Bachtiar Siagian Yang Kabur dalam Reenactment Daerah Hilang

Bachtiar Siagian Basuki Resobowo
Bachtiar Siagian dan Basuki Resobowo saat menjadi juri dalam Festival Film Asia Afrika di Jakarta pada tahun 1964. Sumber foto: Sejarah Sosial Org

Menurut data dari wikipedia, Bachtiar Siagian merupakan sutradara Indonesia dengan zodiak Aquarius dan shio Babi. Ia sama seperti dedengkot Aquarius lain seperti Pramoedya Ananta Toer dan Basuki Resobowo yang bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Mulai dari tahun 1955 hingga 1965, pria kelahiran Binjai, Sumatera Utara, ini telah membuat setidaknya lebih dari 10 judul film. Violetta (1962) adalah satu-satunya film Bachtiar Siagian yang selamat dari pemusnahan jejak-jejak seniman kiri yang dilakukan oleh Orde Baru setelah peristiwa berdarah 1965. Film yang dibintangi oleh Rima Melati, aktris senior, tersebut bisa kita akses di Sinematek Indonesia.

Pada pertunjukan Sidang Tertutup Reenactment Performance: Menonton “Daerah Hilang” (1956) yang dibuat oleh Akbar Yumni dan Yustiansyah Lesmana, peraih Hibah Kelola 2020, nama Bachtiar Siagian mencuat kembali. Sebelumnya, Bachtiar Siagian perlahan muncul dalam ruang diskusi tentang sejarah film Indonesia sejak film Violetta dipertontonkan ke publik pada perhelatan Arkipel: International Documentary and Experimental Film Festival 2015.  Setahun setelahnya, negara melalui Kemendikbud memberikan Anugerah Kebudayaan Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru. Menonton Daerah Hilang sendiri merupakan karya dari Akbar Yumni, penulis sekaligus mantan redaktur Jurnal Footage. Akbar pernah membuat pertunjukan tentang Bachtiar Siagian bertajuk Menonton Film Turang  yang dipresentasikan pertama kali di Garasi Institut pada 16 Januari 2018.

Menonton “Daerah Hilang” berlangsung pada tanggal 7 dan 10 Oktober 2020 melalui aplikasi Zoom. Akbar dan Tian menghadirkan kembali arsip film Daerah Hilang lewat interpretasi tubuh-tubuh aktor atas pembacaan mereka dari arsip yang tersisa. Latar pertunjukan ini adalah sebuah gudang. Properti yang digunakan adalah layar putih, tempat operator menembakkan footage penggusuran Kebayoran Baru, foto ruko, atau tulisan ‘trem = wc’. Sesekali pemanggungan berdasarkan akting para aktor di gudang tersebut, sesekali host Zoom menunjukkan video para aktor memainkan Daerah Hilang.

Daerah Hilang berkisah tentang pria bernama Djegol yang baru saja keluar dari penjara. Begitu menginjakkan kakinya di Kebayoran Baru, Djegol melihat daerah yang menjadi tempatnya bermukim digusur untuk kepentingan pembangunan. Sekilas, Djegol melihat istrinya di depan ruko-ruko pecinan. Ia memiliki misi untuk membawa istrinya kembali. Selama proses pencarian sang istri, Djegol justru ditangkap karena ketahuan mencuri. Karena kebaikan perempuan penjual rokok, Djegol terbebas, bahkan sempat ditawari pekerjaan. Sayangnya, Djegol menjumpai istrinya sedang bermesraan dengan pria muda dan kaya di taman. Ia naik darah dan terlibat perkelahian. Akhir film ini tidak jelas. Apakah Djegol kembali dipenjara karena membunuh pria tersebut? Ataukah Djegol bisa move on dan melanjutkan hidup di masyarakat?

“Negara punya kuasa untuk menghilangkan arsip tapi publik punya kuasa untuk menghadirkan kembali,”

Akbar Yumni, 2020.

Menurut Akbar, Daerah Hilang mendapatkan gunting sensor dari pemerintah. Lembaga sensor menganggap bahwa karya Bachtiar Siagian ini terlalu ekstrim dalam menggambarkan kesenjanga sosial. Selain itu, kritik terhadap penggusuran atas nama pembangunan cukup keras. Hal ini tidak sejalan dengan proyek pemerintah Orde Lama yang ingin membuat kawasan-kawasan elit baru, termasuk Kebayoran Baru. Akbar menekankan pada salah satu resensi atas Daerah Hilang yang mengungkapkan bahwa publik hanya menonton sekitar 70% adegan. Dari sinopsis ataupun review yang berdasar pada 70% adegan dalam Daerah Hilang inilah, Akbar dan Tian melakukan reenactment pada hari pertama pertunjukan tanggal 7 Oktober 2020.

Selanjutnya, pada tanggal 10 Oktober, Akbar dan Tian mempresentasikan 30% adegan yang hilang dari Daerah Hilang. Saya mencatat setidaknya ada beberapa adegan yang secara ekstrim menunjukkan kesenjangan kelas sosial. Pertama adegan di penjara, saat Djegol menunjukkan pantatnya. Kedua, adegan dansa, saat kelas atas menikmati enaknya menjadi kelas atas. Ketiga adalah pergumulan, saat orang-orang miskin tidur di emperan berebut selimut. Keempat adalah perkelahian sewaktu berdansa. Kelima adalah adegan berpelukan dan ciuman. Keenam tulisan ‘trem = wc’. Terakhir adalah saat sepasang kekasih selesai makan di restoran, kemudian datanglah orang-orang miskin berebut makanan.

Bachtiar Siagian
Screenshot pertunjukan yang justru superimposed. Apakah mungkin Bachtiar Siagian juga menggunakan superimposition seperti film kawan Basuki Effendi?

Tidak Hanya Reenactment Daerah Hilang Karya Bachtiar Siagian

Semangat untuk mengekskavasi atau melakukan penggalian kembali atas sejarah yang hilang layak untuk mendapat pujian. Akbar dan Tian dalam pertunjukan tentang karya Bachtiar Siagian secara tegas ingin mengatakan,  “film Daerah Hilang itu ada!” Pemerintahan Orde Baru, sekaligus diskursus sejarah film Indonesia (terutama yang ditulis oleh penulis senior Indonesia berafiliasi dengan kuasa) memang secara sengaja tidak menghadirkan sosok Bachtiar Siagian dalam konstelasi perkembangan film Indonesia – apalagi membicarakan karyanya.

Pembicaraan Daerah Hilang dan Bachtiar Siagian justru lebih banyak saya temukan pada tulisan Khrisna Sen[1] dan David Hanan[2], keduanya merupakan peneliti film asal Australia, serta Tanete Pong Masak dalam bukunya Sinema pada Masa Soekarno[3]. Meskipun materi yang digunakan oleh Akbar dan Tian ini hanya berasal dari resensi di media massa, misalnya dari surat kabar Star Weekly dan Aneka, tetapi semangat untuk bisa mengolah materi kembali dan menghadirkannya ke publik  tentu jadi barang yang langka sekarang ini. Jadi, praktik yang dilakukan oleh Akbar dan Tian bisa dilihat sebagai upaya untuk membagi kesadaran tentang sejarah film yang hilang, sosok yang dihilangkan oleh rezim selama sekian tahun lamanya melalui teknik pemanggungan, lebih mendekati ke tradisi oral untuk menceritakan sebuah kisah rakyat atau mitos,

Meskipun demikian, pengujaran kembali Daerah Hilang hanya dipanggungkan sekitar 30% dari waktu yang digunakan. Tajuk pertunjukan ini sendiri adalah Sidang Tertutup. Akbar dan Tian selaku pembuat karya pada sesi 70% terakhir justru “diadili” oleh para orang tua di skena seni dan budaya Indonesia serta seorang sejarawan dari Malaysia. Reenactment Performance ini mengundang Lisabona Rahman (aktivis preservasi film), Budi Irawanto (Dosen dan Direktur JAFF), Nirwan Dewanto (sastrawan), Simon Soon (Dosen dan sejarawan dari Malaysia). Moderator pertunjukan ini adalah Joned Suryatmoko, dulunya dikenal sebagai sutradara teater dari kelompok Gardanalla dan pernah mementaskan pertunjukan Margi Wuto pada tahun 2013 yang bagi saya sangat fenomenal, eksperimentatif, dan mampu mengajak penonton menjadi bagian dari pertunjukan merasakan sensasi-sensasi indrawi dari sebuah pertunjukan.

Semestinya, sebagai penonton pertunjukan ini saya harusnya cukup puas untuk bisa menerima tawaran Akbar dan Tian: yang penting kamu tahu dulu bahwa film itu ada! Saya bisa memahami bahwa apa yang dipresentasikan Akbar dan Tian pada pertunjukan kali ini adalah langkah awal dari upaya untuk menyingkap hal-hal yang tidak pernah terungkap, terkubur dalam database yang tidak dibaca oleh Search Engine Optimization atau mangkrak dalam rak-rak arsip. Namun tetap, jiwa penasaran dan ingin tahu ini malah semakin panas ketika menyadari bahwa performance yang mengundang prosecutor, orang-orang tua dengan bagasi bermacam-macam, malah semakin menghilangkan sosok Bachtiar maupun karya Daerah Hilang.  Komentar prosecutor justru lebih banyak menyasar pada bentuk yang ditawarkan oleh Menonton “Daerah Hilang”.

Apa itu reenactment? Apakah Menonton “Daerah Hilang” merupakan sebuah teater dokumenter? Kemudian ada pembicaraan yang menyandingkan: arsip primer vs arsip sekunder; rekonstruksi vs reenactment; publik vs personal; publik vs negara. Akbar dan Tian memang bisa menjawab komentar para prosecutor, tetapi alur dari pertunjukan justru semakin menjauhkan konten yang telah ditawarkan oleh penyaji pada awal pertunjukan. Dan akhirnya, yang paling terdengar adalah semacam, mengutip Joned Suryatmoko, “self pity.”

Jean Luc Godard
Apakah ini kata hati Akbar Yumni dan Yustiansyah? sumber: Pinterest

Komentar Para Prosecutor atas Reenactment Daerah Hilang Karya Bachtiar Siagian

Apabila Akbar dan Tian selesai dengan eksplorasi bentuk: mencari celah memanggungkan kembali adegan 70% dan adegan 30% dari Daerah Hilang, melihat kemungkinan penggunaan neorealisme ala Bachtiar Siagian, dan terpenting bermain-main dalam reenactment ini, diskusi paska pertunjukan mungkin akan semakin mendekatkan penonton kepada sosok Bachtiar Siagian itu sendiri. Maksud saya adalah banyak cara dan celah untuk memilih bentuk reenactment Daerah Hilang. Namun, entah mengapa Akbar dan Tian justru lebih berusaha untuk membuat reenactment ini tampak ingin mendekati apa yang tertulis dalam sinopsis: penggunaan teks mengutip dari review media massa tentang Daerah Hilang kemudian para aktor memanggungkan apa yang tertulis.

Memang Akbar dan Tian selaku penyelenggara berhak untuk memilih untuk tidak secara eksplisit menjelaskan siapa itu Bachtiar Siagian atau menerjemahkan sosoknya dengan bulat-bulat. Bahkan pada pertunjukan di tanggal 10, Akbar sendiri menyatakan, “saya memang tidak ingin mendekati Bachtiar Siagian dan sosoknya. Saya justru ingin menjauhkannya.” Dengan pernyataan ini, saya sendiri berhak bertanya, “berarti nanti publik harus mentah-mentahan menerima Bachtiar Siagian versi reenactment ini ya? what if… setelah melihat pertunjukan ini, publik justru semakin menjauhi dan tidak ingin menggali.” Pertanyaan-pertanyaan seperti yang saya ajukan ini mungkin akan dijawab: apa pun perasaan yang muncul dalam diri penonton seperti bingung, bosan, mengantuk, kecewa, itu bisa menjadi tolak ukur keberhasilan suatu karya.

Kegelisahan yang sama sepertinya dirasakan pula Lisabona Rahman. Sebagai satu-satunya perempuan yang menjadi prosecutor dalam pertunjukan ini, Lisa mengajukan isu seputar arsip primer dan arsip sekunder. Pilihan Akbar dan Tian menggunakan media massa, sumber yang berada di hirarki arsip paling bawah, justru membuat karya beranjak menjadi sesuatu yang mengaburkan bukan menjernihkan. Lisa juga menambahkan, “apabila akses ke arsip tidak lancar, apakah tidak terpikirkan untuk melakukan problematisasi atas sumber? Mengapa tidak ada upaya untuk mempertanyakan akses arsip tersebut?” Untuk menjawab gugatan Lisa, Akbar dan Tian berkali-kali menyatakan bahwa mereka adalah publik yang tidak memiliki privilege untuk mengakses arsip layaknya peneliti dan negara. Kecenderungan untuk menyatakan bahwa mereka adalah publik tanpa privilege inilah yang kemudian dibabat habis-habisan. Lisa menyatakan bahwa baik Akbar dan Tian sudah memiliki privilege untuk melakukan pertunjukan ini, sesuatu yang tidak dimiliki oleh publik (yang tidak mengakses arsip dan mendapatkan Hibah tentunya – tambahan penulis). Sehingga para penyaji pertunjukan ini seharusnya yakin dan mempertanggungjawabkan metode yang dipilih, sekaligus menerangkan pijakan mereka ke arah mana.

Nirwan Dewanto justru tampak lebih saklek dibandingkan prosecutor lain. Ekspektasi Nirwan atas pertunjukan ini tampaknya tinggi sekali. Sehingga pada dua kali pertunjukan, Nirwan lebih menitikberatkan pada bentuk pertunjukan ini. Pada tanggal 7 Oktober, Nirwan menyatakan pertunjukan ini memang diniatkan sebagai reenactment tapi berakhir sebagai rekonstruksi. Bila penonton mengikuti alur Sidang Tertutup ini, ujaran dan komentar dari Nirwan justru lebih mirip pertanyaan dari dosen saat sidang skripsi, “Bachtiar Siagian –nya mana?” Bagi Nirwan, pertunjukan ini lebih seperti over intelektualisasi yang kurang menggali ironi. Kemudian pada tanggal 10 Oktober, kehadiran Bunga Siagian yang membawa arsip keluarganya dianggap sebagai sebuah kecerobohan. Nirwan menekankan, apabila Bunga menjadi bagian dari pertunjukan ini, orasinya tidak meyakinkan – seolah Nirwan masih mengidamkan pertunjukan dramatis yang mampu membawa penontonnya menuju katarsis.

Selayaknya dosen, Budi Irawanto memberikan penjelasan mengenai seni yang mengangkat arsip. Baginya, “(pertunjukan) ini adalah seni arsip karena didorong oleh arsip yang mengalami supresi.” Seni arsip harus dilihat sebagai unfinished project. Budi menyatakan hal demikian berdasarkan tulisan Hal Foster, kritikus seni dari Amerika, dalam artikel berjudul An Archival Impulse[4]. Karya arsip bisa menjadi titik berangkat, dikembangkan kembali, dan seharusnya Akbar dan Tian tidak perlu memiliki keraguan untuk melakukan sesuatu yang dianggap “tidak otentik”. Selanjutnya, pada tanggal 10 Oktober, Budi mengkategorikan pertunjukan Menonton “Daerah Hilang” sebagai pertunjukan presentasional. Selain itu, Budi menekankan bila berdasarkan Daerah Hilang, penonton menjadi tahu, “kemelaratan itu pornografi.”

Terakhir adalah Simon Soon. Sejarawan yang juga menjadi editor di Jurnal Southeast of Now (tempat saya bisa dapat fellowship) ini menyatakan bahwa Akbar dan Tian mampu membalikkan apa yang telah ditawarkan oleh karya Bachtiar Siagian. Daerah Hilang membawa isu besar yakni penggusuran di Kebayoran Baru untuk menceritakan isu personal, sosok Djegol serta kemalangannya. Sedangkan Menonton “Daerah Hilang” justru membawa isu personal ke isu yang lebih besar (dari ketertarikan arsip ke isu penghilangan arsip; dari penggalian personal ke penghidupan kembali arsip).

Joshua Oppenheimer
Salah satu contoh film yang mengutamakan aspek reenactment adalah The Act of Killing (Joshua Oppenheimer, 2012)

Bunga Siagian, Bintang Tamu Pembawa Arsip Keluarga

Sejujurnya, hal yang paling saya tunggu dari pertunjukan reenactment ini adalah Bunga Siagian. Sesuai janji yang diutarakan oleh Akbar dan Tian tertangal 7 Oktober, Bunga hadir membawa arsip pribadinya untuk publik yang lebih luas. Bunga Siagian, ahli waris Bachtiar Siagian sekaligus pengelola Jatiwangi Art Factory, membawa rekaman wawancara Bachtiar Siagian dan Jubar Ayub yang dilakukan Khrisna Sen pada tahun 1980-an. Melalui rekaman wawancara tersebut, saya bisa mendengar suara Bachtiar Siagian. Sosok yang mulanya dimitoskan justru semakin mendekat – menyapa saya dan menerangkan pada saya mengenai sejarah film Indonesia di tahun 1950-an hingga Lekra dimusnahkan oleh rezim. Dari cerita Bachtiar Siagian, saya mengetahui bahwa sutradara kiri tidak lepas untuk bisa bernegosiasi dengan produser. Sedangkan dari cerita Jubar Ayub, saya menjadi tahu bahwa pada tahun 1950-an hingga 1965, tidak ada perselisihan tajam (secara personal) antara Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, Kotot Sukardi dengan sutradara kanan seperti Usmar Ismail maupun Asrul Sani. Para dedengkot film Indonesia ini  justru saling mengapresiasi.

Setelah rekaman wawancara tersebut diputar, Bunga Siagian kemudian melakukan orasi. Ia menegaskan bahwa dari wawancara tersebut generasi sekarang, terutama yang tumbuh paska Perang Dingin, diajak untuk mengamini wacana yang dibuat oleh agen Orde Baru dalam seni dan budaya. Film dari kiri dimitoskan anti film Amerika. Sineas kiri secara langsung akan dikaitkan dengan sinema montase Rusia. Film kiri pasti menunjukkan propaganda parta komunis. Dengan kehadiran Violetta yang bisa diakses publik sejak tahun 2015, tentunya mitos buatan Orde Baru tersebut bisa dipertanyakan. Violetta sendiri lebih dekat melodrama, roman tragis tentang perempuan yang mati karena mempertanyakan dan menginginkan kehadiran sosok lelaki dalam keluarga. Dengan senyum sinis, Bunga menyatakan bahwa tidak sedikit penonton kecewa karena Violetta tidak sesuai ekspektasi, mengindamkan film kiri dekat dengan ideologi komunis.

Kemampuan Akbar dan Tian untuk bisa meyakinkan Bunga supaya mau membagikan arsip keluarganya saya rasa menjadi hal penting dalam pertunjukan. Saya tidak tahu negosiasi semacam apa yang terjadi di belakang panggung, tetapi tentu butuh pendekatan ekstra untuk bisa meyakinkan seseorang yang memiliki trauma historis, trauma karena direpresi oleh rezim selama berpuluh-puluh tahun, untuk bisa membawa hal yang tersisa dari keluarganya ke publik (yang tidak kita ketahui pula apakah lawan atau kawan).

Penutup

Mengutip Joned Suryatmoko yang mengutip Brigita Isabella, anggota Kunci Study Forum and Collective, bahwa sebenarnya ketika sebuah karya dipresentasikan ke publik untuk pertama kalinya, karya tersebut bisa jadi “crying for help”. Presentasi karya itu semata-mata untuk mewartakan ke publik bahwa ini loh yang telah saya kerjakan, belum sempurna, dan mohon bantuannya. Sidang Tertutup Reenactment Performance: Menonton “Daerah Hilang” (1956) memang terlihat menangis berdarah-darah. Teknisi zoom yang amburadul dan tidak sigap, koneksi tidak lancar sehingga pada tanggal 10 Oktober penonton mendapatkan kualitas rendah atas apa yang mereka tonton, adegan yang diulang, jawaban yang menunjukkan self pity dari Akbar dan Tian, hingga paling penting sosok Bachtiar Siagian yang muncul dan tenggelam. Semoga untuk pertunjukan selanjutnya, Akbar Yumni (bila memang minat melanjutkan penelitiannya tentang Bachtiar Siagian) bisa lebih sigap, eksploratif, dan lebih humble untuk menerima saran.


[1] Khrisna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order (Zed Books, 1995).

[2] David Hanan, Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity (Palgrave Macmillan, 2017), https://doi.org/10.1007/978-3-319-40874-3.

[3] Tanete Pong Masak, Sinema Pada Masa Soekarno (Fakultas Film dan Televisi IKJ, 2016).

[4] Hal Foster, “An Archival Impulse,” October, no. 110 (2004): 3–22, https://doi.org/10.1162/0162287042379847.

Leave a Reply