Humba Dreams: D.A. Peransi dan Sinema Rumahan

Apa yang menyatukan Humba Dreams (2019) karya Riri Riza dan Golden Memories: Petite Histoire of Indonesian Cinema (2018) karya Afrian Purnama, Mahardika Yudha, dan Syaiful Anwar?

Pertama, kedua film ini sama-sama menggunakan kutipan David Albert Peransi (1939 – 1993). Peransi adalah kritikus seni dan film, teoritisi film, pengajar, pelukis, dan penulis. Tulisannya tentang sinema mencoba untuk untuk meranahkan kembali bahwa gambar bergerak itu memiliki logikanya sendiri, memiliki bahasa sendiri.

Kedua, baik Humba Dreams dan Golden Memories sama-sama menunjukkan pentingnya sinema rumahan. Humba Dreams lebih menjadikan sinema rumahan, produk gambar bergerak yang menjadikan anggota keluarga sebagai subjek dalam layar kemudian diedarkan secara khusus untuk keluarganya saja, sebagai bagian yang menggerakkan cerita. Sedangkan Golden Memories mencoba untuk melihat kembali sejarah sinema rumahan sebagai yang termarjinalkan dalam sejarah film Indonesia. Golden Memories membicarakan para amatir dalam sinema yakni The Teng Chun, Kwee Zwang Liang, dan Rusdi Attamimi.

Lihat tulisan saya tentang Golden Memories: Petite Histoire of Indonesian Cinema di Majalah Nang

Humba Dreams sebenarnya lebih cocok dikategorikan sebagai film remaja. Film ini berkisah tentang Martin (J.S. Khairen), seorang mahasiswa jurusan film di Jawa yang pulang kembali untuk menerima warisan dari bapaknya. Martin mencari jati diri. Persinggungannya dengan seluloid 16 mm dan Anna (Ully Triani) akhirnya mampu mendewasakan Martin. Lelaki ini bisa menurunkan ekspektasinya untuk menjadi sutradara, merangkul keterasingannya dengan tanah kelahirannya sendiri di tanah Sumba.

Bila pembaca ingin mengetahui sinopsis Humba Dreams, bisa langsung klik di tautan CNN atau di situs Kincir. Sedangkan untuk review yang melihat kecenderungan eksotisasi Sumba dalam film, pembaca bisa melihat tulisan saya tentang Sumba dari Jawa atau ulasan dari Dhuha Ramadhani di tautan berikut. Saya akan lebih banyak mengulas siapa itu D.A. Peransi dan kaitannya dengan Humba Dreams.

Tentang D.A. Peransi

“Imaji film sangat menyerupai kenyataan, sekalipun ia dua dimensi saja.”

D.A. Peransi dalam buku Film/Media/Seni (2005)

Sebagai permulaan, ijinkan saya menguraikan pengalaman saya berjumpa dengan D.A. Peransi. Pada tahun 2015 lalu, saya bersama dengan Akbar Yumni, Afrian Purnama, dan Suluh Pamuji berkesempatan untuk mengajukan nama D.A. Peransi ke dewan juri Apresiasi Film Indonesia 2015. Dalam perhelatan ini, D.A. Peransi mendapatkan Penghargaan Inspiratif, Apresiasi Adi-Insani.

Pada tahun 2012, saat Arkipel: International Documentary and Experimental lahir, nama Peransi diabadikan. Peransi Award dalam Arkipel diberikan untuk karya film yang menonjol, pembuatnya belum begitu terkenal, namun karyanya bisa memberikan ide yang segar. Karya dari Indonesia yang pernah mendapatkan penghargaan ini adalah Sapu Angin (2017) karya Cahyo Prayogo pada perhelatan Arkipel 2019.

Sedangkan pada tahun 2020 ini, pada perhelatan Ucifest – UMN Animation and Film Festival, penghargaan D.A. Peransi diberikan kepada karya dari Muhammad Muarif yang berjudul Utab Dibalik Batu. Pada malam penghargaan Ucifest, Riri Riza selaku juri menyatakan bahwa, “sebagai salah satu juri saya ingin memberikan penghargaan khusus juri pada satu karya film yang menunjukkan kebanggaan identitas dan keterampilan mengelola bahasa audio visual.” (infoscreening) Riri juga menambahkan bahwa ia berharap dengan penghargaan nantinya para sineas bisa membaca karya D.A. Peransi lebih jauh.

David Albert Peransi pernah mendapatkan Penghargaan Satyalancana Kebudayaan pada tahun 2006 lalu. Namun siapakah sebenarnya D.A. Peransi? Dan mengapa namanya penting untuk diujarkan dalam ekosistem sinema Indonesia?

Peransi lahir di Jakarta pada tanggal 19 Juni 1939. Ia pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Setelahnya, ia menjadi pengajar di beberapa institusi seperti: Sekolah Tinggi Theologia, Jakarta dan Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. Sebagai pelukis karyanya pernah dipamerkan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Amsterdam. Selama tahun 1970 hingga 1972, Peransi belajar sinematografi di Amsterdam. Ia pernah menjadi juri pada festival film di Laren (1970, 1972), Oberhausen (1972), dan Manheim (1972).

Sebagai kritikus film dan seni, tulisan Peransi bergas. Ia pernah menggugat mahzab sastra dan teater yang terlalu mendominasi pembacaan film di Indonesia. Dalam esainya, “Peranan Teori Filem dalam Ilmu Filem” ia menulis,

“Hampir semua ulasan mengenai filem di Indonesia bertolak dari kategori sastra dan teater. Hanya cerita dan aktingnya yang disoroti, satu dua kalimat mengomentari fotografi dan editingnya.”

Gugatan Peransi ini didasari oleh keinginannya untuk mendudukkan film sebagai seni tersendiri. Bagi Peransi, sinema memiliki logika dan bahasanya tersendiri. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, dalam esai yang sama pula, ia meranahkan kembali semiologi atau ilmu tentang tanda. Ferdinand de Saussure sebagai bapak ilmu bahasa menjelaskan bahwa bahasa adalah hal yang mampu menghubungkan satu individu dengan individu lain. Salah satu rumus Saussure yang terkenal tentunya tentang tanda, penanda, dan petanda, yang kemudian dibawa oleh Roland Barthes untuk membaca mitos dan budaya. Sebagai penghubung antara ilmu tanda dan sinema, Peransi kemudian memperkenalkan Christian Metz, yang dalam bukunya Film Language: A Semiotics of Cinema (1974) mencoba untuk menawarkan Grand Syntagmatique, sebuah sistem untuk membuat kategorisasi dalam adegan.

Sebagai penutup dalam esainya, Peransi membuka sebuah pandangan baru supaya penulisan tentang film maupun penciptaan film bisa berbasis teori. Bagi Peransi,

“Teori filem bukan teori membuat filem tetapi suatu kegiatan intelektual yang mengandung eksplorasi, meluas dan menukik mencari kedalaman. Pengembangannya juga akan menguntungkan perkembangan filem itu sendiri serta praktisinya, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah perfileman.”

Selain membicarakan pentingnya teori film, Peransi juga membuka pintu mengenai kerja kolektif dalam produksi film. Dalam buku D.A. Peransi (1997), Peransi berpendapat bahwa selain sutradara, terdapat divisi lain yang turut bekerja untuk menerjemahkan ide atau gagasan ke dalam bentuk audio visual. Pendapat ini tentunya bagaikan ikan yang sedang melawan arus sungai. Selama ini sutradara dianggap sebagai Tuhan kecil dalam produksi film. Padahal jangan-jangan sutradara itu lebih berperan sebagai kurator yang sedang mengumpulkan bakat-bakat untuk pembuatan gambar bergerak. Gagasan ini terkesan sebagai gugatan terhadap konsep auteur dalam sinema.

Karena gagasan Peransi pula, saya akhirnya berani untuk mengkaji ulang film yang katanya film nasional nasional karya Usmar Ismail, yakni Darah dan Doa (1950). Saya membebaskan film tersebut dari pendekatan teater dan sastranya, untuk memunculkan sosok lain yakni Basuki Resobowo, pelukis dan petinggi LEKRA, yang turut menyumbang pengetahuannya tentang seni rupa modern ke dalam segi artistik film Perfini awal.

Humba Dreams dan D.A. Peransi

Lalu apakah Riri Riza dalam Humba Dreams berusaha untuk menerjemahkan kompleksitas gagasan D.A. Peransi tentang sinema?

Pertama-tama, kita lihat dulu sejauh mana sosok D.A. Peransi hadir dalam Humba Dreams. Pada awal film ini, Riri mengutip tulisan Peransi tentang kenyataan dalam imaji dua dimensi. Kemudian, Peransi hadir pula dalam adegan saat Ana memberikan buku pada Martin sembari berkata, “dulu pernah ada penulis mampir ke bungalow ini untuk menulis buku khusus tentang film.” Terakhir, Peransi hadir saat Martin membaca buku pemberian Ana di bus dengan wajah khidmat, seolah-olah dia belum pernah membaca buku tersebut padahal dia adalah anak jurusan film.

Selain tiga hal yang saya jabarkan di atas, saya sendiri masih meraba-raba. Apakah Humba Dreams menggunakan sosok Peransi sebagai pemanis saja? Kalau ingin berpijak tentang realitas dalam sinema, apakah Humba Dreams sedang membangun realitasnya tentang Sumba? Apakah pengulangan shot tiang listrik dan shot sawah dalam Humba Dreams adalah cara film ini memperkenalkan kenyataan Sumba?

Penutup

Bila membandingkan Humba Dreams dengan film yang diproduksi oleh Miles Film pada saat yang bersamaan, Bebas (2019), tampak Humba Dreams masih meraba-raba. Film ini tidak sematang Bebas. Dugaan saya, Bebas mengisahkan hal-hal yang dekat dengan realitas para pembuatnya: kehidupan urban, anak-anak di perkotaan, dan sedikit tentang sejarah Orde Baru. Sayangnya dalam Humba Dreams, jarak antara si pembuat yang berasal dari Jawa dengan subjek yang ia ambil gambarnya, yakni tanah Sumba, nyata begitu jauh. Sumba masih identik dengan tanah perawan, tempat si karakter utama bisa mengeksplorasi setiap sudutnya hingga ia bisa menemukan jati diri.

Humba Dreams (2019)

Sutradara: Riri Riza | Produser: Mira Lesmana | Pemain: J.S. Khairen, Ully Triani, Ephy Sekuriti, Margaretha Sene, Ruben Pulungtama, Yani Roosselyna, Karel Nooljen, Yongki Yonathan, Lukas Lunggi Haling, Tamu Rambu Margaretha | Musik: Aksan Sjuman | Sinematografi: Bayu Prihantoro Filemon | Film Editing: Sastha Sunu | Art Direction: Asep Suryaman | Rumah Produksi: Miles Films | Durasi : 75 menit

Leave a Reply