Apes benar nasib Djadoeg Djajakusuma. Badan sensor dan kritikus menganggap filem pertamanya tidak cocok untuk dengan modernitas yang ditempuh pemerintahan Soekarno. (Baca Embun, filem pertama Djadoeg Djajakusuma pada link berikut). Film keduanya, Terimalah Laguku (1952), mendapat guntingan sensor dan peredarannya terhenti. Suami menjewer istri dan lelaki takut pada perempuan menjadi alasan penyensoran. Maskulinitas pada tahun 1950-an tak ingin terkoyak oleh adanya adegan saat lelaki mendapatkan olokan. [1]
Belum rampung pula proses legowo Djadoeg Djajakusuma, Usmar Ismail yang baru saja pulang dari Amerika secara menggebu-gebu menyasarkan kritiknya terhadap Terimalah Laguku. “Adegan ini seharusnya begini. Pergerakan aktor seharusnya begitu.” Usmar mungkin menyatakan hal demikian setelah ia mendapatkan didikan dan melihat secara langsung proses pembikinan filem di studio Amerika. Alhasil, Terimalah Laguku tidak hanya membuat produser dan pemodal trauma, tetapi ia juga menjadi bahan acuan supaya Perfini bisa membuat filem lebih baik ke depannya.
Bagi saya, Terimalah Laguku bukanlah film dengan bad quality. Ia hanya berada saat bad timing. Indonesia yang baru saja merdeka dan mendapatkan pengakuan internasional paska berakhirnya Perang Revolusi 1945 – 1949 mengalami masa yang eksperimentatif baik untuk melaksanakan demokrasi hingga mengerucut ke penguatan ekosistem film. Badan sensor yang tidak memiliki blue print hanya bertindak menurut keyakinan si penyensor. Misalnya saja pernah Usmar Ismail mendapatkan kritikan karena ia menampilkan pasukan revolusi yang manusiawi dalam Darah dan Doa (1950) hingga akhirnya negosiasi berlaku untuk Enam Djam di Djogja, saat pasukan revolusi digambarkan garang dan galak. Sedangkan Djadoeg Djajakusuma, karena ia terlalu realis dalam menampilkan aspek animistic dalam filem Embun ataupun sisi lain lelaki yang bisa takut istri, guntingan sensor turut menghampiri.
Padahal bila penonton sekarang (seperti saya misalnya) mengamati film awal Djadoeg Djajakusuma secara detail, Terimalah Laguku merupakan tolak ukur untuk film Perfini selanjutnya, terutama pada bagian artistik. Dalam artikel tentang Basuki Resobowo (link: jurnal Southeast of Now) ataupun dalam wawancara berikut (link wawancara dengan Umi Lestari), saya menegaskan bahwa Terimalah Laguku memiliki potensi. Set artistiknya seperti penggabungan film Orson Welles berjudul Citizen Kane (1941), yang juga akan mengingatkan penonton pada artistik film Sergei Parajanov berjudul Sayat Nova: The Color of Pomegranates (1969). Selain itu, Djadoeg Djajakusuma juga menggunakan aktor non-profesional, ia ambil dari pemain musik Radio Republik Indonesia dan pemain band bossa nova. Selain itu, Terimalah Laguku berbeda dengan film Perfini lainnya. Ceritanya justru menitikberatkan pada orang-orang biasa, tiga musisi bukan pejuang revolusi, yang sedang mencicipi modernitas Indonesia lewat meriahnya siaran radio, kreativitas pembuatan musik, dan juga gemerlapnya menjadi seniman musik pada awal tahun 1950-an. Inilah capaian Terimalah Laguku yang tidak pernah dibahas dalam sejarah film Indonesia.
Homage Si Tjonat Melalui Kisah Terimalah Laguku
Kisah Si Tjonat bandit semasa Hindia Belanda merupakan karangan dari jurnalis dan novelis Minahasi bernama F.D.J. Pangemanann. Jurnalis harian Bintang Betawi ini sukses besar setelah menerbitkan Tjerita si Tjonat pada tahun 1900. Dua puluh sembilan tahun setelahnya, Nelson Wong yang berasal dari Tiongkok mengadaptasi cerita ini ke dalam film Si Tjonat, produksi Batavia Motion Picture. Bintang utama Si Tjonat adalah Kung Fu May dan Herman Sim yang pernah terlibat dalam industri perfileman di Shanghai. Aksi beladiri Herman Sim yang melawan Tjonat ketika menculik Kung Fu May menarik perhatian penonton semasa Hindia Belanda. Menurut Misbach Yusa Biran, adegan perkelahian dalam si Tjonat tidak hanya menarik perhatian penonton etnis Tionghoa, tetapi juga penonton dari kelas bawah. Sehingga film ini cukup sukses di pasaran.[2]
Respon penonton ketika melihat filem Si Tjonat muncul dalam adegan pembuka Terimalah Laguku. Sobari si tokoh utama, musisi miskin yang menceritakan pertemuannya dengan Iskandar, musisi yang ingin masuk RRI. Flashback bergulir. Sobari pernah mengajari Iskandar lewat praktek langsung ketika mereka mengiringi film bisu Si Tjonat semasa Hindia Belanda. Layar berganti kemudian pada adegan perkelahian. Menyusul penonton anak-anak mempraktekkan adegan perkelahian yang mereka lihat di depan layar, mengganggu berlangsungnya pemutaran filem.
Film Si Tjonat karya Nelson Wong memang tak diketahui keberadaannya. Upaya Djadoeg Djajakusuma untuk memfilemkan kembali secuplik adegan dalam si Tjonat ini menunjukkan sebuah penghormatan seorang sinefil pada film yang pernah ia tonton. Ia membagikan pengalamannya sekaligus memproduksi ulang adegan tersebut lewat ingatan personal.
Terimalah Laguku sendiri merupakan karya adaptasi dari cerita pendek Tiga Kawan dan Sebuah Lagu karangan Asrul Sani. Bertindak sebagai penggubah cerita adalah Gajus Siagian dan Basuki Resobowo. Dalam Terimalah Laguku, Sobari yang miskin akhirnya menjual alat musik kesayangannya untuk membantu Iskandar si pemain klarinet. Mereka berdua bersahabat dengan Ben, seorang gitaris dengan pekerjaan hanya menggoda perempuan dan meminjam uang pada musisi lain yang banting setir jadi karyawan. Iskandar tidak mengetahui bahwa modalnya untuk membeli klarinet baru adalah buah pengorbanan Sobari. Saat Iskandar berada di puncak karir, ia mulai meninggalkan kekasihnya untuk merasakan kehidupan musisi papan atas: membeli mobil baru dan berkasih-kasih dengan artis perempuan. Hingga akhirnya, para sahabat memberitahukan bahwa Iskandar harus berterima kasih pada Sobari. Untuk itu, Iskandar pun melakukan lobby pada Sjaiful Bachrie/ Syaiful Bachri pemimpin orkestra di RRI. [3]
Realisme Dalam Set Terimalah Laguku
Dalam artikel Basuki Resobowo as A Jack of All Trades, saya menunjukkan bagaimana realisme dalam seni rupa mempengaruhi gaya Basuki Resobowo selaku penata artistik film untuk membangun set. Sehingga ketika kita menyandingkan film Sayat Nova dan Terimalah Laguku, meskipun keduanya serupa, namun dua film ini berbeda perspektifnya. Tempelan kertas naskah (manuscript) dalam Sayat Nova, menurut Lev Manovich dalam Notes on Instragramisme terdorong oleh aspek bagaimana set mampu membawa desain yang puitis. Aspek puitika desain ini mempengaruhi artistik dari video klip K-Pop, misalnya bila kita melihat video BTS berjudul “Singularity”. Sedangkan dalam Terimalah Laguku, aspek yang menonjol adalah realisme, memindahkan apa yang memang ada di tahun 1950an sebagai strategi artistik, termasuk estetika rumah bambu sebagaimana yang terlihat dalam rumah Sobari.
Sebelum menjadi penata artistik film, Basuki Resobowo merupakan aktivis semasa pergerakan nasional sekaligus anggota PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Resbow, panggilan akrab Basuki Resobowo, berkarib dengan Sindoedarsono Sudjojono, Bapak Seni Lukis Modern Indonesia. Pada masa Hindia Belanda, PERSAGI berani memposisikan diri untuk tidak mengekor pelukis naturalis dan pelukis mooi indie semasa Belanda. Subjek lukisan Soedjono sebagai pentolan PERSAGI tidak lagi melukiskan perempuan-perempuan bangsawan maupun pemandangan alam. Misalnya saja dalam lukisannya, Di Depan Kelambu Terbuka (1939), Sudjojono justru melukiskan perempuan Pekerja Seks Komersil dengan postur canggung, didominasi warna kusam coklat tanah. Selain Sudjojono, kita juga bisa menilik lukisan Affandi berjudul Ibu Dalam Kamar (1944) yang menekankan realisme yang terlahir dari apa yang dilihat oleh seniman.
Dalam tulisan tahun 1946 berjudul Seni Lukis Indonesia Sekarang dan Yang Akan Datang, Sudjojono menegaskan munculnya generasi baru yang mampu berdiri sama dengan bangsa lain dan berani menegaskan, “Lihatlah begini kita.” Sudjojono kemudian menambahkan,
“Pelukis-pelukis baru ini tidak hanya akan melukis gubuk yang tenang dan gunung yang kebiru-biruan atau melukis sudut-sudut yang romantis atau schilderachtige en zoetzappinge onderwerpen2 saja, akan tetapi juga mereka menggambar pabrik-pabrik gula dan petani yang kurus, mobil orang-orang kaya dan pentolan si pemuda: sepatu, celana dan baju gaberdin pelancong di jalan aspal.”[4]
Sama halnya seperti Sudjojono, Basuki Resobowo terkenal dengan gaya hidup bohemian yang suka menyambangi rumah pelacuran di kawasan Senen. Namun Resbow sendiri akhirnya mampu bagaimana menerjemahkan realisme seni rupa itu ke dalam film. Bila kita membandingkan film Perfini awal, terutama saat Basuki Resobowo menjadi penata artistiknya, dengan film sebelum kemerdekaan maka kita akan melihat perbedaan yang signifikan. Memang rumah bambu adalah bentuk bangunan yang mendominasi Indonesia, saat beton dan semen belum mampu diraih oleh mayoritas penduduk Indonesia. Namun, Resbow sendiri akhirnya membawa estetika rumah bambu, ketika pemiliknya menambal dinding berlubang dengan artikel dari koran atau majalah. Dan estetika semacam ini berasal dari rumah bambu di kawasan pelacuran maupun rumah orang miskin – subjek matter untuk lukisan Sudjojono dan juga Resobowo.
Dalam Enam dan Djam di Djogja, Basuki Resobowo menempelkan poster perjuangan di dinding bambu para pejuang revolusi saat mereka bersiasat untuk aksi Serangan Umum 1 Maret 1949. Sedangkan dalam Terimalah Laguku, tempelan koran dalam rumah Sobari menjadi jalan untuk menegaskan bahwa karakter ini miskin namun cukup update dalam mengikuti berita. Hal ini jelas kontras dengan rumah Iskandar, di mana penonton bisa melihat lukisan pemandangan dan lukisan sosok perempuan di ruangan saat Iskandar, Ben, dan Sobari bercengkrama. Realisme semacam ini akhirnya semakin matang pada film Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954), saat Chalid Arifin, asisten Resbow untuk filem Kafedo, menerjemahkan estetika rumah pelacuran ke dalam set rumah Laila, perempuan penggoda yang bercita-cita bisa mencicipi rasanya menjadi perempuan modern.
Coda
Bagian terpenting dalam Terimalah Laguku bagi saya tentu saja saat film ini menaruh perhatian sehormat-hormatnya pada film bisu si Tjonat. Penonton, lewat pengalaman personal Djadoeg Djajakusuma dan kru film, bisa membayangkan antusiasme penonton semasa Hindia Belanda. Ia mampu melakukan pemanggungan ulang, memberikan gambaran pada penonton di masa sekarang yang kebanyakan membayangkan lewat tulisan Misbach Yusa Biran maupun Salim Said. Selain itu, dalam Terimalah Laguku, penonton bisa melihat upaya Basuki Resobowo selaku penata artistic untuk menerjamahkan realism dalam gerakan seni rupa Indonesia ke dalam film. Kemudian, yang belum saya singgung dalam artikel ini adalah upaya Djadoeg Djajakusuma untuk berpegang pada musik sebagai pendorong narasi dalam film bergerak, sebagaimana yang ia terapkan dalam film Harimau Tjampa (1953).
Terimalah Laguku (1953)
Indonesia pada tahun 1950-an ternyata memiliki siaran orkestra langsung dari Radio Republik Indonesia. Musisi muda Iskandar bercita-cita untuk bisa masuk sebagai pemain klarinet. Sahabat Iskandar, Sobari, musisi miskin yang juga menjadi penjual di pasar loak sengajar menjual alat musiknya sebagai modal. Sahabat Iskandar yang lain menyembunyikan fakta tersebut. Hingga mereka jengkel karena perubahan Iskandar yang akhirnya tersilap cahaya kemilauan ketenaran dan menjadi suka main perempuan. Sebagai permintaan maaf, akhirnya Iskandar membawa lagu gubahan Sobari supaya dimainkan oleh orkestra RRI.
Sutradara: Djadoeg Djajakusuma | Penulis naskah: Gajus Siagian dan Basuki Resobowo | Kamera: Max Tera | Produser: Suryo Sumanto, Rosihan Anwar | Penata Artistik: Basuki Resobowo | Editor: Sumardjono | Penata Musik: Syaiful Bachri | Penata Suara: Syawaluddin | Rumah Produksi: Perfini | Pemain: Rd. Ismail, Titi Savitri, Cassim Abbas, Sulastri, Marlia Hardi, Aedy Moward, Tofany | Genre: Drama Musikal
[1] Rosihan Anwar menulis bahwa Terimalah Laguku mendapat guntingan sensor pada adefan yang memperlihatkan suami yang takut terhadap istrinya dan ketika suami dengan halus menjewer kuping istrinya karena asyik mendengarkan nyanyian SAulius di Orkes Radio Jakarta. Rosihan Anwar juga menambahkan bahwa akibat dari pemotongan ini, produser lainnya menempuh jalan aman yakni mengajukan lakon yang tidak bisa digunting oleh sensor. Lihat: (Rosihan Anwar, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Volume 2 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, hlm. 63 – 64).
[2] Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film Di Jawa (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).
[3] Syaiful Bachri (Payakumbuh, 19 September 1924) merupakan musisi pemimpin Orkes Studio Jakarta (OSD) pada tahun 1950 hingga 1960. Selain itu, ia juga pembuat ilustrasi musik untuk beberapa produksi Perfini, Persari, Bintan Surabaya, dan Golden Arrow. Komposisi musik buatannya untuk Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956) menjadikannya sebagai peraih Piala Citra kedua pada tahun 1960 untuk kategori Tata Musik Terbaik. Biodata Syaiful Bachri: https://id.wikipedia.org/wiki/Saiful_Bahri
[4] Lihat tulisan Sudjojono pada link berikut