Djadoeg Djajakusuma Mengeksplorasi Tradisi dan Wonosari dalam Filem Embun (1951)

Sebelum menyutradarai Embun (1951), setidaknya Djadoeg Djajakusma telah berproses pada tiga film awal Perfini. Ia menjadi asisten Usmar Ismail dalam film nasional pertama, Darah dan Doa (1950). Kemudian dalam Enam Djam di Djogja (1950), Djadoeg Djajakusuma menjadi peneliti untuk mengumpulkan testimoni para pejuang Perang Revolusi 1945 – 1949. Sedangkan dalam karya ketiga Usmar Ismail, Dosa Tak Berampun (1951), Djadoeg Djajakusuma bertindak sebagai penata naskah.

Embun sebagai film perdana menjadi bagian awal dari sutradara kelahiran Parakan tahun 1918 ini untuk mengeksplorasi seni tradisi ke dalam sinema Indonesia. Hal ini terkait dengan latar belakang Djadoeg Djajakusuma yang lebih mengakrabi pertunjukan panggung seperti wayang dan tari tayub. Keakraban dengan tarian tradisional dan upacara adat di kawasan Jawa Tengah inilah yang membuat Embun cukup berbeda dengan karya Perfini yang lain. Djadoeg Djajakusuma memasukkan unsur upacara adat yakni upacara meminta hujan dan tari-tarian ke dalam frame. Sayangnya, eksplorasi awal Djadoeg Djajakusuma ini tidak mendapat sambutan dari publik. Menurut Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia, Embun dianggap menonjolkan unsur animistik sehingga tidak sesuai dengan modernitas yang dicita-citakan Indonesia. Unsur animistik ini, sejauh yang saya lihat dalam film Embun, tentunya menyasar pada ritual, saat adegan masyarakat berkumpul di sebuah tempat lapang dan meminta hujan pada langit.

Biografi Djadoeg Djajakusuma

Wonosari Sebagai Lokasi: Embun dan Jiwa Bekas Pejuang Yang Kering

Kisah bekas pejuang revokusi yang harus bernegosiasi dengan kondisi masyarakat paska perang memang lazim hadir dalam film 1950-an awal. Embun sendiri berkisah tentang Leman (A.N. Alcaff) dalam proses pelarian. Ia tanpa sengaja menembak bekas pejuang kaya, saat Barjo (Rd. Ismail) membujuknya merampok untuk kepentingan perjuangan yang lain. Leman lari ke kota selama beberapa tahun. Sekembalinya ke kampung halaman, ia ingin hidup tenang. Namun ia mendapati ternyata Barjo sedang mencalonkan diri sebagai pejabat dan meminta suara masyarakat di kampungnya. Selain itu, Barjo juga membuka tempat judi dan menjerumuskan kakak Leman sebagai pelacur. Barjo menjebak Leman yang gagal bertani dan berternak dengan ancaman bahwa pembunuhan tanpa sengaja itu akan tersebar. Leman pun terpaksa menjadi supir, rupanya membawa senjata yang akan dipakai untuk merampok desa. Setelah aksi Barjo ketahuan, Leman dan Barjo kemudian bertarung antara hidup atau mati di atas bukit.

Tentang Perfini

Sebagai anak kelahiran Gunungkidul, melihat Embun adalah pengalaman tersendiri bagi saya. Sekarang ini, memang banyak film Indonesia yang mengambil lokasi di kawasan pegunungan seribu. Misalnya saja Kucumbu Tubuh Indahku (Garin Nugroho, 2018), Ziarah (B.W. Purba Negara, 2016), Floating Chopin (Wregas Bhanuteja, 2016), film dokumenter Pulejajar (Khusnul Khitam, 2020) dan yang terbaru ada Gerajak produksi agterplass tahun 2020. Gunungkidul pada satu sisi terkenal dengan wisata pantai dan wisata alamnya. Namun di satu sisi, ia tak lepas dari sejarah kelam 1965 dan lingkungan depresif yang menyebabkan melonjaknya tingkat bunuh diri karena kemiskinan struktural. Gap akses pendidikan maupun kultural yang dirasa oleh orang tua saya dua puluh tahun silam, membuat kami sekeluarga berpindah ke Sleman. Sehingga ketika saya melihat image Gunungkidul pada masa lampau dalam film Embun, perasaan saya bergejolak.

Baca Review Kucumbu Tubuh Indahku

Tidak seperti beberapa judul film yang telah saya sebutkan di atas, ketika lokasi shooting menjadi bagian dari pencarian keindahan gambar (maksud saya, Gunungkidul ya beauty as it is! Kamu naruh kamera, otomatis gambarnya akan wow!!!), Embun justru mengeksplorasi hal-hal yang tak pernah dimunculkan dalam lanskap film Indonesia pada periode tahun 1950-an. Keakraban tubuh saya dengan lanskap Gunungkidul bertemu dengan gambar-gambar Embun. Film ini mampu membawa memori saya untuk menyusuri kembali danau yang hanya terisi saat musim hujan, kebun-kebun ketela, tanahnya yang menggumpal keringsusah untuk menjadi media tanam, dan tentu perbukitan batu. Secara personal, saya menyukai tiap gambar outdoor dalam film Embun. Saat Leman dan Ira berusaha menanami ladang tandus, saya teringat upaya Simbah Kakung menanami tanah depan rumahnya dengan padi. Kemudian, tubuh-tubuh modern seperti teralienasi dalam kungkungan bentangan alam. Adapula adegan tembak-menembak di atas bukit. Hingga shot sederhana, sapi minum di tepi danau. Djadoeg Djajakusuma tidak hanya mengambil lanskap Gunungkidul sebagai lokasi, tetapi ia mampu menampilkannya sebagai sesuatu yang magis dalam sinema.

Soemardjono selaku penata artistik dan editor film Embun mengungkapkan bahwa Wonosari yang tandus menjadi pilihan lokasi shooting karena ia bisa menjadi lambang jiwa Leman, si anti-hero, yang gersang.[1] Usmar Ismail merupakan penggagas cerita Embun. Namun, saat Usmar musti ke Amerika untuk belajar penulisan naskah film, cerita kemudian digubah oleh Djadoeg Djajakusuma, Basuki Resobowo, dan Gajus Siagian. Karakter Leman sendiri mirip dengan karakter Iskandar dalam Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954). Para pria bekas pejuang ini berusaha kembali untuk kembali ke masyarakat. Bedanya, cerita Embun berakhir saat Leman mampu menemukan kembali oase kehidupan, setelah ia terseok-seok memantaskan diri untuk bisa kembali ke masyarakat dan membuktikan bahwa ia mampu mengatasi kejahatan Barjo.

Strategi Djadoeg Djajakusuma dalam Embun

Semangat Neorealisme Italia yang mendasari produksi Perfini tampaknya lebih merasuk ke dalam produksi Embun. Djadoeg Djajakusuma cukup berani untuk lebih banyak mengambil lokasi di luar ruangan. Ia mengambil adegan meminta hujan, gambar lanskap pegunungan sewu, dan menjadikan film ini tampak nyata (dan tentunya dekat dengan saya, anak yang lahir di Gunungkidul). Adegan saat Leman mengejar kakak perempuannya, mengingatkan saya pada adegan Journey to Italy (Roberto Rossellini, 1954), saat Alex dan Khaterine Joyce terjebak dalam ritual untuk Santo Gennaro di Naples. Selain itu, Djajakusuma juga detil dan jeli untuk menangkap wajah orang-orang yang mengikuti prosesi ritual meminta hujan. Adegan semacam ini membawa saya mengawang, mencari apakah ada nenek moyang atau saudara saya yang sempat terekam oleh kamera yang dioperatori oleh Max Tera. Embun juga membawa saya untuk menyatakan, “O… begini ya, rupa Gunungkidul di tahun 1950-an”.

Djadoeg Djajakusuma menyatakan bahwa 90% produksi film Embun berada di luar ruangan, bukan studio film. [2] Hal ini terkait dengan kendala teknis Perfini yang saat itu hanya memiliki kamera Akeley tua: baik untuk pengambilan gambar eksterior, namun minus dalam perekaman suara. Sehingga untuk menambal adegan dengan dialog, Djajakusuma meminjam studio PFN untuk perekaman suara sekaligus proses editing. Untuk membuat kontinuitas adegan, jelas penata artistik harus bekerja ekstra memastikan gambar yang diambil di luar ruangan dan dalam ruangan harus sama. Darah dan Doa, dengan Basuki Resobowo selaku penata artistiknya telah membuat formulasi bagaimana menyamakan setting adegan, yakni dengan melukis lanskap yang sama di studio.

Misalnya dalam adegan Leman dan Barjo mengobrol di saung. Kamera menangkap pertemuan musuh bebuyutan tersebut secara long shot, perlahan medium shot, lalu akan terasa ketika gambar semakin close-up dan kedua karakter mulai mengobrol, ruangan terlihat berbeda. Saat para karakter mengucapkan dialognya, maka ruangan seperti dibatasi oleh dinding tipis berlukiskan pemandangan serupa dengan adegan sebelumnya. Untuk adegan dengan setting di dalam rumah, kemungkinan besar juga diambil di dalam studio karena luasnya area yang masuk dalam frame terkesan berbeda dibandingkan dengan rumah bambu di Gunungkidul yang memang memiliki space lenggang.

Meskipun Djajakusuma menerapkan formulasi Perfini dalam memproduksi film, namun ada bagian yang menunjukkan signature si sutradara. Tidak hanya pemilihan lokasi sebagai simbolisasi psikologis karakter, Djajakusuma juga mengambil shot seorang penari. Ketika Leman mengejar kakak perempuannya, ia sebenarnya dikelilingi oleh penduduk yang sedang menonton serangkaian upacara dan juga pertunjukan tari yang dilakukan secara kolektif. Namun, dalam adegan pengejaran tersebut, tiba-tiba gambar beralih ke sebuah ruangan dengan seorang penari tunggal menggunakan topeng. Kepalanya maju dan mundur, merespon kamera yang merekamnya. Adegan si penari topeng ini bisa dilihat sebagai cara untuk menyampaikan perasaan terteror, atau mengintensitaskan perasaan Leman yang harus berhadapan dengan kakaknya yang menjadi pelacur.

Coda

Embun sebagai karya pertama Djadoeg Djajakusma memang mengikuti formula Perfini, baik dalam segi penceritaan tentang bekas pejuang Perang Revolusi dan juga negosiasi teknis. Selain itu, semangat Neorealisme Italia yang mendorong produksi Perfini tercermin pula lewat upaya Djajakusuma untuk lebih banyak mengambil shot di luar ruangan. Meskipun demikian, Djajakusuma lebih berani untuk mengeksplorasi hal lain di luar Perfini. Ia justru menunjukkan signature lewat pengambilan adegan berkaitan dengan tradisi dan ritual animistik, walaupun hal itu berimbas pada dilarangnya film ini beredar lebih jauh karena tidak sesuai dengan cita-cita modernitas Indonesia yang baru seumur jagung.  

Djadoeg Djajakusuma Embun
Djadoeg Djajakusuma Embun
Djadoeg Djajakusuma Embun
Embun (1951)

Sutradara: Djadoeg Djajakusuma | Produser: Surjo Sumanto | Cerita: Usmar Ismail | Penata Script: Djadoeg Djajakusuma, Basuki Resobowo, Gajus Siagian | Penata Artistik dan Editor: Soemardjono | Kamera: Max Tera | Rumah Produksi: Perfini | Penata Musik: GRW Sinsu | Penata Suara: Bob Saltzman, Sjawaludin | Pemain: Rd Ismail, AN Alcaff, Titi Savitri, Aedy Moward, Iskandar Sucarno, Cassim Abbas, Muljono, D. Arifin, Hardjo Muljo, Hamidy T Djamil, Rasmina, dan penduduk Gunungkidul | Genre: Drama


[1] Djadoeg Djajakusuma et al., D. Djajakusuma: Memandang Film & Seni Tradisi, ed. Aryo Sasongko and Marselli Sumarno (Jakarta: IKJ Press, 2018), hlm. 35.

[2] Djadoeg Djajakusuma et al., D. Djajakusuma: Memandang Film & Seni Tradisi, ed. Aryo Sasongko and Marselli Sumarno (Jakarta: IKJ Press, 2018), hlm.25.

Leave a Reply