Nawi Ismail. Konflik muncul justru saat Liyan, atau orang-orang terdekat dengan karakter utama, tidak mampu menepati janji. Nina selaku subjek mencari sesuatu yang sebenarnya tidak bisa diberikan oleh Liyan. Alasan mengapa film ini berdaya dan memberdayakan, karena pada akhirnya subjek mampu mengolah apa yang menjadi kekuatan dirinya. Keikhlasan Nina untuk merelakan Surya seperti memberikan kuncian pada penonton bahwa penyatuan sejoli beda kelas sosial itu ilusif. Inilah yang menjadikan Mantan Manten berbeda dari drama percintaan ala film Indonesia kebanyakan.
Baca tentang Ratu Amplop dan Nawi Ismail
Mantan Manten tidak terpaku pada suplemen fantasi. Dalam psikoanalisa Lacanian, fantasi itu seperti janji manis yang digunakan untuk menjawab kegelisahan subjek. Contoh paling gampangnya bisa ditemukan dalam drama percintaan Hollywood dan film di pasaran Indonesia. Penyatuan sepasang kekasih, meski mereka beda kelas sosial dan ras, seperti memberikan gambaran yang indah bahwa antagonisme kelas bisa diatasi. Namun, dalam film Mantan Manten, gap antar kelas dibiarkan terbuka. Iskandar selaku perwakilan dari keluarga keraton digambarkan sebagai Bapak yang masih memperhitungkan “bibit, bebet, bobot”. Pada babak terakhir, Mantan Manten justru mengudar kerja sistem ekonomi yang masih dipegang oleh kerabat keraton. Momen saat Nina tertegun, menyadari bahwa ia sedang plesiran dengan calon istri Surya, adalah momen di mana ia tersadar bahwa celah itu nyata. Iskandar menyingkirkan Nina semata-mata karena perempuan ini dianggap tidak diketahui garis keturunannya.
Senyuman Nina di akhir film seperti pembebasan atas fantasi yang ditawarkan sepanjang cerita. Ia bebas, tidak tergantung pada Iskandar, Surya, maupun Ardy. Namun pembebasan ini tidak serta merta hadir. Nina mendapatkan pengetahuan justru dari pengalamannya mempelajari seluk beluk permainan kerabat keraton lewat proses menjadi dukun paes. Secara tidak langsung, Koes Maryanti selaku mentor paes Nina, telah mengajarkan banyak hal. Termasuk perihal mengikhlaskan, menjadi Jawa, dan menyadari cinta itu tak harus berwujud badaniah. Namun, pada akhirnya, bahwa menjadi Jawa dekat dengan sesuatu yang klenik masih dipertahankan dalam Mantan Manten.
Mantan Manten (2019)
Menjadi dewasa dan bisa merelakan butuh proses. Yasnina Putri yang baru saja kehilangan status simboliknya sebagai manajer investasi terkenal justru belajar mengenai kehidupan dan tradisi Jawa di Tawangmangu. Proses pembelajaran menjadi dukun paes, membawa Nina pada keputusan untuk merelakan. Ia tersadar bahwa penyatuan antara dirinya dan Surya adalah ilusif. Sistem tidak akan membiarkan seorang perempuan tanpa asal-usul yang jelas mampu menikahi seorang pria yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keraton. Manten Manten mengudar bahwa perempuan dipandang melalui apa yang melekat dalam tubuhnya.
Sutradara: Farishad Latjuba | Penulis: Farishad Latjuba dan Jenny Jusuf | Pemain: Atiqah Hasiholan, Arifin Putra, Tyo Pakusadewo, Tutie Kirana, Marthino Lio, Oxcel, Dodit Mulyanto, Ria Irawan, Arswendi Nasution, Jenny Zhang, Aimee Saras. |Rumah Produksi: Visinema Pictures | Durasi: 102 menit | Genre: Drama