Pemanasan! Beberapa hari lagi film Bernapas dalam Kubur yang dibintangi oleh Luna Maya akan beredar di bioskop. Dari judul, film ini seperti gabungan dari judul Bernafas dalam Lumpur (Turino Junaidy, 1970) dan Beranak dalam Kubur (Awaludin dan Ali Shahab, 1971). Namun bila melihat cuplikan jalan cerita dan trailer-nya, film yang akan tayang pada 15 November mendatang lebih dekat dengan cerita Sundel Bolong (Sisworo Gautama Putra, 1980).
Proofreaders: Anne Shakka dan Melisa Angela
Perjumpaanku dengan Asih sendiri membuatku bertanya-tanya. Mengapa latar waktu Asih harus tahun 1980? Aku kemudian memutuskan untuk mencari tahu apa yang terjadi melalui film-film horor yang diproduksi di masa tersebut. Dari titik berangkat inilah, aku mengetahui perbedaan kuntilanak dan sundel bolong dan cara kedua makhluk ini dipresentasikan dalam film Indonesia. Genre horor masih menjadi hal yang baru buatku. Dan tulisan ini sendiri aku niatkan untuk menjadi catatan awal dalam membaca film horor di Indonesia dan kode kultural semacam apa yang terus dipresentasikan hingga sekarang.
Asih: yang Tidak Berubah dari Kuntilanak
Sundel Bolong merupakan film pertama yang kutonton. Sisworo Gautama Putra yang juga membuat Pengabdi Setan (1980), Nyi Blorong (1982), dan beberapa film yang disebut David Hanan sebagai genre ‘Ratu Kidul’. Film ini mengisahkan Alisa (diperankan Suzzanna) dan Hendarto (Barry Prima), pengantin baru yang harus terpisah beberapa bulan. Ketika Hendarto pergi, Alisa mengalami kemalangan. Ia diperkosa oleh Rudy (diperankan Rudy Salam) dan komplotannya. Alisa menggugat Rudy dan germonya (diperankan Ruth Pelupessy), tetapi persidangan tersebut belum menemui kata sepakat untuk kasusnya. Digerogoti rasa bersalah, Alisa kemudian bunuh diri. Hantu Alisa meneror pelaku dan membunuh satu per satu orang-orang yang membuatnya jatuh depresi.
Ketika membedah teks film, biasanya aku menggunakan analisis struktural naratif yang ditawarkan oleh Roland Barthes. Namun entah mengapa, kali ini aku hanya ingin fokus pada gambar yang ditawarkan oleh Sundel Bolong. Langkah-langkah yang aku lakukan di sini adalah upaya untuk menerapkan tawaran konsep semiotika dari Roland Barthes mengenai studium. Mengutip ST. Sunardi, studium adalah penelitian empiris yang diharapkan dapat melihat kecenderungan fungsi foto suatu surat kabar dalam periode tertentu.[1] Film sendiri merupakan jalinan dari banyak gambar. Nah di sini, aku hanya memilih beberapa gambar yang sebenarnya menggelitik rasa ingin tahuku. Meskipun upaya melakukan studium adalah untuk mencari data empiris, tetapi aku sendiri tidak bisa menggeletakkan perasaanku. Jangan heran kalau tulisan ini akan cenderung lebih personal. Aku mendudukkan diriku sendiri yang sedang ditatap oleh gambar-gambar dari Sundel Bolong.
Menurut Barthes, suatu iklan akan berhasil menyampaikan pesannya bila ia mampu mengelola naluri seksual, ketakutan, keintiman, dan idola. Hasil sementara dari menguraikan gambar yang ada dalam Sundel Bolong, aku menemukan bahwa Sisworo mampu mengelola empat hal tersebut. Penggunaan Barry Prima, dan Suzzanna yang memang dikenal sebagai bom sex pada zamannya menjadikan film ini memikat. Kemudian penggunaan gambar-gambar yang “shocking” membuat film ini mendebarkan dan menggelisahkan. Aku sendiri belum ingin mencari pesan bulat yang hendak disampaikan dan kaitannya dengan ideologi Orde Baru saat film ini diproduksi. Aku membiarkan teks ini terbuka, supaya ia bisa berbicara sendiri di hadapanku.
Berikut adalah hasil pergumulanku dengan gambar Sundel Bolong. Akan ada kesemena-menaan dariku dalam membaca gambar tersebut, dan juga dalam hal penulisan nama tokoh serta pemain dalam film ini. Tidak akan ada gambar yang menyertai tiap pembahasan. Kuharap kalian bisa membayangkan gambar seperti apa yang kumaksud.
Suzzanna Menyulam. Ada banyak gambar ibu menjahit aku temukan dalam film-film pelajar yang aku seleksi pada bulan Oktober lalu. Ibu menjahit di kursi ruang tamu, sedangkan anaknya lalu lalang berkegiatan. Aku bertanya, “bukankah ini tahun 2018, saat di mana ibu-ibu zaman sekarang lebih banyak menjadi mom blogger, mengapa masih ada gambar semacam ini? Bukankah lebih praktis membawa baju sobek ke penjahit tetangga? Atau jangan-jangan hanya aku dan lingkunganku saja yang merasa asing dengan kegiatan ‘ibu menjahit’? Apakah memang gambar Ibu menjahit sudah sangat sakral, menimbulkan kerinduan sehingga ia harus diwujudkan dalam bentuk gambar bergerak?” Pertanyaan-pertanyaan ini membawaku untuk mencari asal kesakralan “Ibu menjahit” dalam gambar.
Saat aku berhadapan dengan gambar Suzzanna menyulam, aku seperti menemukan jawaban atas kegelisahanku berhadapan dengan gambar Ibu menjahit. Dalam sekuen Alisa ditinggal Hendarto berlayar, musik yang digunakan lebih mirip klasik didominasi biola. Untuk menggambarkan perasaan rindu, pertama-tama muncul gambar Suzzanna berdiri di belakang teralis jendela, pikirannya mengawang. Hingga kemudian muncul adegan Suzzanna menjahit. Ia mengenakan dress biru muda, di sebelahnya tergolek kain berwarna pink dan ungu di atas sofa berwarna cokelat tua. Suzzanna menyulam. Selama lebih dari 30 detik, aku mendapati Suzzanna khusuk, hingga akhirnya ia mencium hasil sulamannya itu. Gambar ini tampak begitu sakral. Ditambah dengan alunan musik yang mendayu-dayu, membuat gambar ini begitu feminine, ingin menonjolkan karakter Suzzanna yang lemah lembut. Bisa jadi dari gambar Suzzanna menyulam inilah, kehadiran kode-kode seperti ‘perempuan’ dan ‘menjahit’ terulang dalam film-film sekarang seolah menyakralkan kembali kegiatan yang dikesankan feminine.
Tapi perlu diingat, dalam Sundel Bolong Suzzanna bukanlah seorang Ibu. Dia tidak menjahit pakaian anak-anaknya yang sobek. Ia menjadi desainer sekaligus penjual hasil sulamannya ke sebuah butik yang terjelaskan dalam adegan selanjutnya. Suzzanna tidak menjalankan tugasnya sebagai perempuan yang dirumahkan, melainkan sebagai maker yang menjalani keahliannya sebagai tukang sulam.
Suzzanna Menyetir. Tidak ada yang lebih berdaya daripada perempuan yang bisa menyetir kendaraan seorang diri. Ketika ia memegang kemudi, artinya ia memegang kendali atas apa yang terjadi pada dirinya. Melihat Suzzanna mengemudi, kemudian mengingat kembali pada tahun 1980-an mobil masih menjadi barang mewah dan tidak semua orang bisa menggunakannya, menjadikan gambar ini begitu istimewa. Kamera mengambil setir, tangan, dan wajah Suzzanna secara close-up, mengizinkan penonton untuk dapat melihat detail apa yang dirasakan oleh Suzzanna saat mengemudi. Kemudian saya menjadi teringat dengan gambar dalam film Alfred Hitchcock, Psycho (1960). Marion Crane (diperankan Janet Leigh) menyetir mobil dengan raut kalut, gugup, dan ketakutan setelah melarikan uang yang dititipkan bosnya. Sedangkan Suzzanna, ia tampak lebih was-was sekaligus marah karena tindak pelecehan yang dilakukan Rudy dalam adegan sebelumnya. Gambar ini begitu impresif. Ia mampu menghadirkan peluang bahwa seorang perempuan sanggup menentukan apa yang ia inginkan. Tetapi begitu gambar ini disandingkan dengan kejadian setelahnya, yang tertinggal adalah sebuah peringatan. Baik Suzzanna dan Leigh akhirnya menemui ajal.
Suzzanna diserang. Saat melihat adegan penyerangan Suzzanna oleh komplotan Rudy dan Ruth Pelupessy, aku semakin yakin bahwa Suzzanna adalah objek yang harus ditundukkan. Ia begitu berdaya, berkemauan keras, dan butuh empat orang laki-laki untuk melemahkannya. Suzzanna bukanlah perempuan lemah yang sekali diserang akan langsung jatuh. Beberapa kali ia melawan, bersiasat, bersembunyi dari kejaran komplotan Rudy. Meskipun sudah diringkus, Suzzanna tetap melawan. Apakah memang pada tahun 1980-an, perempuan yang memiliki karakteristik demikian harus dibungkam secara paksa? Ataukah karakteristik perempuan seperti Suzzanna yang mandiri menjadi “pengganggu” bagi keberlangsungan sistem? Gila loh! Butuh empat orang buat menyerang dia!
Orang dengan baju Pegawai Negeri Sipil mencatat jalannya sidang. Gambar ini menurutku memiliki intensi untuk menunjukkan keberadaan negara dalam kasus Suzzanna saat meminta keadilan di depan persidangan. Pada adegan pengadilan terhadap Rudy dan Ruth, berkali-kali kamera mengambil wajah para pemain secara close-up untuk menunjukkan perdebatan yang berlangsung dalam persidangan. Aku bisa melihat detail raut wajah Suzzanna yang pasrah berharap datangnya keadilan; raut wajah Rudy dan Ruth yang semula menangis kemudian menyunggingkan senyuman saat pencaranya membela; kemudian ada pembela tersangka dengan dandanan dandy, muka tegas dengan kacamata hitam dikenakan di persidangan; hingga akhirnya wajah hakim yang belum bisa memberikan keputusan dalam persidangan ini. Gambar PNS mencatat menjadi istimewa karena ia muncul berbeda dari close-up yang lain. Penonton bisa melihat heroisme negara lewat wakilnya si PNS botak dari caranya mencatat yang terwakilkan dari detail genggaman tangan dan caranya menulis di notebook berwarna cokelat.
Seri Gambar Suzzanna Depresi. Dalam tulisanku tentang Asih, aku menyatakan bahwa film Suzzanna menghilangkan sisi depresi dan lebih mengedepankan dendam tokoh utama. Setelah melihat Sundel Bolong lebih seksama, aku salah. Film ini justru lebih lihai dalam menerjemahkan depresi ke dalam gambar. Ada sebab-akibat yang logis dan diruntutkan dalam sekuen Suzzanna Depresi. Jadi, Alisa si tokoh utama justru menjadi depresi setelah ia berkonsultasi dengan dokter kandungan. Begitu dokter menjabarkan gambaran negatif dari tindakan pengguguran kandungan, Suzzanna berhalusinasi. Dalam halusinasi ini, dokter sebagai perwakilan masyarakat dan otoritas yang lebih tinggi selalu muncul, menyalahkan tindakan Suzzanna. “Ibu adalah Ibu yang jahat!” Terngiang-ngiang dengan perkataan dokter tersebut, Suzzanna mulai tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak nyata.
Hal yang pertama kali dihadirkan adalah gambar bayi menangis di atas kasur. Kemudian Suzzanna berlari, menjumpai anak dengan wajah tidak sempurna sedang bermain di ruang lain. Lalu ia melihat ke bawah kakinya, ada tiga bayi tergolek di sana. Berganti ruangan, empat bayi menangis di atas karpet di ruang utama. Suzzanna berlari lalu membuka pintu ruangan yang lain, dan ia melihat bayi dengan kepala besar tidak sempurna sedang duduk menatapnya. Kamera mengambil bayi ini secara close-up untuk menambah intensitas kengerian dari halusinasi Suzzanna. Penggunaan teknik dissolve saat Suzzanna menggendong dan double exposure untuk memperlihatkan banyaknya bayi yang menghantui Suzzanna masif digunakan dalam sekuen ini.
Seri gambar ini semata-mata ingin menerjemahkan ketakutan Suzzanna apabila ia mendapati anaknya akan berakhir “cacat” seperti yang telah dikatakan oleh dokter. Gambar bayi dan anak “tidak sempurna” dan “kurang” dihadirkan untuk memberi gambaran kemungkinan apabila Suzzanna memutuskan melahirkan anak yang tidak diharapkan tersebut. Kengerian itu memuncak saat kamera menyodorkan gambar bayi dengan kepala besar. Efeknya pada Suzzanna akhirnya ia menabrakkan dirinya sendiri ke jendela. Lalu apa efeknya pada diri penonton? Tentu sesederhana mengenai kontrol kelahiran. Bahwa hal dengan bibit “tidak baik” akan mendatangkan hasil yang “tidak baik”. Meskipun pada adegan sebelumnya si bibi sudah berkata, “akan momong anak, Non”, tetapi gambaran yang telah ditancapkan oleh dokter kandungan selaku pemegang otoritas tetap akan mengena. Ditambah dengan adanya gambar close-up dokter saat bertanya, “berapa banyak Ibu berusaha menggugurkan kandungan?” pesan kontrol kelahiran semakin nyata.
Seri Gambar Suzzanna di Kamar Mandi. Adegan Suzzanna mati di kamar mandi berlangsung beberapa detik. Pertama adalah medium shot Suzzanna yang tergeletak di antara kloset dan bath tub. Pakaian dan kamar mandi didominasi putih dihadirkan bersama semburat merah seperti darah menimbulkan efek dramatis. Tangan Suzzanna juga berwarna merah mengindikasikan dia telah melakukan sesuatu atas tubuhnya sendiri. Kedua adalah medium shot yang berisi bagian bawah tubuh Suzzanna, lantai berwarna cokelat, dan sebuah objek berbentuk janin berwarna merah. Bila menonton film ini di layar laptop, kecil kemungkinan penonton akan langsung menangkap bentuk sebenarnya dari objek yang berada di bawah Suzzanna. Objek ini berhasil menyaru bersama warna merah yang lebih menimbulkan kesan dramatis.
Pertama kalinya mendapati adegan ini, aku tidak melihat kejanggalan. Hanya gambar yang didramatisasi pikirku. Begitu aku mengulang kembali apa yang membuat bibi menjerit setelah melihat Suzzanna tergeletak, barulah aku bisa menjumpai objek ini dengan segala kengerian yang langsung muncul dalam kepalaku. Aku baru sadar bahwa gambar ini mengindikasikan bahwa Suzzanna baru saja melakukan aborsi. Untungnya tidak ada penjelasan dalam dialog setelah adegan mengenai cara seperti apa yang digunakan Suzzanna. Karena kalau hal ini diutarakan lewat percakapan, mungkin hal yang menjadi poin kengerian bukanlah hantu Suzzanna melainkan kehadiran objek ini di dalam gambar. Aku menduga, Suzzanna menggunakan tangannya sendiri untuk mengeluarkan janinnya. Sebelum adegan ini, ia sempat meminta bibi menggunakan tangannya untuk mengambil jabang bayi dan permintaan ini langsung ditolak.
Gambar ini juga mengingatkanku pada adegan mandi shower dalam Psycho, saat si tokoh perempuan ditikam ketika mandi. Gambar dari film Hitchcock ini sungguh fenomenal dan mampu membuat penontonnya terngiang-ngiang. Begitu kode-kode seperti ‘perempuan’, ‘mati’, ‘ dan ‘di kamar mandi’ aku temukan kembali dalam Sundel Bolong, aku pikir si pembuat film seperti melakukan pencurian kode, lalu melakukan pemitosan ulang dengan menambahkan objek berupa janin di dalamnya. Beda antara gambar Psycho dan Sundel Bolong sendiri bisa juga dilihat dari penggunaan teriakan. Psycho menggunakan teriakan si korban untuk membangun kesadaran pada diri penonton, mengajak penonton untuk larut dalam adegan penusukan. Sedangkan dalam Sundel Bolong, si bibi bertindak sebagai perantara memberitahukan bahwa apa yang kita lihat bersama-sama itu adalah hal susah untuk ditanggung. Begitu traumatis, begitu menyeramkan, dan hanya suara teriakan yang mampu mewakili pengalaman mata kita berhadapan dengan gambar tersebut.
Aku sendiri belum ingin menghubungkan gambar ini dengan situasi selama Orde Baru yang mampu melahirkan gambar seperti ini. Bila merunut cerita, bagiku, tindakan Suzzanna di kamar mandi ini sudah terjelaskan. Hanya saja saja ada beberapa hal yang membuatku penasaran. Aku ingin tahu, “kok bisa ya tim Suzzanna menyajikan gambar ini pada penonton? Apa yang dirasakan penonton saat melihat objek ini? Apakah mereka merasakan kengerian hadir langsung di depan mata mereka? Ataukah mereka melewati begitu saja gambar ini untuk larut menikmati adegan selanjutnya?” Jujur, sebenarnya teriakan bibi menyelamatkanku untuk tidak berlama-lama melihat gambar ini.
Barry Prima mencium bunga mawar. Hal paling menyenangkan dalam film ini adalah melihat Barry Prima sebagai Hendarto. Aku bisa melihat Barry Prima saat lelaki ini masih ranum dengan gurat otot macho dan kemaskulinan yang masih menghiasi tubuhnya. Maskulinitas Barry sebenarnya terwakilkan dalam banyak adegan, seperti saat ia berlayar dengan kapal, berkelahi dengan komplotan Rudy, dan yang paling utama adegan saat ia memasuki kamarnya sembari membuka kancing bagian atas kemejanya. Apakah penonton perempuan pada masa lalu berteriak-teriak seperti aku sekarang? “Buka sithik, Mas! Buka sithik!” Andai netizen zaman now yang berteriak saat Jojo membuka kaosnya setelah pertandingan final bulu tangkis, melihat gambar Barry Prima membuka kancing kemejanya, apa yang akan mereka teriakkan?
Kehadiran gambar Barry mencium bunga mawar justru memberikan tawaran lain atas karakteristik Hendarto dalam film. Di sini, Barry menciumi tiga tangkai mawar merah dan setangkai mawar merah muda. Parasnya penuh kelembutan dan kerinduan. Dijelaskan pada adegan sebelumnya, bunga ini hadir setelah Barry dan bibi mengebumikan jasad Alisa. Pencahayaan juga berperan besar untuk menghadirkan gambar ini sebagai sesuatu yang istimewa. Cahaya jatuh di samping muka Barry dan juga menerangi gurat ototnya. Hanya mawar merah muda yang mendapatkan jatuhnya cahaya. Penggunaan pencahayaan yang demikian seolah mengindikasikan bahwa Barry sedang membagikan momen intimnya pada penonton. Ketika lelaki pada umumnya diharuskan menutupi perasaan sedihnya dan menonjolkan kejantannya, gambar ini digunakan untuk menolak ide tersebut.
Seri Gambar the Afro Suzzanna. Gambar ini hadir saat sekuen Hendarto melihat masa lalunya bersama Alisa. Dari sekuen ini penonton bisa mengetahui bahwa Alisa sebelumnya adalah Pekerja Seks Komersial, dan Ruth sebagai “maminya”. Hendarto jatuh cinta pada pandangan pertama, melihat Alisa dan keberanian yang terpancar dari sorot matanya. Yang menarik dari seri gambar ini adalah penggunaan pakaian dan properti untuk menunjukkan kualitas Alisa sebagai PSK. Ia mengenakan dress merah dengan outer hitam, anting bulat besar, rambut Afro, gincu merah, dan tak lupa adalah properti rokok. Kesan modern, kuat, dan mandiri terpancar dari Alisa selaku PSK.
Kedatangan Hendarto dalam seri gambar ini seperti menghadirkan fantasi untuk menjadi seorang istri bagi PSK Alisa. Hendarto meminta Alisa mengenakan dress panjang berwarna putih, kemudian mengambil rokok yang diisap oleh Alisa. Kamera kemudian beralih pada gambar sepasang boneka mengenakan baju pengantin di dalam box, mengindikasikan bahwa Alisa dengan kemandiriannya telah diberi janji lain yakni pernikahan. Gambar ini penting untuk memberitahu penonton perubahan pilihan busana Alisa yang juga mengindikasikan perubahan karakteristik perempuan ini.
“Jadi, foto tidak hanya melukai dan membuat kita berharap namun juga menyisakan detail-detail bisu yang menjadi jaminan harapan kita,” St. Sunardi, 2002.
Suzzanna dan Barry dengan baju pengantin di depan gambar Kabah. Setelah penonton mengetahui sejarah Suzzanna serta Barry Prima yang akhirnya mau menerima masa lalunya, kita dihadapkan pada gambar pernikahan mereka. Suzzanna dan Barry berasal dari kelas yang berbeda. Itu pasti! Sudah dijelaskan bahwa Suzzanna adalah sundal yang bisa setara hanya karena Barry menyematkan nilai-nilai “menjadi istri patuh” pada perempuan ini. Dan gambar pernikahan mereka dengan latar belakang Kabah, seperti menjadi saksi bahwa pernikahan beda kelas sosial ini dimungkinkan dan sah secara agama. Tidak ada yang lebih suci dibandingkan dengan pernikahan yang diakui oleh agama. Baik Suzzanna dan Barry menganggap gambar ini penting bagi kehidupan mereka di dalam film. Bagi penonton? Pesan bahwa penyatuan dua sejoli dengan kelas sosial yang berbeda akan dimungkinkan bila kita dekat dengan agama.
Kekuatan foto keluarga menjadi sesuatu yang magis. Sisi ajaib dari foto ini akan diulang kembali pada adegan hantu Suzzanna dan Barry kencan di bar. Penonton akan mendapati bahwa hantu Suzzanna masih membawa foto ini ke manapun ia pergi. Bagi hantu Suzzanna, foto ini adalah jaminan. Ia membawa foto ini sebagai bukti bahwa ia pernah terangkat derajatnya, pernah menjadi mulia, dan memiliki nilai di masyarakat.
Kehadiran Suzzanna sebagai Sinta. Hantu Suzzanna/Alisa menjelma sebagai Sinta. Ia datang di kegelapan, sembari membawa kucing di tangannya. Dandanannya jauh berbeda dengan Alisa sebagai istri maupun Alisa sebagai PSK. Sebagai Sinta, perempuan ini menggunakan poni dengan dandanan minimalis dan baju berwarna biru. Pola penggunaan artis yang sama untuk memerankan dua karakter atau lebih bisa dilihat dari cara Hitchcock dalam Vertigo (1958) atau Lynch dalam Lost Highway (1997). Dandanan dan cara berpakaian menjadi pembedanya.
“When fantasy became reality, it becomes nightmare,” Slavoj Zizek, Pervert Guide to Cinema (Sophie Fiennes, 2006).
Suzzanna/Sinta memadu kasih dengan Barry Prima. Ketika Zizek menjelaskan adegan dalam Vertigo saat Kim Novak didandani sebagai orang yang sudah meninggal (dari Judy Barton ke Madeleine), ia mengandaikan bahwa adegan ini menandakan mimpi buruk. Ketika fantasi akhirnya terwujud dalam realitas, ia menjadi pengalaman traumatis. Dalam gambar Barry setengah tidur miring menghadap Suzzanna yang diposisikan lebih tinggi darinya. Latar belakang pose mereka adalah tirai merah di dalam kamar. Cahaya yang jatuh mengindikasikan keintiman antar dua sejoli ini. Ini seperti ketika James Stewart dan Kim Novak dalam Vertigo bisa berciuman, dengan latar belakang jendela kamar. Pada satu sisi akhirnya Barry bisa merengkuh kembali seseorang yang ia lihat sebagai istrinya. Namun di sisi lain, gambar ini seolah ingin berkata bahwa Barry sedang berkencan dengan sosok hantu istrinya. Ini sama halnya ketika aku mendengar cerita mengenai perempuan yang kawin dengan genderuwo, ataupun lelaki yang menikahi peri. Tidak masuk akal. Bagaimana bisa sosok yang sudah tiada bisa memiliki tubuh fisik seorang manusia? Namun ternyata sinema mampu menghadirkan hal demikian, tanpa teror dan terkesan biasa saja. Namun, Barry (dan penonton) akhirnya menyadari bahwa adegan kawin dengan hantu itu menjadi sesuatu tak lazim, dan tidak bisa diterima, bahkan untuk mengutarakannya saja menjadi sesuatu hal mustahil, justru ketika adegan itu sudah terlewatkan.
Ruth Pelupessy terbakar di tiang listrik. Hantu Suzzanna akhirnya mampu membalaskan dendamnya. Ia meneror mantan maminya ini. Sebagai hantu, Suzzanna melempar badan Ruth ke arah tiang listrik. Dalam beberapa detik tiang listrik itu terbakar. Gambar ini memicuku untuk bertanya. Apakah memang semudah itu tiang listrik terbakar karena adanya badan manusia di atasnya? Apa yang ada di pikiran penulis naskah dengan menghadirkan penghukuman dengan cara demikian? Penggunaan api untuk menghukum pendosa lumrah ditemukan dalam kitab. Terbakar di neraka. Namun penghukuman bagi perempuan yang dianggap jahat dengan metode pembakaran sendiri bisa ditemukan ketika Eropa menghukum perempuan penyihir. Kemudian dalam komik Siksa Neraka, pendosa dihukum sedemikian rupa dalam lahar yang identik dengan panas. Apakah pembuat Sundel Bolong menerjemahkan gagasan semacam itu, hingga akhirnya bisa muncul gambar tiang listrik terbakar?
PNS botak dan foto presiden di belakangnya. Pengambilan gambar ini menggunakan medium shot sehingga kita akan melihat gestur dan mimik PNS ketika sedang merangkum kasus Suzzanna. Dokumennya di atas meja dan yang paling mind blowing adalah foto presiden Soeharto di belakangnya. Gambar ini berada dalam sekuen Barry Prima, Pak Haji, dan PNS sedang mendiskusikan kehadiran Suzzanna/sundel bolong sekaligus Suzzanna/Sinta. Tokoh PNS ini sudah muncul ketika persidangan Suzzanna dan ia bertindak sebagai pengamat. Dalam gambar ini, posisinya menjadi lebih tinggi dan memiliki peranan penting. Hal ini terwakilkan dari cara pengambilan gambar dari sisi bawah PNS. Ditambah dengan pernyataan PNS dalam mengajak Pak Haji dan Barry mencari tahu kebenaran akan teror sundel bolong, mengindikasikan bahwa akhirnya negara juga turut campur dalam menyelesaikan kasus ini. Tidak ada raut wajah ketakutan, atau bahkan penasaran. PNS ini hanya tersenyum ke arah Barry dan Pak Haji seolah dia mengetahui semuanya.
Melihat gambar ini dan membandingkannya dengan gambar dalam film horor Indonesia sekarang, aku menjadi semakin yakin bahwa Sundel Bolong digunakan sebagai media kontrol. Penguasa dihadirkan melalui foto seolah memberikan restu pada PNS untuk menyelesaikan semua hal yang berkaitan dengan sundel bolong. Ini yang jarang aku temui di dalam film horor Indonesia sekarang. Kisah tentang hantu perempuan mungkin sama, tetapi kualitas propagandanya berbeda. Sundel Bolong lebih terarah dengan tata mise en scene yang mampu menghadirkan wajah negara. Sedangkan dalam film horor sekarang, negara tidak dihadirkan untuk menyelesaikan masalah.
Seri Gambar Suzzanna membalas di rumah putih. Oh my god! Bagian ini bisa kukatakan adalah bentuk kejeniusan pembuat Sundel Bolong dalam membangun rumah penghukuman bagi pendosa. Ini lebih mirip instalasi. Kupikir belum ada seniman di Indonesia yang berusaha membangun tempat semacam ini untuk memberikan efek tertentu pada penonton. Diceritakan bahwa ada seorang PSK menggoda salah satu pelaku pemerkosaan. Ia merayu pria tersebut dengan duduk di sebuah kursi, kaki kanannya terangkat, lengan kirinya menyender ke belakang. Pose yang meminta untuk disetubuhi. Perempuan ini duduk dengan latar rumah dengan batu bata putih. Begitu pria ini masuk dengan si PSK ke dalam bangunan serba putih ini, Suzzanna sebagai pocong muncul. Well, terornya bukan pada diri pocong, tetapi saat si pria menemui jalan buntu. Ia tidak bisa melarikan diri dari Suzzanna yang sedang meminta keadilan.
Ini seperti melihat film dalam adegan ketika si orang gila dimasukkan ke dalam sel khusus, di mana dia harus berhadapan dengan hal-hal yang bermunculan dalam kepalanya. Pembangunan rumah putih ini mungkin terinspirasi dari sel khusus untuk orang dengan gangguan jiwa. Ia selalu dikejar pocong Suzzanna yang terkadang muncul dengan menjebol tembok atau muncul langsung di hadapan pria ini membawa nisannya. Baru setelah pocong Suzzanna menghunuskan nisannya, kamera bergoyang memberikan efek bahwa sedang berlangsung gempa bumi. Dan pria itu kemudian tersungkur di pusaran makam Suzzanna. Hebring nyak! Niat sekali si pembuat untuk menyajikan efek teror dalam ruang tertutup.
Barry Prima meminta Suzzanna ikhlas. Gambar ini ada dalam adegan penutup. Karakteristik Hendarto sudah berubah. Ia kini tidak lagi menginginkan kehadiran istrinya (karena sadar bok! Dia tidak mau lagi kawin dengan hantu istrinya!). Hendarto sudah ada di pihak masyarakat yang meminta Suzzanna pergi supaya tatanan yang ada kembali seperti semula. Masyarakat tanpa teror sundel bolong. Di belakang Barry, kita bisa melihat sekumpulan pria dari Pak Lurah, Pak Haji, dan Pak PNS dengan gestur menghakimi sekaligus mendukung tindakan Barry.
Kesimpulan (Sementara)
Aku sengaja tidak memilih gambar saat Suzzanna menjadi sundel bolong. Memang ada beberapa poin yang menyeramkan, seperti gambar saat sundel bolong melayang di atas pohon. Namun bagiku, gambar-gambar ini hanya seperti pengulangan atas apa yang telah aku pahami mengenai sosok hantu dalam cerita yang kudengar sehari-hari. Pun sama halnya dengan sundel bolong makan 200 tusuk sate. Ini sama halnya ketika aku mendengar cerita mengenai hantu yang muncul setelah bioskop Regent yang terbakar di Yogyakarta pada tahun 1999. Entah bagaimana ceritanya, antara memoriku mengenai hantu dan cerita dalam Sundel Bolong seperti sinkron. Mungkinkah yang selama ini aku dengar mengenai cerita hantu merupakan turunan dari narasi film-film horor tahun 1980-an?
Hal yang mengusikku sebenarnya bukanlah hantu Suzzanna. Aku justru tertarik dengan cara pembuat film ini menghadirkan sosok perempuan dengan enigma yang begitu besar. Suzzanna bisa menjadi Alisa, Sinta, sundel bolong, dan pekerja seks komersil. Suzzanna bisa lembut, mandiri, keras kemauannya, dan satu lagi, bisa memutuskan untuk mengaborsi janinnya sendiri. Ia bisa bertindak melakukan hal-hal yang di luar norma. Ia bisa menarik orang-orang sekitarnya untuk menundukkannya. Dan film ini dengan sengaja mempresentasikan sosok perempuan semacam ini. Demi apa? Mungkin ini yang harus aku cari tahu lebih lanjut dengan mendudukkan Sundel Bolong dengan film-film lain.
[1] Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. Hlm. 191.
Pingback: Perempuan Tanah Jahanam: Teror di Balik Keindahan | Umi Lestari