I
Apakah kamu rindu Orde Baru?
II
Beberapa tahun belakangan, produksi film dengan embel-embel ‘remake’ dan ‘reborn’ meningkat. Pilihannya dibuat berdasarkan tingkat kelarisan film yang hendak diangkat. Kebanyakan mengambil karya lama dari tahun 1970-an dan 1980-an. Kecurigaan saya, apakah model demikian memberikan kemudahan bagi pembuat film dan produser? Membuat film dari karya yang mendapatkan apresiasi pada era sebelumnya memang bisa menimbulkan harapan. Pertama, ia dapat merangkul penonton dari generasi sekarang dan generasi lebih tua karena bisa memberikan imaji nostalgia. Kedua, formula pembuatannya sudah ada: jelas sukses, pembuat film sekarang tinggal melanjutkannya. Tentu kecurigaan yang demikian harus diperkuat dengan penelitian teks lebih mendalam untuk mencari tahu apa saja yang diambil dari film-film zaman dahulu. Penelitian yang menyasar pada penonton juga perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kesan mengalami/mengetahui masa lampau sampai pada mereka.
III
Hilman Mutasi dengan jujur mengakui bahwa ia terinspirasi dari Warkop DKI Reborn (Anggy Umbara, 2016). Formula film ini memang menggiurkan. “Hanya” dengan memilah-milah gambar dan adegan dari film Warkop terdahulu kemudian dipoles dengan sentuhan kekinian, film ini meledak di pasaran. Pembuatnya tidak perlu repot untuk mendekati kelampauan, membuat properti yang menyiratkan situasi 1980-an. Untuk itulah Hilman mengangkat kisah Pancaran Sinar Petromak, grup musik yang juga dekat dengan kelompok Dono-Kasino-Indro (dan Nanu) ke dalam PSP Gaya Mahasiswa. Tak tanggung-tanggung, Hilman juga mengakui bahwa film ini merupakan, “penerjemahan ulang film Manis-manis Sombong (Eduard P. Sirait, 1981) dengan konsep kekinian”.[1]
Pancaran Sinar Petromak lahir semasa Orde Baru bersamaan dengan memanasnya gerakan mahasiswa pada tahun 1977/1978.[2] Anggota OM (singkatan Orkes Moral sebagai bentuk ketidaksetujuan pada Orkes Melayu) PSP merupakan anak-anak Universitas Indonesia. Lirik-liriknya jenaka, bahkan mereka juga membuat plesetan lagu The Beatles ‘My Bonnies’ ke dalam lagu berjudul ‘My Bonnie’. Lirik-lirik PSP akan lebih terbaca kritiknya bila didudukkan dengan konteks situasi politik semasa Orde Baru. Anggota PSP diantaranya: de Anwar (gendang I, vokal), Monos (gitar, vokal), Omen (okulele, vokal), Rozali Indrakesumah (mandolin, vokal), Dindin (tamborin), Aditya (gendang II), Andra Ramadan Muluk (marakas), James R Lapian (bas). Selain bermain musik, OM PSP juga main dalam beberapa film seperti: Koboi Sutra Ungu (Nya Abbas Akup, 1980) dan Orang-orang Sinting (Nawi Ismail, 1981).
Baca Lebih Lanjut tentang Film Nawi dilihat dari Konsep Tatapan (Gaze) Psikoanalisa Lacanian
Sebenarnya sah-sah saja bila keinginan membuat film remake itu muncul. Namun, menurut saya, ia akan bermasalah bila melupakan konteksnya. Proses reduksi habis-habisan akan membuat konten berubah, terutama untuk film komedi. Ini seperti menetralisir situasi sosial dan politik di suatu masa, memberikan fantasi bahwa kelampauan itu baik-baik saja minim pergolakan. Kemudian, memahami komedi seperti melihat adanya bekuan. Yang dianggap lucu di masa lampau, belum tentu mengundang tawa saat ini. Sedangkan pada masa Orde Baru, jenis komedi yang beredar di scene film adalah komedi kritik, mengandaikan penguasa atau pembentuk tatanan simbolik sebagai yang timpang (lack). [3] Ketika penonton tertawa, pada saat yang bersamaan ia mampu menertawakan negara yang ternyata tidak bisa memberikan apa yang diinginkan oleh rakyatnya. Film yang diproduksi oleh Nawi Ismail misalnya, secara sadar mengutarakan kritiknya terhadap pembangunan yang membuat orang-orang Betawi hengkang dari tanah kelahirannya.
IV
Terlepas dari kurangnya kesinambungan cerita dan hilangnya konteks sejarah yang melahirkan PSP, Hilman Mutasi dan pembuat film PSP Gaya Mahasiswa tampaknya harus belajar lagi mengedit film. Secara keseluruhan, jalinan gambarnya kasar. Pergantian latar suara kurang nyaman. Bahkan sudah teraba bahwa penggunaan latar suara, saat Hilman sama sekali tidak menyajikan momen tenang dalam filmnya, digunakan untuk menyokong pengambilan gambar yang ala kadarnya. Untungnya, performa pemain PSP yang didominasi oleh komika Indonesia cukup bisa menyelamatkan film. Setidaknya kehadiran komika mampu menylamur kegagalan pembuat film dalam mengambil gambar.
V
Selain itu, saya juga ingin menggarisbawahi bahwa ternyata komedi Indonesia memang didominasi oleh laki-laki. Candaan yang tercetus dari para pemain PSP Gaya Mahasiswa lebih banyak berisi mengenai penaklukan perempuan. Ketika saya sebagai perempuan menertawakan gurauan receh dari komika yang kesemuanya laki-laki dalam film ini, apakah itu artinya ideologi patriarki sedang menyapa saya? Mengapa saya susah sekali tertawa, semisal ketika dua komika lelaki dan perempuan dalam film Milly & Mamet berdebat mengenai ‘mojito’ dan ‘mo minum’? Apakah saya sebenarnya sedang menertawakan tragedi, ketika perempuan dalam film identik dengan ‘harus ditaklukkan’ bahkan di era #metoo ini?
Baca Tentang Tidak Ada Komedi dalam Milly & Mamet
V
Apakah kamu masih merindukan Orde Baru dan menanti film remake yang mampu membius massa pada zamannya?
PSP Gaya Mahasiswa (2019)
Setelah bos cafe lebih memilih musik EDM, OM PSP kebingungan mencari sumber uang dan senang-senang dalam bermusik. Seharusnya mereka fokus saja mencari tempat manggung. Tetapi kehadiran taruhan mencari perempuan membuat anggota mereka meributkan Fatimah si induk semang dan hal-hal remeh lainnya. Hingga akhirnya mereka manggung di kampus, demi kesembuhan Euis si anak satpam Universitas Indonesiaku. Om PSP keluar sebagai pahlawan, selamat dari ancaman Drop Out. Ceritanya memang meloncat-loncat seperti tidak memiliki pijakan.
Sutradara: Hilman Mutasi | Penulis: Hilman Mutasi, Yanto Prawoto, Baskoro Adi | Pemeran: Uus, Adjis Doaibu, David Schaap, Dimas Danang, Imam Darto, Abdur Arsyad, Boris Bokir, Wira Nagara | Genre: Komedi | Durasi: 96 menit | Rumah Produksi: Max Pictures
[1] Paramaesti, Chitra . 2019. “Film PSP Gaya Mahasiswa, Terinspirasi Warkop DKI”. Sumber: https://seleb.tempo.co/read/1169272/film-psp-gaya-mahasiswa-terinspirasi-warkop-dki (diakses pada 7 Februari 2019)
[2] Baca sekilas mengenai pergolakan mahasiswa pada tahun 1977/1978 di beberapa artikel berikut: 1) Sitompul Maria. 2018. “Mahasiswa Ingin Ganti Presiden, Tentara Duduki Kampus”. Sumber: https://historia.id/politik/articles/mahasiswa-ingin-ganti-presiden-tentara-duduki-kampus-P94Qq ;2) Firdausi, Fadrik Aziz Firdausi. 2018. “Riwayat Gerakan Mahasiswa: Dari Dema hingga BEM”. Sumber: https://tirto.id/riwayat-gerakan-mahasiswa-dari-dema-hingga-bem-cEpd . (Diakses pada 7 Februari 2019)
[3] McGowan, Todd. 2016. “The Barriers to a Critical Comedy”. Sumber: http://www.academia.edu/33209536/The_Barriers_to_a_Critical_Comedy Halaman 212 (diakses pada 10 April 2018)
Setuju banget Mba. Agak kecewa dan menyayangkan juga sih kok nama PSP jadi seolah2 asal catut aja. Saya penonton Manis-Manis Sombong, Rayuan Gombal dan Orang-Orang Sinting, jadi sedikit banyak cukup familiar dengan karakter personil OM PSP. Pertama, walaupun dari awal film ini memang sudah declare kalo PSP Gaya Mahasiswa ini bukanlah film biopic yang melonggarkan mereka dari keharusan untuk mengambil referensi dari PSP asli, tapi tetep aja dengan menggandeng nama PSP, mau ngga mau penonton akan tetap mengaitkan mereka dgn image PSP yang lebih dulu. Dan image mahasiswa usil jail dan kritis yg melekat di diri PSP asli ngga tergambar sama sekali di sini. Lagu-lagu PSP yang ada di sepanjang film sama sekali ngga memperkuat alur cerita, bahkan terkesan ‘sekedar lewat’ atau ‘yang penting ada’. Lagu Gaya Mahasiswa dan Bapak Dapat Lotre yang amat satir terdengar tanpa ‘nyawa’ di film ini. Alur cerita pun ngga jelas dan kurang fokus. Aku kira konflik dari film ini adalah tentang kehidupan mahasiswa yang nyambi jadi seniman orkes, atau tentang misteri sosok Fatima, ternyata alur nya lompat-lompat, setiap konflik yang timbul di awal dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian, dan tiba-tiba jadi aneh karena di akhir cerita, misi mereka malah berubah jadi kumpul dana untuk Euis, anak security, yang jadi korban tabrak lari. Editing nya terasa kasar dan kurang rapi. Potongan di beberapa tempat yang kurang tepat malah bikin emosi penonton jadi nanggung dan bingung sendiri. Pemilihan pemain pun menurut aku kurang pas, mungkin sang sutradara ingin mencontoh kesuksesan film-film lain dengan merekrut banyak komika dengan harapan komedi akan lahir secara naluriah, namun nyata nya kurang berhasil karena beberapa jokes nya lame, awkward, jauh dari jokes2 segar khas mahasiswa yg nakal, satir, dan khas tongkrongan. Jokes di film ini justru lebih seperti jokes ftv yang seadanya. IMO hanya Uus yang masih menyelamatkan film ini untuk tetap bergenre komedi. Adjisdoaibu yang aku harapkan hadir dengan celetukannya pun terasa hambar dan ‘kurang Omen’, yah mungkin yg jadi referensi adalah Om Omen di masa kini yg lebih bijaksana, bukan Omen masa muda yang kecil, lincah dan jail. Sedikit terganggu juga dengan usaha Danang memiripkan diri dengan Om James R. Lapian dengan membusungkan perut dan membungkukkan badan. Hmm postur om James jaman dulu kan emang kurus banget makanya badan nya cenderung membungkuk, sementara Danang ini ‘seger’ banget, jadi malah agak ganggu ngeliatnya. Mungkin masukan buat mas Danang, lain kali bisa kurusin badannya sedikit biar usaha nya untuk merepresentasikan karakter terdahulu nya lebih berhasil. Agak sangsi juga kalo kaum millenials merasa terwakili dengan konsep mahasiswa di film ini karna pemain-pemain nya nampak ‘boros’ sekali hehehehe. Secara keseluruhan menurut aku film ini kurang berhasil untuk membangkitkan kerinduan akan kejahilan PSP di masa lalu. Nama besar PSP yang dianggap akan mendongkrak film ini justru menjadi boomerang tersendiri karna film ini terasa “kurang PSP” di berbagai sisi.