Citra: Melodrama Kegagalan Pemuda 

Sebagai penanda penting dalam sinema Indonesia, keberadaan Citra (Usmar Ismail, 1949) bagaikan hantu tanpa wajah. Judul film ini hingga sekarang masih dipakai sebagai sebuah penghargaan paling bergengsi di negeri +62. Piala Citra pertama kali dipakai saat Festival Film Indonesia lahir pada tahun 1955. Selain itu, di bidang sastra, kritikus sastra Indonesia berkebangsaan Belanda yakni A. Teeuw pernah memuji naskah Citra buatan Usmar Ismail. A. Teeuw menyatakan bahwa Citra adalah Indonesia karena ia merupakan sintesis dari cita-cita dan tanggung jawab pribadi dan kebangsaan. (lihat artikel tentang Citra di situs Kemdikbud).

“Mau tapi malu,” itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan pilihan Usmar Ismail yang diikuti oleh skena film paska kemerdekaan ketika mempersoalkan Citra. Usmar sendiri pernah mengaku bahwa  Citra mendapatkan respon yang positif di media massa. Sayangnya, wacana nasionalisme yang mengerucutkan identitas nasional menjadi pribumi melawan asing, si mantan penjajah, menyebabkan Usmar mencabut keterlibatannya dalam produksi Citra. Lebih jauh Usmar menyatakan,

“Meskipun Tjitra mendapat sambutan yang baik dari pihak pers, terus terang filem itu terlalu banyak mengingatkan saya kepada ikatan-ikatan yang saya rasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreasi saya.”

Usmar Ismail, Intisari No. 1/Tahun I/17 Agustus 1963

Bila membandingkan film Harta Karun dan Citra, tampak bahwa campur tangan Usmar Ismail dalam Citra lebih sedikit. Saya mendapati bahwa Harta Karun adalah eksplorasi awal Usmar Ismail selaku sutradara film yang lebih dekat dengan teater. Ketika saya membandingkan Harta Karun dengan Darah dan Doa tampak adanya signature Usmar yakni akting berlebihan ditambah dengan editing lambat. Harta Karun terkesan sebagai karya amatiran. Sedangkan untuk Citra, eksplorasi teknis dan editing lebih mendominasi.

Beberapa eksplorasi gambar yang saya catat untuk film Citra adalah penggunaan close-up supaya penonton lebih fokus untuk menyelami perasaan karakter. Kemudian adapula gambar high contrast, saat sosok perempuan berdiri di depan cahaya yang begitu terang untuk mengintensifkan atmosfer adegan. Untuk editing, Citra cukup matang. Misalnya saat adegan kilas balik Harsono dan Suryani berkasih-kasih di depan Gunung Salak, gambar kemudian beralih ke sebuah lukisan Gunung Salak untuk menyiratkan adanya kesinambungan peristiwa satu ke peristiwa lain. Selain itu, Citra menggunakan alur kilas balik. Cara tutur semacam ini cukup istimewa dibandingkan dengan film sezamannya yang lebih banyak menggunakan alur maju.

Baca lebih jauh tentang Usmar Ismail dan Harta Karun di tautan berikut

Citra: Dua Pemuda, Satu Perempuan Naif, dan Satu Perempuan Penuh Tipu Daya

Citra berkisah tentang Harsono, anak pemilik perkebunan di Jawa Barat yang berhasil menikmati geliat kota dan mengakses pendidikan modern. Lewat kilas balik penuturan Harsono, penonton dibawa pada serangkaian kegagalan sosok pemuda ini. Bukannya mengembangkan perkebunan warisan bapaknya, Harsono justru menggoda perempuan pabrik dan menghamili Suryani, anak adopsi keluarganya. Harsono kemudian terpikat pada bujuk rayu Sandra, perempuan yang hanya mengincar harta saja. Harsono dan Sandra menikah lalu pindah ke Jakarta. Mereka tinggal layaknya Iwan Simatupang, di hotel saja. Kalau Iwan Simatupang menghabiskan waktu untuk menulis novel, duo Harsono dan Sandra ini hanya berkasih-kasih dan menghabiskan malam sambil berjudi.

Harta Harsono terkuras, Sandra protes. Perdebatan sengit ini membuat Harsono mencekik Sandra hingga tewas. Harsono menyerahkan diri ke polisi hingga beberapa bulan kemudian terungkap bahwa Sandra mati karena serangan jantung. Berpakaian lusuh, Harsono kembali ke Jawa Barat menemui ibu dan hendak bertanggung jawab atas kesalahannya. Sutopo, sang kakak tiri yang selama ini menggantikan kewajiban Harsono telah menikahi Suryani demi nama baik keluarga. Sutopo hendak menyerahkan Suryani kembali pada Harsono. Alhamdulillah! Suryani memilih untuk tidak memilih Harsono maupun menerima Sutopo. Suryani lebih memilih menangisi kepergian anak semata wayangnya yang meninggal sewaktu bayi.

Citra Usmar Ismail
Setelah melihat Suryani yang berlari menuju matahari, Cornel segera menciptakan gubahan berjudul “Citra”. Film Citra (Usmar Ismail, 1949)
Citra Usmar Ismail
Perempuan buruh pabrik. Citra (Usmar Ismail, 1949)
Citra Usmar Ismail
Harsono menggoda Suryani. Citra (Usmar Ismail, 1949).
Citra Usmar Ismail
shirtless Harsono and Sandra. Citra (Usmar Ismail, 1949)

Menurut Ben Anderson, sebelum kemerdekaan pemuda memiliki peran besar dalam pembentukan identitas nasional. (lihat ben Anderson) Pemuda bukanlah sesederhana orang muda saja melainkan mereka yang mengenyam pendidikan di kota, pusat pemerintahan kolonial yakni Jakarta. Lewat pendidikan, pemuda akhirnya melek politik dan melek identitas. Gagasan para pemuda yang bergulir, bertukar melalui media massa inilah yang nantinya menciptakan serangkaian peristiwa dari Sumpah Pemuda 1928 hingga peristiwa proklamasi 1945. (lihat buku Ben Anderson, Imagined Communities)

Narasi Citra yang mengedepankan kehadiran pemuda menjadi salinan realitas Indonesia di tahun 1940an. Naskah Citra ditulis Usmar Ismail pada tahun 1943 saat ia tergabung dengan Keimin Bunka Shidoso. Pernah Usmar mementaskan Citra dengan Sandiwara Maya yang dibentuk sebelum proklamasi kemerdekaan. Dalam film Citra, penonton bisa menjumpai sosok Cornel (yang mungkin terinspirasi dari sosok Cornel Simanjuntak, kawan Usmar Ismail di Seniman Merdeka) sebagai sosok terpelajar yang kegemarannya membuat musik. Cornel digambarkan mampu menciptakan gubahan berjudul Citra setelah melihat sosok Suryani yang berdiri di belakang cahaya terang benderang. Bertolak belakang dengan Harsono, meskipun sama-sama mengenyam pendidikan modern tetapi Cornel digambarkan sebagai sosok pemuda bersahaja.

Bila film yang mengusung nilai nasionalisme selalu menekankan pada perjuangan pemuda untuk meneruskan cita-cita revolusi, Citra justru bergerak sebagai antithesisnya. Sosok Harsono, pemuda yang tersilap dengan kemilau kota, justru menjadi tuan tanah kecil – bukan pemuda ideal. Di awal cerita, Harsono justru menyombongkan diri, berkata bahwa di desa akan membosankan. Memang ini bukan gambaran yang ideal pada sosok yang diidam-idamkan mampu mengubah keadaan sosial di masyarakat tetapi pilihan Citra untuk menghadirkan kegagalan pemuda justru mirip dengan penggambaran pemuda pada film sebelum kemerdekaan. Baik Harsono maupun pemuda Usman dalam Matjan Berbisik (Tan Tjoe Hock, 1940) justru menampilkan gambaran lain atas kehadiran pergerakan nasional 1908 – 1945.

Melodrama yang Tersisa

Sebagai subgenre film drama, melodrama memiliki ciri untuk menyajikan cerita dengan alur yang menekankan pada krisis emosi manusia, kegagalan asmara, dan tragedi untuk mengakselerasi emosi penonton. Film melodrama menurut Kovacs cukup populer sebelum tahun 1950-an. Melodrama menekankan pada penggunaan grand gestures dan diamplifikasi oleh alunan musik yang membuat penonton tersentuh. Ceritanya seputar manusia kesepian melawan dunia. (Lihat buku Andras Balint Kovacs, Screening Modernism)

Sebagai produser yang mengidamkan komersialitas dan mencita-citakan kebangkitan industri film di Indonesia, A.A. Denninghoff-Stelling (sinematografer kebangsaan Belanda, produser di SPFC) berusaha untuk menggabungkan cerita lokal dengan teknis melodrama Hollywood. Untuk itulah SPFC mempekerjakan Andjar Asmara dan Usmar Ismail, penulis naskah yang cukup mumpuni pada zamannya. Menurut Hayward, melodrama selalu berlatar rumah dan kota kecil dan terkadang akan sangat menantang bagi pembuat film untuk menciptakan aksi sehingga dalam film melodrama menekankan pada penggunaan kilas balik di masa lalu.[1] Pilihan Denninghoff menggunakan alur kilas balik ini tersaji untuk menguatkan perubahan karakter Harsono, dari pemuda gagal menjadi pemuda yang taubat nasuha, menekankan pada pertarungan antara si manusia ini dengan masyarakatnya.

Selain Citra, film melodrama Indonesia klasik yang masih tersisa adalah Frieda (Dr. Huyung, 1951), Pulang (Basuki Effendy, 1952) dan Meratjun Sukma (Bachtiar Effendi, 1953).

Baca lebih lanjut tentang Frieda

Baca lebih lanjut tentang Pulang

Baca lebih lanjut tentang Meratjun Sukma

Citra (1949, atau Tjitra)

Sutradara: Usmar Ismail | Penulis Naskah: Usmar Ismail | Pemain: Raden Soekarno, Nila Djuwita, Rd. Ismail, A. Hamid Arief, Mohammad Said Hamid | Penata Kamera: AA Denninghoff-Stelling | Produksi: South Pacific Film Company | Durasi: 71 Menit


[1] Hayward, Susan. “Melodrama and Women’s Films” in Cinema Studies: The Key Concepts (Third Edition). Routledge, 2006. p. 242

Leave a Reply