Sebelum Usmar Ismail belajar ke Amerika, ia sempat menyutradarai filem Dosa Tak Berampun (1951). Filem ini merupakan adaptasi dari drama satu babak karangan Kikuchi Kan (1888 – 1948) berjudul Chichi Kaeru atau Father Returns. Usmar Ismail mengadaptasi drama ini saat ia bekerja di Keimin Bunka Shidoso. (Lihat biografi Kikuchi Kan)
Cerita Dosa Tak Berampun
Tokoh utama filem kita ini bernama Gunarto. Pemuda ini menjadi bapak pengganti, bekerja membanting tulang untuk menghidupi Ibu dan dua adiknya. Keluarga Gunarto mulanya tinggal di kawasan elit. Saat Ayah Gunarto meninggalkan keluarga, menghamburkan uang untuk pacarnya yang cantik, keluarga Gunarto musti pindah ke kawasan padat penduduk.
Adik perempuan Gunarto, Mintarsih, selalu menanyakan keberadaan Sang Ayah. Pertanyaan-pertanyaan Mintarsih dan kelembutan hati Ibu yang masih menanti Sang Ayah membuat Gunarto gamang. Gunarto tidak bisa menikahi pacarnya, merasa harus menjaga keluarga. Namun di sisi lain, ia marah karena keluarga tidak menganggap jerih payahnya.
Saat Mintarsih membawa pulang orang tua lusuh ke rumah, Sang Ibu terkejut. Ia tak menyangka bahwa orang tua tersebut adalah Sang Ayah yang ingin bertobat setelah gagal membina hubungan dengan pacarnya. Melihat kehadiran Ayah, Gunarto marah. Ia menceritakan dosa besar ayahnya: meninggalkan Ibu yang hamil tua, berjudi, hingga memaksa Gunarto menjadi dewasa lebih cepat. Ibu dan kedua adik Gunarto mampu memaafkan Sang Ayah. Hati Gunarto yang telah beku membuat Ayah sadar bahwa ia tak bisa mendapatkan maaf. Sang Ayah bunuh diri menjelang malam Lebaran. Adegan kemudian ditutup dengan Gunarto yang teralienasi dari masyarakatnya, memandang lautan lepas layaknya ending The 400 Blows (Francois Truffaut, 1959).



Beberapa Catatan Untuk Dosa Tak Berampun
Kritik cukup keras diungkapkan oleh sastrawan Muhammad Salim Balfas (1922 – 1975). Dalam tulisannya yang berjudul “Filem Dosa Tak Berampun” terbit di majalah Zenith, M. Balfas mengungkapkan kekagokan sinematografi dan bahasa filemis. M. Balfas menggunakan istilah “kamera yang lumpuh” untuk mengutarakan kegagalan penerjemahan teks ke dalam visual dan editing. Selain itu, M. Balfas juga menegaskan bahwa Usmar Ismail gagal mengolah tragedi dari sudut pandang Gunarto. Bunuh diri dalam Dosa Tak Berampun terlihat seperti keputusan yang terburu-buru. Lebih jauh, M. Balfas juga mengatakan,
“Tetapi kepaduan ini tidak mudah dicapai dalam filem. Apa yang dalam sandiwara sudah cukup dengan kata-kata saja, dalam filem harus diceritakan dengan lukisan. Dengan begitu, segala kekurangan dalam cerita sandiwara yang tidak begitu terlihat, dalam filem justru terlihat dengan jelas.”
M. Balfas, Madjalah Zenith, No 11, Tahun I, November 1951, halaman 678-682, link tulisan
Penekanan pada perbedaan antara menyutradarai sandiwara dan filem yang dikemukakan oleh M. Balfas ini cukup menarik. Kritik ini sudah menyasar pada kurangnya aspek visual dalam karya Usmar Ismail. Sutradara kelahiran Bukittinggi ini tampaknya memang lebih fasih menyutradarai sandiwara panggung. Film ketiganya memang kurang menonjolkan aspek sinematografi karena pergerakan kameranya hanya mengikuti aktor yang berakting layaknya berada dalam panggung. Sama seperti tanggapan saya untuk filem Harta Karun dan Citra, film Usmar Ismail baru terpaku pada aspek pengadeganan – belum pada penerjemahan teks tertulis ke dalam bahasa visual.
Latar belakang Usmar Ismail selaku penulis naskah sendiri bisa dilacak sejak ia bergabung dalam Keimin Bunka Shidoso. Menurut catatan Ajip Rosidi dalam Ikhtiar Sastera Indonesia, selain menyadur Chichi Kaeru, Usmar Ismail cukup aktif menulis naskah seperti Mutiara di Nusa Laut, Liburan Seniman, Api, Citra, Mekar Melati, dan Tempat Yang Kosong. Usmar memanggungkan naskah drama ini saat ia membentuk Sandiwara Penggemar Maya. (Lebih jauh tentang Sandiwara Penggemar Maya bisa dibaca di link berikut).
Meskipun Usmar Ismail dalam penggarapannya telah mendapat dukungan dari Basuki Resobowo, seniman LEKRA dan aktivis selama pergerakan nasional, namun hal itu tidak didukung oleh aspek teknis lainnya. Dalam Dosa Tak Berampun, Basuki Resobowo lebih berperan untuk intensifying efek dramatis melalui set dan pencahayaan. Karakter Gunarto yang ragu-ragu sekaligus sinis, diterjemahkan dengan penggunaan cahaya yang hanya jatuh pada satu sisi wajah si aktor layaknya cahaya dalam film noir. Kemudian untuk antagonis Ayah Gunarto, lampu menyorot dari bawah. Sayangnya set dan tata lampu ini belum terakomodir dengan baik, entah lewat pilihan shot Usmar Ismail atau kemampuan kamera dari Max Tera. Hal ini justru berbanding terbalik dengan Citra, saat AA Denninghoff-Stelling bertindak selaku sinematografer. Citra, meski tidak diaku Usmar sebagai filem awalnya, justru bisa membawa efek dramatis dan melankolis tokoh dengan baik lewat bahasa visual dan teknis editing.
Coda
Dosa Tak Berampun memang bukan film Usmar Ismail yang terbaik. Namun karya ini sebenarnya bisa diolah lebih lanjut bila Usmar bisa mengeksplorasi aspek alienasi Gunarto selaku tokoh utama dalam cerita. Setelah Dosa Tak Berampun, nantinya Usmar menerjemahkan naskah buatannya semasa bekerja di Keimin Bunka Shidoso ke dalam filem Liburan Seniman (1965).
Dosa Tak Berampun (1951)
Sutradara, Produser, dan Penata Skrip: Usmar Ismail | Penata Kamera: Max Tera | Cerita: Kikuchi Kan | Penata Artistik: Basuki Resobowo | Penyuntingan: Soemardjono, Roekmi | Penata Musik: Paul Latuperissa | Editor Suara: B. Saltzman, Sjawal | Pemeran: Rd. Ismail, AN Alcaff, Awal, Cassim Abbas, Laksmi, Titi Savitri, Ismono, Eva Miranda, Budhi Darmawan, Eka Budhaya | Produksi: Perfini | Genre: Drama