Estetika Film Indonesia: Belajar Dari yang Klasik

Estetika Film Indonesia: The Teng Chun

Pada tahun 2016 lalu, saya berkesempatan untuk melihat film dari masa kolonial di Sinematek Indonesia. Film tersebut berjudul Tie Pat Kai Kawin karya The Teng Chun, dibuat pada tahun 1935. Sebelum membuat Java Industrial Film, yang tercatat sebagai studio pertama di Hindia Belanda yang fokus pada film cerita, The Teng Chun belajar ilmu ekonomi di Amerika pada tahun 1920-an, lalu belajar pembuatan film di Shanghai pada tahun 1930-an. Sekembalinya ke Batavia, The Teng Chun aktif membuat film seperti Boenga Roos dari Tjikembang (1931), Sam Pek Eng Tay (1931), dan Tie Pat Kai Kawin (1935). Selain itu, The Teng Chun juga memproduseri film Melati Van Agam (Tan Tjoei Hock, 1940), Matjan Berbisik (Tan Tjoei Hock, 1940), Tengkorak Hidoep (Tan Koen Yauw, 1941), dan Serigala Item (Tan Tjoei Hock 1941).

Bagi penonton seumuran saya yang pernah melihat film seri Sun Go Kong tidak akan kesulitan mengikuti kisah Tie Pat Kai Kawin. Menurut Misbah Yusa Biran, The Teng Chun (saya lebih memilih menyebut sebagai sutradara pra-kemerdekaan) dan studio filmnya kerap membawa kisah-kisah populer dari Cina Daratan. Sasarannya adalah penonton kelas empat (sistem pembagian kelas penonton buatan pemerintah kolonial) yang berisi orang-orang biasa (bukan Eropa) dan rakyat miskin.

Estetika Film Indonesia
Gambar 1. Logo Java Industrial Film. diambil dari Star Magazine bulan Agustus 1940.

Bila kita melihat lebih detil mengenai film dari sutradara pra-kemerdekaan Indonesia, banyak hal menarik yang bermunculan. Misalnya saja, meskipun saya hanya bisa melihat film Tie Pat Kai Kawin tidak utuh, namun saya bisa merasakan eksperimentasi yang dilakukan oleh The Teng Chun di dalam film ini. Hal yang membuat saya terkesima: pertama, penggunaan stop motion untuk memberikan fantasi adanya sisi magis dari kekuatan siluman babi; kedua, teknik menggosok seluloid untuk menampilkan efek ledakan; ketiga teknik montase untuk memberikan imajinasi siluman dan orang yang bisa menghilang; terakhir kedekatan film ini dengan seni pertunjukan stamboel dan toenil. (lihat penjelasan Afrian Purnama dalam tautan berikut)

Temuan-temuan semacam ini tidak pernah dibahas dalam perdebatan estetika film pada umumnya. Pembacaan estetika film sendiri masih berputar antara Eropa vs Amerika (Hollywood). Misalnya saja, teori film mengenai montase, teknik membentuk realitas baru, lahir di Rusia pada periode awal kehadiran gambar bergerak di dunia. Disusul kemudian seruan Andre Bazin dari Perancis yang menekankan kekuatan kamera untuk merekam realitas apa adanya. Terbaru, David Bordwell justru semakin menekankan pada persaingan tersebut dalam bukunya The Way The Hollywood Tells It (2006). Bordwell berujar, “pantas Rusia dan montasenya tidak se-dinamis film Hollywood!”. Sentimen antar wilayah ini menghiasi perdebatan estetika film. Imbasnya, Indonesia yang berada di luar wilayah itu posisinya terpinggirkan. Standar penilaian artistik film yang berpijak pada perdebatan estetika Eropa vs Amerika kurang mempertimbangkan potensi lain yang dihadirkan teks film di luar wilayah tersebut. Dalam kasus The Teng Chun misalnya, eksperimentasi menggores seluloid untuk menimbulkan efek filemis sudah terlebih dahulu ia lakukan bila dibandingkan dengan sutradara film eksperimental pada tahun 1950-an.

Estetika Film Indonesia: dr. Huyung

Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942 – 1945, Dr. Huyung hadir. Java Industrial Film terpaksa ditutup karena Jepang menganjurkan untuk membawa film-film dengan pesan kebangsaan sebagai bagian dari strategi mempersatukan kawasan Asia. Sosok Dr. Huyung cukup istimewa dalam sejarah film di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, Huyung menjadi kepala Nanpo Hodo yang bertugas membuat film berita. Kemudian pada masa Revolusi, Huyung yang lahir di Korea, belajar film di Jepang dan menjadi tentara Jepang, akhirnya memilih untuk menjadi orang Indonesia. Ketika mengikuti Soekarno ke Jogja pada Agresi Militer I, Huyung mendirikan Stichting Hiburan Mataram. Murid-murid Huyung antara lain: Usmar Ismail yang dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia dan D. Djajakusuma.

Setelah Revolusi, Huyung hanya membuat beberapa judul film cerita pada tahun 1951. Film-film Huyung di antaranya: Frieda, Gadis Olahraga, Bunga Roemah Makan. Sebelumnya film-film Huyung lebih bersifat dokumentris seperti Calling Australia, menceritakan kondisi tawanan Jepang yang baik dan sehat, serta kompilasi berita film baik yang ada di Nanpo Hodo dan Berita Film Indonesia.

Estetika Film Indonesia
Gambar 2. Adegan dalam Calling Australia (1943). Ketika Jepang terdesak oleh sekutu, adegan-adegan dalam Calling Australia diubah oleh Jaap Speyer, sutradara Belanda, ke dalam Nippon Present (1945) yang digunakan sebagai barang bukti kekejaman Jepang pada tawanan perang ke pengadilan internasional. Kemudian pada tahun 1946, Joris Ivens membuat Indonesian Calling sebagai bukti solidaritas untuk kemerdekaan Indonesia. sumber: Kultursinema

Bila dibandingkan dengan film buatan The Teng Chun, bisa dilihat bahwa film Huyung lebih unggul dalam teknik montase. Contohnya masih bisa dilihat dalam film Frieda (1951). Montase dalam film ini berfungsi untuk membuat realitas filemis. Secara komposisi, gambar dalam Frieda cukup baik. Untuk ceritanya sendiri, karakter Frieda bisa dibilang merepresentasikan diri Huyung. Dalam film ini, Frieda digambarkan sebagai perempuan keturunan Belanda. Ketika Indonesia merdeka, ia bingung. Apakah ia harus mendukung Belanda? Pada akhir cerita, Frieda memilih untuk menjadi orang Indonesia, sama seperti Huyung.

Hal yang ditekankan oleh Huyung kepada murid-muridnya ketika masa Revolusi adalah film (dan seni pertunjukan) mampu menjadi media pendidikan masyarakat. Film harus membawa pesan kebangsaan. Efeknya, bisa kita lihat dalam film-film sesudah Huyung seperti buatan Usmar Ismail Enam Djam di Djogja (1951) atau Lewat Djam Malam (1954). Ide Huyung tentang film sebagai media komunikasi ke masyarakat akhirnya dibulatkan pada tahun 1970-an ketika kebijakan tentang nasionalisme dalam film dikeluarkan.

Estetika Film Indonesia: Nawi Ismail

Mengapa saya mengajukan dua nama yakni The Teng Chun dan Dr. Huyung? Dua pembuat film ini menjadi pondasi penting dalam melihat seperti apa estetika film Indonesia. The Teng Chun mampu membuat studio film di wilayah yang jauh dari “tempat ideal” pembuatan film. Sedangkan Dr. Huyung jelas memiliki posisi sebagai guru film sutradara paska-kemerdekaan.

Untuk memahami seperti apa estetika film Indonesia, hal yang harus dilakukan pertama-tama adalah menentukan saling-silang antar gambar yang diproduksi selama ini. Dalam tulisan ini, saya mengambil kasus dari Nawi Ismail. Mengapa Nawi? Karena ia adalah “murid” The Teng Chun dan Dr. Huyung. Jejak estetik kedua sutradara sebelum kemerdekaan bisa kita temukan dalam film Nawi Ismail. Selain itu, setelah Nawi –pun kita masih bisa menjumpai proses “pemindahan” atau katakanlah gambar-gambar dan narasi serupa. Nawi adalah penjembatan. Nawi mampu menggabungkan gaya The Teng Chun dan Huyung ke dalam film komedinya. Di sini, saya melihat bahwa Nawi sedang berusaha membangkitkan kembali apa yang pernah ia pelajari ketika bekerja di bawah arahan The Teng Chun dan Huyung.

Estetika Film Indonesia
Gambar 3. [atas[ adegan dalam film Matjan Berbisik. [bawah] adegan dalam Benyamin Tukang Ngibul. Bisa dilihat pengulangan yang dilakukan Nawi. Baik Nawi dan Tan Tjoei Hok berkolaborasi dengan seniman pertunjukan. Aktor dari studio JIF berasal dari pemain sandiwara baik dari toenil maupun stamboel. Sedangkan Nawi mengajak Eddie Gombloh dan Benyamin Sueb.

Sederhananya, estetika dalam film melihat dua hal: apa yang dipresentasikan dan bagaimana ia dipresentasikan. ‘Apa’ merujuk pada subjek, topik, atau hal-hal yang ingin diberikan supaya penonton dapat merasakan melalui pengalaman sensori penglihatannya. Sedangkan ‘bagaimana’ merujuk pada cara-cara hal tersebut diwujudkan ke dalam gambar dan suara. Untuk melihat cara-caranya bisa ditilik melalui montase, mise-en-scene, alur, karakterisasi, latar suara, gambar, objek dalam gambar, sudut pengambilan gambar, pilihan perekaman, pengambilan footage, dan hal-hal teknis lainnya. Untuk melihat estetika dalam film Nawi Ismail, ‘apa’ akan merujuk pada ‘sejarah film Indonesia’ sedangkan ‘bagaimana’ adalah cara-cara Nawi Ismail, sutradara yang terkenal sebagai pembuat film B, menyajikan sejarah itu lewat filmnya.

Nawi Ismail bergabung dengan Java Industrial Film pada tahun 1938. Kemudian pada tahun 1940 hingga 1942, Nawi terlibat di bidang produksi sebagai asisten sutradara, menangani laboratorium, dan editing. Nawi juga pernah menjadi figuran dalam film berjudul Matjan Tertawa dan Melati Van Agam. Ketika masa pendudukan Jepang, Nawi bergabung dengan Nanpo Hodo, Nippon Eiga Sha, sebagai script boy dan asisten editor. Di bawah arahan Huyung, Nawi memegang bagian montase untuk film Calling Australia dan Frieda. Pada masa Revolusi, Nawi tergabung dalam divisi Siliwangi. Hingga kemudian pada tahun 1950-an Nawi keluar dari militer, kemudian membuat film pertamanya yang berjudul Solo di Waktu Malam (1951). Nawi Ismail terkenal sebagai sutradara film B dan komedi. Namun ia pernah membuat film propaganda seperti Mereka Kembali dan film biopic seperti si Pitung. Kolaborator Nawi di antaranya Benyamin Sueb, Dicky Zulkarnaen, Warkop DKI, dan Pancaran Sinar Petromaks.

Estetika Film Indonesia: Belajar dari The Teng Chun dan dr. Huyung

Persinggungan Nawi dengan para sutradara pra-kemerdekaan justru menarik. Nawi berbeda dengan Usmar dan Asrul yang berasal dari seni sastra dan pertunjukan. Bisa dikatakan Nawi adalah sejatinya orang film, seorang pembelajar mandiri yang mengikuti proses pembuatan film dari dua figur besar dalam sejarah film Indonesia. Lalu seperti apa jejak dari sutradara sebelum kemerdekaan termanifestasikan dalam film-film Nawi? Pertama-tama, saya akan mengambil contoh dari film yang diproduksi oleh Java Industrial Film kemudian menyandingkannya dengan beberapa film Nawi Ismail yang memiliki kemiripan bentuk.

Estetika Film Indonesia
Estetika Film Indonesia
Gambar 4. [Atas] Pengejar siluman babi masuk ke ember. [Bawah] Benyamin tanpa sengaja terjerembab ke Ember dalam Benyamin Biang Kerok. Properti sama.

JIF memiliki karyawan dan aktor yang berasal dari seni pertunjukan seperti kelompok sandiwara Dardanella, di mana Astaman, Andjar Asmara, dan Ratna Asmara sempat bekerja di sana. Penggunaan seniman pertunjukan dalam film Nawi gunakan pula untuk film-filmnya. Unsur komikal dalam film-film dalam contoh ini, tidak hanya bergantung pada jokes, tetapi juga menggunakan gestur dan penggunaan properti yang menyokong momen-momen untuk membuat penonton tertawa.

            Film berita yang dibuat oleh Nanpo Hodo dan Berita Film Indonesia terkadang tidak memiliki credit title. Akan sulit mengonfirmasi di bagian mana Nawi Ismail terlibat dalam pembuatan film berita. Yang dimaksud film berita adalah upaya perekaman situasi Indonesia, lebih mirip ke dokumenter, tetapi pesannya positif. Ada film berita yang menunjukkan keterlibatan Soekarno dan petinggi militer dari Jepang ketika merundingkan kemerdekaan. Sedangkan Berita Film Indonesia, adalah “kelompok khusus” yang mengikuti ke manapun Presiden Soekarno pergi. BFI dibuat setelah kemerdekaan, berisi para pembuat film. Isi dari film-film BFI menyorot kondisi Indonesia merdeka yang gegap gempita, menekankan pada sisi kebebasan atas penjajahan.

Estetika Film Indonesia
Gambar 5. Campuran gambar yang diambil dari berita film di Nanpo Hodo dan Berita Film Indonesia, disandingkan dengan gambar dari film-film Nawi Ismail.

Dalam film-film ini sorak-sorai orang banyak menjadi nyawanya. Pengambilan gambar banyak dilakukan di jalanan, memperlihatkan spanduk dan poster serta orang-orang yang tersenyum gembira. Gambar-gambar semacam ini muncul pula dalam film-film Nawi Ismail. Ia tidak lagi menggunakan konsep studio seperti yang dilakukan oleh JIF, melainkan meletakkan kameranya di jalanan untuk menunjukkan realita. Dalam Samson Betawi misalnya, penonton akan melihat penonton-penonton yang haus akan pertunjukan. Berulang lagi dalam film Memble tapi Kece, saat warga berkumpul untuk menyaksikan gegap gempita televisi dan tayangan dangdutnya.

Perihal narasi dan proses adaptasi, Nawi jelas mendapatkannya dari pengalamannya bekerja di studio sutradara sebelum kemerdekaan dan Dr. Huyung. Dari The Teng Chun dan Tan Tjoei Hok, Nawi belajar mengadaptasi cerita dari luar, menerjemahkannya cara yang bisa diterima penonton banyak. Ini bisa ditemukan dalam film Nawi seperti 3 Djanggo, Benyamin Koboi Ngungsi, Samson Betawi, ataupun si Pitung. Sedangkan untuk narasi mengenai pentingnya keluarga dalam mendukung bangsa, ia dapatkan dari Dr. Huyung seorang Korea yang belajar film di Jepang. Seperti kita ketahui, narasi film-film klasik Jepang selalu menekankan pada pentingnya keluarga.

Melalui langkah di atas, sebagai pengkaji film kita bisa melihat sebuah proses. Bahwa gambar dan narasi di masa tertentu, bisa bangkit lagi untuk menyapa penonton dan menjembatani dengan kelampauan. Langkah komparasi gambar semacam ini mengijinkan kita untuk bergerak mundur atau meloncat langsung ke depan. Tarikannya sama. Untuk mendekati perjalanan estetika film Indonesia.

Daftar Rujukan

Abdullah, T., Biran, M. Y., & Ardan, S. 1993. Film Indonesia Bagian I (1900 – 1950). Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.

Kurosawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942 – 1945. Jakarta: Grasindo.

Lestari, Umi. Nasionalisme dalam Film Nawi Ismail. Tesis Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma. Sidang berlangsung pada Juni 2018.

Ruppin, Dafna. The Komedi Bioscoop: The Emergence of Movie-going in Colonial Indonesia, 1896 – 1914. Disertasi Ruppin ini merupakan bagian dari Creative Commons Atrribution 3.0. yang dipublikasikan pada tahun 2015.

Akses Internet

Tentang The Teng Chun

http://jurnalfootage.net/v4/menonton-tie-pat-kai-kawin/

Tentang Nawi Ismail

Nawi Ismail menyutradarai Benyamin Sueb

Nawi Ismail dan dr. Huyung

Nawi Ismail dan Gaze

Leave a Reply