Big Village (1969) dari Usmar Ismail: Legitimasi Orde Baru di Masa Transisi

Usmar Ismail membuat Big Village (1969) atau Dusun Besar tepat di masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada momen ini, pemerintahan Orde Baru memang belum ‘turun gunung’ untuk secara resmi memberikan modal bagi pembuat film untuk menginternalisasikan nilai-nilai anti komunis dalam film. Selama masa transisi, Indonesia mulai membuka diri terhadap negara-negara non Tiongkok maupun Rusia. Jakarta berubah. Big Village menangkap perubahan tersebut lewat adegan dalam lokalisasi untuk prostitusi sekaligus semaraknya klub malam. Perubahan ini juga mengindikasikan tegangan antara nilai tradisi dan modernitas. Namun, pada akhirnya, moralitas individu kembali pada peran orang tua dalam mendidik anak.

Narasi Big Village

“Kalau orang luar ke Indonesia, pasti yang pertama kali ditanyakan adalah adakah klub malam.”

Bila Asrul Sani dalam Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1969) mengajak penonton untuk melihat kondisi di belakang layar, di balik gemerlapnya industri perfileman; maka dalam Big Village Usmar justru menunjukkan apa saja yang muncul selama masa transisi. Keluarga Partoyo menjadi jalan masuk untuk merekam urbanisasi dan kesenjangan kelas sosial antara yang kaya dan miskin.

Partoyo merupakan pengusaha sukses. Ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah nan sepi. Lewat sosok Partoyo, Big Village menunjukkan kehidupan seorang bos yang punya kuasa terhadap pegawai perempuannya. Selain itu, investasi asing yang mulai berkembang ditunjukkan lewat adegan jamuan dan makan malam. Sebagai Bapak, Partoyo memang abai dalam mengurusi rumah tangganya. Sehingga Ibu Partoyo menjadi semacam penjaga gawang, menjaga imaji rumah tangga sempurna lewat pesta perkawinan serta tindak-tanduk yang submisif. Bila Partoyo sibuk meeting dengan kolega atau mengejar karyawatinya, istrinya sibuk menjadi sosialita dan pegiat filantropi.

Hambar memang rumah tangga Pratoyo. Imbasnya, anak pertama Partoyo, Sonny, justru menjadi berandal dan jatuh ke dalam dunia hitam. Sonny yang mulanya merupakan pembalap liar jatuh hati pada seorang pelacur. Ia tinggal berhari-hari di rumah perempuan tersebut hingga akhirnya diperdaya oleh cukong. Sonny kalah dalam judi dan ia harus membayar hutangnya dengan bertindak sebagai sopir dalam usaha perampokan bank. Lewat sosok Sonny, Big Village merekam kehadiran lokalisasi dan upaya untuk menjadi kaya melalui jalan pintas.

“Dia mau gituan. Gua gak mao. Lalu gua ditinggal!” Lisa mengadu ke Sonny setelah ditinggal sendirian di pantai Ancol.

Terakhir adalah Lisa, si bungsu. Sebagai perempuan muda, mulanya ia harus menjaga kehormatannya. Namun, tipu daya dari penyanyi populer bernama Rey menjadikan Lisa tampak bucin. Dari groupies Rey, Lisa kemudian bermimpi untuk bisa membangun rumah tangga bersama penyanyi idolanya ini. Sayangnya, setelah Rey mendapatkan keperawanan Lisa, ia justru menjual perempuan muda ini. Lisa dijual untuk membayar hotel, tempatnya kawin lari. Pengalaman ini membuat Lisa menjadi dewasa. Ia mampu meyakinkan Ibu dan Bapaknya saat Sonny berani untuk maju ke pengadilan, bertanggung jawab atas perbuatannya.

Berdasarkan pengamatan, anak muda dibesarkan tanpa hal penting yakni kasih sayang dari orangtuanya…  Kita semua sudah setuju bahwa kita akan membangun sebuah Orde Baru. Suatu Orde demokrasi yang memungkinkan masyarakat negara kita untuk bebas memilih jalan hidupnya masing-masing. Sesuai dengan cita-cita untuk membina masyarakat yang adil dan makmur atas dasar Pancasila.

Hakim Rosihan Anwar dalam Vig Village (1969).
Big Village
Poster Big Village. Arsip Sinematek Indonesia. Dokumentasi oleh Harry Hariawan @ bung_harry
Gaya Usmar Ismail dalam Big Village

Menilik karya Usmar sebelumnya seperti Lewat Djam Malam, Asrama Dara, dan Tiga Dara, musik dan pesta tampaknya menjadi satu paket untuk mendorong cerita bergerak. Dalam Lewat Djam Malam yang merekam situasi paska Perang Revolusi 1945 – 1949, Usmar memperlihatkan bahwa pesta menjadi bagian untuk menunjukkan status karakter, orang kaya baru di Orde Lama tepatnya. Dalam Big Village, pesta bukan lagi milik personal tetapi ia ditunjukkan dengan gamblang lewat adegan di dalam pub dan bar. Sosok Sonny dan Lisa, selaku anak muda dalam cerita ini akan membawa penonton pada kemeriahan pesta di malam hari lewat musik populer oleh Koes Hendratmo sebagai Rey dan penampilan band perempuan (kemungkinan Dara Puspita).

Selain itu, dalam Big Village, saya juga menemukan gaya Usmar Ismail yang cenderung untuk menerapkan pemanggungan teater dalam film. (Baca artikel tentang Harta Karoen dan Tjitra). Semangat Neorealisme Italia yang menginspirasi pembuatan Darah dan Doa serta Enam Djam di Djogja, juga hadir dalam Big Village. Pengambilan gambar di jalanan memungkinkan Usmar merekam perubahan lanskap kota Jakarta sekaligus kontras perumahan yang kaya dan yang miskin. Selain itu, kecenderungan gerak kamera dari Max Tera, penggunaan tracking shot dari long-shot hingga medium untuk merekam karakter berdialog, juga masih diterapkan. Usmar memang jarang menggunakan close-up, sehingga untuk memahami film, saya harus mencermati dialog yang diucapkan oleh karakter.

Usmar sendiri bukanlah sutradara yang cermat untuk memasukkan simbolisasi melalui objek dalam frame. Ia condong untuk mengungkapkan makna film melalui pengadeganan dan penggunaan dialog. Usmar Ismail tidak seperti Nawi Ismail yang memang sudah kuat memiliki basic penceritaan, menerjemahkan naskah ke dalam bahasa gambar. Sehingga dalam Big Village, Usmar hanya bermain-main dengan kostum untuk memperkuat karakterisasi. Misalnya Ibu Partoyo, selalu mengenakan kebaya sebagai simbol perempuan tradisional yang mempertahankan rumah tangganya, memaafkan kelakuan anaknya, dan rela berkorban. Sedangkan karakter lain, terutama yang bersitegang dengan nilai tradisi dan modernitas, untuk perempuannya lebih banyak mengenakan dress. Hal ini sama seperti dalam film Asrama Dara ataupun Tiga Dara. Dalam kedua film ini, Chitra Dewi sebagai sosok perempuan yang tradisional nan ideal, pasti akan mengenakan kebaya untuk menunjukkan citra sebagai perempuan Indonesia.

Srihadi Soedarsono
Lukisan “Air Mancar” karya Srihadi Soedarsono. sumber foto: hot.detik
Big Village dan Ali Sadikin

Mengutip halaman dari Kompas, Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta dari tahun 1966 hingga 1977. Capaian Ali Sadikin meliputi peresmian Bina Ria Ancol tahun 1968, Peresmian Taman Ismail Marzuki tahun 1968, pembangunan terminal oplet dan terminal lainnya, pendirian pusat perbelanjaan seperti Pasar melawai Blok M, Pasar Jatinegara, Pasar Grogol. Terpenting, Ali Sadikin juga menyediakan sarana hiburan untuk masyarakat, termasuk dengan mulusnya pembangunan klub malam.

Usmar Ismail yang terkenal juga sebagai bagian dari Partai Nahdatul Ulama juga menyambut perubahan besar selama Ali Sadikin. Ia mendirikan klub malam Miraca pada tahun 1966. Mengutip halaman Historia, Miraca mendapatkan pijakan legal di atas SK Gubernur DKI Jakarta tahun 1969, tahun yang sama saat Big Village diluncurkan. Dalih Usmar mendirikan klub malam adalah untuk membiayai produksi film-filmnya.

Kedekatan ini tidak hanya menyasar pada legalisasi klub malam milik Usmar Ismail, tetapi juga munculnya  Ali Sadikin sebagai cameo dalam Big Village. Ali Sadikin muncul saat Ibu Partoyo datang ke sekolah Sonny. Kamera merekam Ali Sadikin saat mengguncang-ngguncangkan meja kemudian berkata bahwa ia akan memperbaiki sekolah. Setelah itu, murid-murid menyambut Ali Sadikin dengan sumringah. Adegan ini mengingatkan saya pada framing media saat politisi maupun pejabat turun ke lapangan, membantu masyarakat kurang mampu atau melihat kondisi di kawasan yang bermasalah. Bila saat ini media seperti televisi, vlog, dan cuitan menjadi bagian dari pencitraan para pejabat, maka sebelum televisi available untuk masyarakat luas, film menjadi alat pencitraan aparatur negara.

Nama Ali Sadikin juga beberapa kali keluar melalui dialog. Misalnya saat topik pembicaraan mengarah pada capaian Ali Sadikin yang telah membangun halte teduh. Setelah percakapan ini, kamera kemudian merekam perjalanan Lisa yang turun dari bis dan menyinggahi halte yang teduh tersebut. Tempat perbelanjaan juga menjadi latar dalam Big Village. Misalnya dalam adegan saat Lisa menemani Ibu Partoyo berbelanja, Lisa justru bermain kejar-kejaran dengan Rey. Kamera melintasi satu eskalator ke eskalator lain, menangkap sepasang muda-mudi yang bercengkrama di pusat perbelanjaan modern. Selain itu, penonton juga bisa melihat Monumen Nasional dan Patung Selamat Datang karya Henk Ngantung dan Edhi Sunarso beberapa kali muncul dalam film sebagai cara untuk menunjukkan wajah baru Jakarta.  Ada pula shot jalanan M.H. Thamrin yang padat mobil. Bangunan ikonik seperti Masjid Istiqlal juga dimunculkan.

Coda

Bila Big Village diniatkan sebagai sebuah sketsa atas keluarga kaya yang masih memiliki sifat seperti orang dusun, rasanya kritik ini masih terasa malu-malu. Usmar Ismail selaku penulis naskah sekaligus sutradara Big Village tidak menutupi kecenderungan Indonesia yang mulai bergerak untuk dekat dengan negara Barat paska meletusnya peristiwa 1965. Ia justru terbuka dengan proyek seperti lokalisasi untuk prostitusi ataupun kehadiran klub malam. Terpuruknya nasib keluarga Pratoyo yang mengalami perubahan di kota urban justru terletak pada ketidakmampuan individual untuk memperkuat nilai-nilai “luhur”. Sehingga dalam persidangan, sosok keluarga Pratoyo menjadi pembelajaran bagi seluruh masyarakat Indonesia: boleh merangkul modernitas dan era yang terbuka, tetapi harus kembali menilik nilai-nilai tradisional.

Big Village (1969)

Keluarga Partoyo masih canggung menghadapi perubahan di Jakarta. Seorang jurnalis yang dendam terhadap Bapak Partoyo berusaha menguliti kisah nelangsa keluarga ini, mulai dari penangkapan Sonny hingga skandal dekatnya Lisa dengan Rey si penyanyi populer. Film ini berakhir di adegan persidangan, ketika Hakim menegaskan bahwa keluarga menjadi filter masuknya nilai-nilai kurang baik di masyarakat.

Sutradara, cerita, dan penulis naskah: Usmar Ismail | Sinematografi: Max Tera | Editor: Soemardjono | Musik: Mus Mualim | Pemain: Rachmat Hidayat, Alice Iskak, Dicky Zulkarnaen, Ferry Irawan, Galeb Husein, Koes Hendratmo, Menzano, MS Derita, Mieke Wijaya, Rachmat Kartolo, Rima Melati, Rosihan Anwar, Sukarno M. Noor, Syamsul Fuad, Tini Martini | Genre: Drama | Produksi: Perfini, Pemda DKI Jakarta, Sarinah

Leave a Reply