Jauh sebelum Chaerul Umam menyutradarai Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), Bachtiar Effendy telah terlebih dahulu merepresentasikan perempuan dan kegilaan. Bachtiar Effendi membuat Meratjun Sukma (1953) yang mengisahkan seorang perempuan yang menjadi gila karena selama ini ternyata ia menyiksa anak kandungnya sendiri. Film musikal ini diproduseri oleh Perusahaan Film Nasional (PFN). Dan fun fact, karena Misbach Yusa Biran menulis resensi Meratjun Sukma, Usmar Ismail menerimanya sebagai anggota Perfini.
Tentang Bachtiar Effendi
Bachtiar Effendi merupakan aktor, sutradara, jurnalis, dan aktivis. Ia lahir di Padang pada tahun 1907. Sebelum bergabung dengan Tan’s Film Company, Bachtiar Effendi merupakan anak teater lokalan. Ia tergabung dalam Padangsche Opera.
Saat Andjar Asmara memutuskan bergabung dengan Dardanella pada tahun 1930, Bachtiar Effendi menggantikan posisinya sebagai editor in chief majalah Doenia Film. Berkat Andjar yang memiliki jaringan ke studio film semasa Hindia Belanda, Bachtiar menjadi pemain figuran untuk Tan’s Film Company. Dari pemain figuran di Melati Van Agam (1930), Bachtiar Effendy kemudian mendapat kepercayaan untuk menyutradarai Nyai Dasima (1931).
Pada tahun 1935, Dardanella pecah setelah melakukan Tour D’ Orient melawat ke beberapa kawasan di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Ratna dan Andjar Asmara pulang ke Indonesia. Mereka mengajak Bachtiar Effendi untuk bergabung di kelompok sandiwara Bolero. Namun, Ratna dan Andjar hanya bertahan satu tahun di Bolero. Setelahnya, Bachtiar Effendi menjadi pemimpin Bolero dan menjadikannya kelompok sandiwara yang memainkan lakon politis. Saat di Bolero pula, Bachtiar Effendi menikah dengan Suhara, adik dari Ratna Asmara.
Sebagai pemuda kritis, Bachtiar Effendi sempat ditangkap oleh otoritas Inggris sewaktu Bollero tour ke Melaka. Bachtiar ditangkap karena ia menolak untuk mendukung sikap Inggris yang ingin menduduki Singapura setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada tahun 1949, akhirnya Bachtiar Effendi bebas. Ia kembali ke Indonesia dan bergabung dengan PFN. Tiga film yang dibuat Bachtiar Effendi selama di PFN diantaranya: Djiwa Pemuda (1951), Meratjun Sukma (1953), dan Antara Tugas dan Cinta (1954).
Tentang Meratjun Sukma (1953)
Upaya untuk menunjukkan Indonesia sebagai negara yang maju terlihat pada konten film yang dibuat tahun 1950-an awal. Salah satu contohnya adalah penghadiran karakter dokter dan orang-orang terpelajar dalam film. Usmar Ismail dalam Asrama Dara (1958) menghadirkan perempuan-perempuan terpelajar yang tinggal di satu asrama. Ada yang menjadi dokter. Adapula yang menjadi koreografer, membuat tarian baru yang meleburkan tari tradisional dan tarian modern. Kemudian Basuki Effendi dalam Pulang (1952) menghadirkan sosok lelaki bekas tentara Jepang yang akhirnya mantri. Atas nama ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran, maka Indonesia menjadi negara modern.
Imajinasi dokter dan pelajar sebagai agen nasionalis terbentuk lewat kisah perjuangan selama masa Hindia Belanda. Menurut Ben Anderson dalam Imagined Communities (Verso, 1986), media massa berperan besar dalam pembentukan identitas nasional. Para pemuda, orang-orang yang merasakan pendidikan setelah hadirnya Politik Etis, bertukar pikiran melalui media massa untuk menekankan adanya identitas “Aku bumiputra” versus “Mereka orang Belanda”.
Para pembuat film yang hidup pada masa pembentukan identitas nasional ini berupaya pula untuk merepresentasikan kaum terpelajar, dan secara khusus hadirnya setting rumah sakit untuk menegaskan modernitas itu. Contoh selain Pulang dan Asrama Dara, ada film Gagak Item (Wong Bersaudara, 1939) dan Frieda (Dr. Huyung, 1950).
Tampaknya Bachtiar Effendi tidak luput untuk mengikuti trend tersebut. Namun, ia tidak secara gamblang seperti Usmar Ismail maupun Dr. Huyung, menggunakan tokoh dokter sebagai pemain utama dalam film. Ia justru menunjukkan sisi lain dari pembentukan masyarakat, ketika yang gila akhirnya diisolasi ke sebuah rumah sakit. Orang gila dianggap tidak mampu untuk mengikuti tatanan sosial.
Meratjun Sukma berkisah tentang Suratni yang harus menitipkan anaknya pada orang kampung di Purwakarta. Ia ingin menikah dengan Tengku Hamid. Meskipun mengetahui Tengku Hamid telah memiliki Fatimah dan anak bernama Kartini, Suratni tetap mengejar lelaki tersebut. Fatimah kemudian mengalah karena tidak tahan dengan perlakuan Suratni terhadap anaknya.
Karena tak ingin dirundung keluarga besarnya di Medan, Fatimah pergi ke Purwakarta. Ia bertemu dengan anak kandung Suratni. Pada umur lima tahun, Fatimah membawa anak Suratni dan mengaku bahwa anak tersebut adalah Kartini. Dendam terhadap Fatimah, akhirnya Suratni melampiaskan kekesalannya pada Kartini. Ia bertindak sebagai ibu tiri yang jahat tanpa mengetahui bahwa Kartini adalah anak kandungnya. Bahkan ketika ada seorang terpelajar meminang Kartini, Suratni justru menolak. Di akhir cerita, Suratni mengetahui bahwa anak yang selama ini ia siksa adalah anak kandungnya dan ia menjadi gila.
Dalam Meratjun Sukma, Bachtiar Effendi nyatanya juga mengikuti penghadiran karakter terpelajar dalam film. Tokoh Ratna, anak Tengku Hamid dan Suratni, menjadi perempuan yang mengenyam pendidikan. Sedangkan Kartini, karena ia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Suratni, akhirnya hanya bisa menjadi pembantu di rumah ibunya sendiri. Kontras gadis modern terpelajar dan “gadis tradisional” ini bisa dilihat dari pemilihan pakaian karakter. Di dalam film, Ratna selalu mengenakan dress dengan rambut cepak, sedangkan Kartini justru mengenakan kebaya dan rambutnya terurai.
Kode semacam ini, hadir pula dalam film Frieda dari Dr. Huyung. Dalam kesehariannya Frieda anak Indo selalu menggunakan dress, namun saat ingin mengambil hati Abidin si dokter terpelajar, ia menggunakan pakaian tradisional seolah ingin menunjukkan sisi submissive perempuan. Dalam Frieda pula, istri Abidin yang mulanya menggunakan pakaian kebaya dan hanya bisa di rumah menjadi asisten suaminya, setelah bergabung dengan para perempuan yang bekerja di dapur umum akhirnya menggunakan dress. Sehingga bila merujuk pada Meratjun Sukma maupun Frieda, maka perempuan modern pada tahun 1950-an adalah mereka yang mulai mengenakan pakaian modern, ala Barat tentunya, dan meninggalkan kebaya.
Kegilaan dan Perempuan
Hal yang membuat saya merasa tertantang saat melihat Meratjun Sukma adalah ketika saya melihat adegan terakhir dalam film. Ketika Suratni mengetahui bahwa Kartini adalah anak kandungnya, bukan anak Fatimah, matanya melotot. Lewat teknik double exposure, gabungan wajah Suratni dan adegan flashback saat ia menyiksa Kartini, menjadi titik peralihan: dari Suratni yang arogan menjadi Suratni yang gila. Dalam gambar tersebut, seolah apa yang telah direpresi oleh Suratni muncul dalam waktu bersamaan.
Kedua, akhirnya Suratni dibawa ke rumah sakit jiwa. Adegan beralih ke Suratni yang dikelilingi oleh perawat. Tubuhnya terikat, perawat memaksanya minum obat. Adegan selanjutnya, Suratni berada di balik teralis besi, sedih lalu tertawa. Adegan semacam ini, ketika perempuan berada dalam kurungan rumah sakit jiwa, tentu sudah bukan hal yang asing. Film a Dangerous Method (David Cronenberg, 2011) atau serial Netflix Freud (2020) juga menampilkan adegan serupa, tentang bagaimana rumah sakit jiwa memperlakukan pasiennya yang kebanyakan ternyata adalah perempuan. Orang dengan kondisi sakit jiwa secara otomatis akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa,
Berbeda dengan kedua film yang telah disebutkan di atas, Meratjun Sukma bukanlah film yang mencoba untuk menelaah lebih jauh mengenai mental illness. Kegilaan justru disematkan untuk perempuan yang merusak tatanan ideal dalam masyarakat. Suratni menjadi contoh perempuan, meminjam istilah dari para penulis tahun 1950an, yang rusak akhlaknya. Ia digambarkan sebagai perempuan ambisius, menikahi Tengku Hamid untuk dapat penghidupan yang lebih baik dan rela menitipkan anak kandungnya sendiri. Tentu ini bukanlah gambaran perempuan ideal yang diidamkan pada masa Orde Lama. Karena Suratni bukan contoh yang baik, maka ia dihukum untuk menjadi gila.
Sedangkan untuk penggambaran perempuan ideal, Meratjun Sukma memberikan contoh dari: Kartini anak Fatimah yang di akhir cerita sedang menunggui Ibunya sakaratul maut sembari mengaji; Kartini anak Suratni yang menuruti dan tidak pernah membangkang meski diperlakukan semena-mena; dan Ratna sebagai sosok perempuan terpelajar. Sedangkan Fatimah, istri pertama Tengku Hamid, bisa meninggal dengan tenang setelah membalaskan sakit hatinya. Fatimah dihadirkan sebagai perempuan ideal yang tidak melawan balik ketika suaminya mendua.
Untuk karakter Tengku Hamid, meskipun pada awal 1950an, para penulis perempuan menyuarakan anti poligami, Meratjun Sukma seperti malu-malu untuk menghukum karakter lelaki ini. Kesalahan Tengku Hamid justru ditimpakan pada Suratni. Meskipun pada akhirnya Tengku Hamid dipenjara, tetapi itu bukan karena kesalahannya yang mendua. Ia dipenjara karena bertindak korup, membelikan perhiasan untuk Suratni.
Dengan demikian, Meratjun Sukma menjadi contoh bagaimana film sebagai aparatus bekerja untuk menyokong ideologi dominan pada masa Orde Lama: lelaki adalah jenis pertama; perempuan jenis kedua. Perempuan harus ditundukkan. Ini serupa dengan film dari Usmar, Asrama Dara, yang mengisyaratkan bahwa perempuan bisa terpelajar tapi dia tetap tunduk pada lelaki. Dan untuk Meratjun Sukma, kesimpulannya lebih ekstrim: perempuan yang merusak tatanan sosial harus masuk ke rumah sakit jiwa.
Coda
Pada tahun 1955, Bachtiar Effendi dikirim ke Italia untuk menjadi Press Atache, diplomat yang berurusan dengan media. Namun, saat PRRI Permesta dideklarasikan pada tahun 1958, Bachtiar Effendi menunjukkan dukungannya. Bagi pemerintahan Soekarno, PRRI Permesta dianggap pemberontak. Bachtiar Effendi pun akhirnya tidak bisa pulang ke Indonesia.
Meratjun Sukma mungkin jadi satu-satunya film buatan Bachtiar Effendi yang masih bisa kita lihat sekarang. Kopi digital film ini tersimpan di Sinematek Indonesia.
Meratjun Sukma (1953)
Sutradara: Bachtiar Effendi | Penulis naskah: T.B. Sanusi | Pemain: Ade Ticdalu, Suhara Effendi, Endjek, Nurhasannah, Eulis Atikah, Basuki Zailani, Sukmana, Hadidjah, Kartini, Ardi. | Kamera: Waginimin A.TJ., Lie Boen Kong | Dekor: Nazar Ali | Juru Potret: Alipan | Perlengkapan: Ruslan | Titel: DDQ | Lampu: Salam | Rias Lelaki: Mardjuki | Rias : Suhara Effendi | Suara: Sjawalludin | Montase: B. Supardi | Laboratorium: T. A. Chatib | Recording : M. Tabrani, Sjawalludin | Perlengkapan Opname : Fred Hulshoff | Asisten Sutradara: R. Ariffien | Lagu dan Syair: R. Maruti | Orkestra: Nurdin Djufri | Durasi: 80 Menit| Produksi: Perusahaan Film Negara
Pingback: Sinema Klasik Indonesia: Si Melati Karya Basuki Effendy | Umi Lestari