Sinema Refleksif: Pengantar Film Eksperimental dari Asia Tenggara

Pada perhelatan UMN Animation and Film Festival (Ucifest) 2020 kali ini, saya berkesempatan untuk menunjukkan tiga film eksperimental dari Asia Tenggara. Penayangan ini akan berlangsung pada hari Rabu, 22 April 2020, Pukul 11 - 12.30 WIB. Berikut adalah pengantar yang saya buat untuk film Shotgun Tuding (Shireen Seno, 2014), Demos (Danaya Chulphutiphong, 2016), dan Pagi Yang Sungsang (Mashur Zikri, Pingkan Polla, dan Prashasti Wilujeng Putri, 2018). Silakan kunjungi situs Ucifest untuk mendaftar dan melihat ketiga film eksperimental dari Asia Tenggara ini. 

Suatu siang yang terik di kawasan Thailand Utara tidak menghentikan obrolanku tentang film parodi dan western spaghetti ala Indonesia. Christian temanku, seorang kurator dan seniman dari Manila, Filipina, yang cukup antusias mengikuti ceritaku langsung menyarankan sebuah film dari Shireen Seno. Ia membuka ponselnya untuk menunjukkan trailer Shotgun Tuding (2014) padaku. Ah iya.. Vimeo hanya diblokir di Indonesia! Pikirku kala itu.

Perempuan menunggang kuda. Perempuan mengarahkan pistolnya ke kamera. Perempuan mengenakan topi koboi menantang bandit lokal.

Selang beberapa bulan, akhirnya aku bisa menonton secara utuh film tersebut. Bagiku, Shotgun Tuding cukup menggelitik. Ia mampu membawaku pada pengalaman menonton film-film parodi Western Spaghetti ala sinema Orde Baru yang dibuat dengan budget rendah. Film parodi ala Indonesia masih menekankan pada perjalanan protagonis laki-laki menuntut balas atas pengambilan tanah untuk pembangunan semasa Orde Baru. Film Shireen justru menunjukkan protagonis perempuan bernama Tuding yang menuntut balas. Terselip dialog tentang trauma Perang Pasifik dan pengetahuan senjata yang digunakan untuk membasmi orang muslim di Filipina bagian Selatan. Pada titik inilah aku mulai jatuh hati pada Tuding.

***

Lima tahun yang lalu, di sebuah festival film eksperimental, aku menonton film berjudul Night Watch (2014) karya Danaya Chulphuthiphong.  Gambar yang tertanam di benakku kala itu adalah betapa lambatnya gerak siput dalam film ini. Gambar ini justru kontras dengan gerak cepat orang-orang di dalam apartemen dan gambar tayangan televisi yang menunjukkan demo rakyat Thailand mengecam militer. Ketegangan yang sama aku temukan pula pada Demos (2016). Bila Night Watch merekam keheningan saat militer Thailand menyatakan kudeta, maka Demos justru merekam situasi-situasi tak menentu setelahnya.

Detil mengenai kudeta militer tersebut aku dapatkan saat mengikuti lokakarya para amatir di Udon Thani, Thailand, pada bulan April 2019. Di tempat ini pula aku bertemu dengan Shireen kembali dan juga berjumpa dengan Danaya. Ikut pula beberapa pembuat film eksperimental dari Thailand. Kudeta militer tampaknya sangat membekas. Para pembuat film ini sepakat bahwa kejadian ini selalu berulang: tahun 1932, 1947, 1977 dan 1976, 1991, 2006, hingga terakhir 2014. Danaya turut menyaksikan protes rakyat sipil dan juga kudeta tersebut. Ia merekam semuanya dan membagikan kegelisahan pribadinya lewat simbol-simbol dan kejutan kecil dalam Demos.

***

Terakhir adalah Pagi yang Sungsang (2018). Film ini dibuat dengan semangat kolektif dan direalisasikan oleh Mashur Zikri, Prashasti Wilujeng Putri, dan Pingkan. Ketiganya tidak memiliki latar belakang pendidikan film seperti Shireen atau seni seperti Danaya. Mereka itu amatir, para pembelajar mandiri yang ditempa oleh keseharian sebagai organisator sebuah ruang untuk belajar seni dan film di Jakarta.

Meskipun terkesan raw, namun Pagi yang Sungsang memberikan gambaran lain dalam produksi film dokumenter. Baik Asti, Pingkan, dan Zikri, yang mulanya belajar bersama di milisifilem, melakukan observasi sederhana. Mereka bergumul dengan para penjual dan pembeli di Pasar Minggu, duduk dengan waktu yang cukup lama untuk menangkap kesan dan pengalaman kehadiran orang-orang dan segala objek yang muncul di depan mata mereka. Setelahnya sketsa itu tampaknya dikembangkan menjadi bidikan-bidikan hasil observasi dan pengulangan kembali apa yang telah mereka tangkap.

***

Ketiga film ini tentu saja sama-sama berasal dari suatu kawasan yang bernama Asia Tenggara. Baik Indonesia, Thailand, dan Filipina, asal pembuat tiga film ini, merupakan negara-negara pendiri ASEAN. Tentu akan sangat menarik untuk menilik kembali apa yang membuat para pendahulu kita mengimajinasikan suatu wilayah bersama yang bernama Asia Tenggara. Apakah konsep Asia Tenggara ini terbentuk saat Jepang mulai menyinggahi negara-negara di kawasan Tenggara saat Perang Pasifik (1937 – 1945)? Apakah negara-negara Tenggara ini dulunya juga menyadari bahwa kawasan ini menjadi tempat perang ideologi selama Perang Dingin (1947 – 1991)? Apakah hantu kolonialisme dan imperialisme (dan mungkin juga militerisme) menjadi pemersatu wilayah ini?

Banyak aspek yang membuat kawasan Tenggara ini serupa. Salah satunya adalah bagaimana orang-orangnya bersinggungan dengan teknologi. Meskipun ketiga film dalam menawarkan topik yang berlainan, namun ada satu benang merahnya. Ketiganya menawarkan eksplorasi dan eksperimentasi terhadap teknologi kamera. Ketiganya juga menawarkan sebuah refleksi: pada sejarah, pada event penting di wilayahnya, maupun pada keseharian.

Pertama, pengambilan Shotgun Tuding menggunakan kamera 16mm. Jenis kamera ini memiliki karakteristik lebih ringan dari kamera 35mm yang pada tahun 1940-an sering digunakan untuk produksi film profesional. Para pembuat film amatir maupun film rumahan kerap kali menggunakan jenis kamera ini untuk merekam. Sementara itu, pada periode Perang Pasifik, kamera 16mm justru digunakan untuk membuat film propaganda. Kalau di Indonesia, pada periode kedatangan Jepang, para pembuat filmnya menggunakan kamera 16mm karena ia membuat para pengambil gambar lebih leluasa bergerak.

Baca Lebih Lanjut tentang Festival Film Online 2020

Kisah Shotgun Tuding berlatar tahun 1940-an, sesaat setelah Jepang kalah oleh sekutu. Shireen Seno sendiri menuliskan bahwa Shotgun Tuding merupakan homage untuk pancit (spageti) western yang pada masa itu cukup populer di Filipina. Pemilihan kamera 16mm menjadi aksi pembuatan film ini. Selain itu penuturan subjektif atas narasi sejarah dan keputusan menjadikan perempuan sebagai pelakon utama adalah merupakan upaya rekontruksi. Shotgun Tuding mampu membawa kita mengimajinasikan warna dan shot yang digunakan dalam film dari masa lalu. Shotgun Tuding merupakan refleksi atas atas sejarah serta  sejarah kamera dan aspek politisnya.

Demos dan Pagi yang Sungsang merupakan film yang memberikan keleluasaan bagi penonton untuk menikmati dan memaknai apa yang tersaji dalam gambar. Kekuatan kedua film ini adalah daya observasi yang kuat. Para pembuat film melakukan pengamatan atas sesuatu yang terjadi dalam keseharian mereka. Demos mencoba menerjemahkan ketegangan dan rasa frustasi semacam apa yang mungkin dirasakan oleh orang-orang sekaligus hewan-hewan saat pemerintahan Thailand diambil oleh militer. Ada unsur kejutan berupa kehadiran foto yang traumatis. Selain itu, kekuatan Danaya tercermin pilihan soundscape dan gambar-gambar yang perlu dimaknai. Apakah buaya merupakan simbol dari militer? Apakah kehadiran crane merupakan cara Danaya untuk memberitahukan terjadinya investasi infrastruktur besar-besaran di Thailand? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini memang tak terjawab dengan lugas. Sehingga bagiku, Demos cukup demokratis untuk membiarkan penonton menikmati gambar dan suara yang dihadirkan, serta bermain tebak-tebakan makna.

Pagi yang Sungsang memberikan sudut pandang lain tentang pasar, tempat yang menjadi permulaan mobilitas besar-besaran di sebuah kota. Pasar bukan hanya tempat jual-beli, namun ada tubuh-tubuh yang secara sadar bernegosiasi dengan kehadiran mesin besar dalam gang-gang sempit tempat mereka berjejal. Pilihan warna hitam putih setidaknya menjadi sebuah pernyataan dari Asti, Pingkan, dan Zikri. Meskipun aspek dokumentris kuat, tetapi mereka nyatanya sedang membuat fiksi. Kamera menjadi mata si mesin besar. Ia mengijinkan penonton untuk melihat pasar dari sudut pandang yang lain. Selain itu, proses sebelumnya yang lebih menekankan pada pencatatan kegiatan di pasar melalui sketsa menjadi cara yang justru mengingatkan kita pada proses pra-produksi film fiksi: dari storyboard ke film.

***

Sinema Asia Tenggara bukanlah sesuatu yang tidak hanya disatukan oleh wilayahnya saja. Ada upaya untuk membuat rekontruksi ulang atas sejarah. Ada pula yang menekankan pada pengujaran pengalaman sehari-hari yang tidak pernah terwakilkan oleh sinema Barat. Ketiga film ini dengan caranya masing-masing mampu menunjukkan proses refleksi atas sejarah dan kesadaran kehadiran kamera di negaranya masing-masing.

Bsd City, 11 April 2020

Umi Lestari

Film Eksperimental Asia Tenggara
Film Eksperimental Asia Tenggara
Film Eksperimental Asia Tenggara

Shotgun Tuding (2014)

13 menit | Filipina, Malaysia | Sutradara: Shireen Seno | Produksi: Los Otros x Tito & Tita, + WOMEN:girls initiative commissioned by Garang Pictures and Big Eyes Entertainment

Sinopsis:

Tuding hanya mau membawa lelaki itu bertanggung jawab. Ia datang ke kota, mengambil kuda dari gerombolan bandit, lalu mencari keberadaan seorang lelaki yang telah menghamili saudarinya. 

Biografi

Shireen Seno merupakan seniman dan pembuat film yang karyanya menitikberatkan pada kenangan, sejarah, dan pembuatan citra yang terkadang berelasi dengan gagasan akan rumah. Shireen merupakan peraih penghargaan 2018 Thirteen Artist Award from the Cultural Center of the Philippines. Shotgun Tuding telah dipamerkan pada perhelatan “Double Vision” d NUS Museum, Singapura, dan diputar di Asiatica Film Festival, Italia. Shireen Seno dan John Torres menjalankan Los Otros, platform dan studio di Manila yang didedikasikan untuk seni dan film. 

Demos (2016)

13 menit | Thailand | Sutradara: Danaya Chulphuthiphong

Ketegangan paska kudeta militer di Thailand memuncak. Hewan-hewan di kebun binatang hanya bisa menunggu sembari frustasi. Mesin derek telah bersiap. Rumah dirobohkan. 

Biografi

Danaya Chulphuthiphong tinggal di Bangkok, Thailand. Ia mendapatkan gelar Bachelor of Art di bidang Arkeologi dan Master of Fine Arts. Danaya memulai karirnya sebagai fotografer untuk koran dan majalah. Ia tertarik pada seni berbasis lensa, baik itu foto maupun gambar bergerak. Selain menjadi sutradara, Danaya juga terlibat sebagai sinematografer untuk beberapa film eksperimental karya sutradara Thailand. Demos telah diputar pada kompetisi Southeast Asian Short Film Competition di 27th Singapore International Film Festival dan memenangkan Penghargaan BACC pada perhelatan 20th Thai Short Film and Video Festival. 

Pagi Yang Sungsang (2018)

26 menit | Indonesia | Realisasi: Mashur Zikri, Pingkan Persitya Polla, Prashasti Wilujeng Putri | Produksi Milisifilem, Forum Lenteng, Jakarta

Pasar Minggu… Pasar Minggu… Suara komuter menderu. Tubuh-tubuh mulai sibuk. Daging-daging tercacah tak lagi utuh. Mesin besar memburu, menyelip dalam gang-gang kincup. 

Biografi

Pingkan Persitya Polla dan Prashasti Wilujeng Putri merupakan seniman yang fokus pada seni performans dan juga pengurus harian Forum Lenteng, Jakarta. Masnhur Zikri merupakan manajer artistik Cemeti – Institute for Art and Society, Yogyakarta. Ketiganya menjadi angkatan pertama dari kolektif Milisifilem, sebuah platform yang dibentuk oleh Forum Lenteng pada tahun 2017. Platform Milisifilem secara khusus mendalami praktik-praktik produksi visual, baik secara teknis maupun konteks yang terkait dengan persoalan budaya terkini.  Pagi Yang Sungsang telah diputar di Festival Film Dokumenter 2018 dan 36th Kasseler Dokumentarfilm und Video Festival 2019. 

Leave a Reply