“Di era globalisasi, para pembuat film makin jeli untuk mengindikasikan masalah dan isu-isu yang lebih global,” begitulah ujaran Prof. Sheldon Lu selaku pembicara utama (keynote speaker) dalam 13th Asian Cinema Studies Society Conference. Konferensi ini berlangsung pada tanggal 24 – 26 Juni 2019 di LASALLE College of The Arts, Singapura. Adapun tema besarnya adalah “the Environments of Asian Cinema” (saya terjemahkan menjadi “Lingkungan dalam Sinema Asia”). Paparan Prof. Sheldon Lu sendiri mewakili situasi di Asia sekarang ini, saat lingkungan berubah karena hadirnya sampah. Film-film yang ia bahas menyasar bagaimana sampah elektronik dibuat dan bagaimana sampah plastik dibuang ke kawasan Asia Tenggara.
Konferensi Asian Cinema Studies Society terbagi menjadi 10 sesi. Setidaknya ada 120 peneliti, 48 peneliti perempuan dan 52 peneliti laki-laki, mempresentasikan hasil penelitiannya. Temanya cukup beragam sehingga dalam satu sesi sendiri, setidaknya ada tiga atau empat panel, dengan tiga atau empat pembicara di dalamnya. Ada yang membahas mengenai expanded cinema (kesadaran sinema yang diperluas), permasalahan sensor film, sinema regional, kajian bintang film, horor dalam film Asia, infrastruktur, distribusi, festival, hingga representasi hewan dan hutan dalam film-film Asia.
Dalam konferensi ACSS ini, saya mempresentasikan penelitian saya yang berjudul “Enunciating Nationalism through Archive and Filmmaking Technology” (terj. Pengujaran Nasionalisme Melalui Arsip dan Teknologi Pembuatan Film). Dua film yang saya angkat merupakan produksi Forum Lenteng. Judulnya Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) karya Hafiz diluncurkan pada tahun 2013 serta Golden Memories: Petite Histoire of Indonesian Cinema karya Afrian Purnama, Syaiful Anwar, dan Mahardika Yudha yang diluncurkan pada tahun 2018. Keikutsertaan saya dalam konferensi ini didukung oleh Pusat Pengembangan Perfilman Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui program Fasilitasi Festival dan Event Perfilman Internasional 2019. Program ini merupakan bantuan dari Pemerintah Indonesia untuk peneliti maupun pembuat film yang diundang dalam acara perfilman internasional baik itu dalam bentuk festival film ataupun konferensi seperti yang saya ikuti sekarang.
Saya masuk dalam sesi kelima, dalam panel “the Nation”. Presentasinya berlangsung pada hari Selasa, 25 Juni 2019. Dalam panel “the Nation”, saya bersama Dag Yngvesson dari Universitas Nottingham Malaysia yang mengangkat film Tiga Buronan karya Nya Abbas Akup. Bagi Dag, kekuatan film Tiga Buronan adalah penggunaan latah sebagai parodi tak sadar: Sebuah amunisi dari mereka yang inferior melawan yang superior. Selain Dag, ada Enoch Yee-lok Tam dari Universitas Baptist Hong Kong yang mempresentasikan simbolisasi ikan duyung dalam film The Mermaid karya Stephen Chow dan Three Husbands karya Fruit Chan. Ikan duyung atau disebut Lo Ting dalam kedua film ini digunakan sebagai simbol untuk melawan propaganda Cina.
Meskipun peneliti Indonesia yang berpartisipasi dalam Asian Cinema Studies Society hanya saya dan Erika M. Suwarno dari Universitas Padjajaran, tetapi peneliti yang membahas film Indonesia cukup banyak. Misalnya saja dalam panel Horor, ada Kataryzna Ancuta dari Universitas Chulalongkorn Thailand dalam “Spectral Materialities” yang memasukkan film Jelangkung (Rizal Mantovani, 2001). Adapula Rosalia Namsai Engchuan dari Max Plank Institute yang membahas mengenai praktik komunitas film di Indonesia sekarang ini. Selain itu ada Hsin-ning Chang, peneliti mandiri, yang membahas strategi festival film eksperimental Kuala Lumpur Experimental Film, Video, and Music Festival dan membandingkannya dengan ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival.
Tentang Teknologi, Horor, Sensor
Karena setiap sesi terbagi menjadi beberapa topik bahasan, saya tidak bisa mengikuti keseluruhan presentasi. Saya memilih topik yang saya minati. Pertama, saya mengikuti panel “Horor” dengan Allison Craven, Kataryzna Ancuta, dan Ella Raidel. Paparan Allison dan Kataryza memberikan pemahaman bagaimana hantu-hantu di Asia direpresentasikan dalam film. Alison menyatakan bahwa film horor posisinya masih marjinal. Namun melalui gothic, justru ia mampu mempertanyakan wacana kebangkitan sinema Australia. Kunci untuk memahami film-film bertema gothic yang beredar di Australia adalah ‘diaspora’, tentang bagaimana kultur gothic tersebut diadaptasi lewat liminalitas dan hibriditas. Sedangkan Kataryzna memaparkan bermacam objek yang menjadi perantara antara dunia gaib dan dunia nyata dalam film-film di kawasan Asia. Kemudian Ella justru menekankan bahwa hantu itu adalah kapitalisme. Ella mengkaji film eksperimental dari Cina yang menekankan pada kritik terhadap pembangunan.
Bagian menarik dari presentasi pada hari pertama adalah penelitian dari Pujita Guha yang berada dalam panel “Technologies, VR and Games”. Pujita yang juga co-founder dari The Forest Curriculum memaparkan fenomena film Filipina pada era kebangkitan sinema digital yang menggunakan hutan sebagai latarnya. Penelitiannya berjudul, “Is the Forest a Green Screen? On Certain Practices in New Filipino Digital Cinema”. Topik ini cukup menarik karena praktik penggunaan hutan sebagai layar hijau merupakan sebuah strategi dan menjadi pernyataan estetis tersendiri. Kawasan Asia Tenggara yang notabene bukan produsen dari teknologi high-tech mampu memunculkan bahasa lokal yang berasal dari hal-hal yang mereka temui dalam keseharian. Selain menjadi layar hijau yang memudahkan efek komputer bekerja, hutan juga sarat dengan sejarah perang. Paparan Pujita seperti antitesa dua paparan sebelumnya. Pertama dari Dave Hare yang meneliti bagaimana teknologi Realitas Virtual dijadikan alat propaganda pemerintah Cina. Kedua dari Bryan Hikari Hartzheim tentang gim Snatcher dan Policenauts buatan Konami dari Jepang. Baik Cina dan Jepang saat ini memiliki posisi sebagai produsen barang-barang canggih sehingga paparan Pujita mengenai eksperimentasi dalam sinema Filipina seperti angin segar.
Permasalahan sensor dan propaganda justru banyak dipaparkan oleh peneliti yang fokus pada film Cina. Lauran Bliss menyatakan bahwa penyensoran berhasil ketika generasi selanjutnya tidak mengetahui yang terjadi di masa lampau. Lauran selaku pengajar di Universitas Melbourne berkaca dari pengalaman mengajarnya: Pedadogi semacam apa yang bisa membuat generasi saat ini mengingat sejarahnya. Setelah Lauran, paparan mengenai bagaimana pemerintah Cina membangun propaganda dilacak dari pembuatan Undang-undang tentang perfilman yang masih kuat hingga sekarang. Ia juga mengambil contoh dari film-film yang harus diputar selama malam pergantian tahun. Hingga saat ini, penyensoran di Cina justru semakin kuat dan kompleks membuat sutradara dari Cina mau untuk tunduk pada peraturan ini. Paparan mengenai sensor dan propaganda mengingatkan saya pada sejarah film Indonesia yang memang sarat sensor. Peraturan mengenai nasionalisme dan film Indonesia sendiri dimatangkan pada tahun 1970-an. Meskipun saat ini sensor dari negara tidak begitu kuat bunyinya, tetapi sensor justru datang dari little people (meminjam istilah dari Haruki Murakami) yang terkadang bertindak grusa-grusu ketika mendapatkan informasi tidak lengkap mengenai sebuah film. Tentu berkelit dari sensor bisa menjadi senjata tersendiri bagi sutradara Indonesia sekarang ini.
Tentang Bioskop Keliling dan Isu Menarik Lainnya
Gyeong-hae WEE dari Korea mempresentasikan pemutaran layar tancap selama Perang Korea dari tahun 1950-an hingga 1960-an. Ia memulai penelitiannya dari 20 tahun yang lalu, mewawancarai pemilik bioskop keliling (projectionist) dan mengumpulkan arsip mengenai pembangunan pusat kebudayaan di Korea. Menurut Gyeong-hae, film menjadi cara untuk menyebarkan ideologi anti-kiri di daerah pinggiran kota yang tidak memiliki gedung bioskop. Ingatan saya kemudian melaju pada sejarah panjang sinema Indonesia ketika bioskop keliling menjadi alat persebaran budaya gambar bergerak. Dimulai dari kedatangan pertamanya di Batavia, ketika Louis Talbot memutarkan rekaman Lumiere dan rekaman jalanan Batavia. Lalu bioskop keliling juga digunakan saat pendudukan Jepang, film sebagai alat propaganda menyebarkan ideologi anti-imperialisme. Kemudian ketika Orde Baru, bioskop keliling digunakan untuk memutar film dengan konten propaganda negara yang menekankan pada perjuangan melawan penjajahan Belanda dan penggambaran keluarga ideal untuk mendukung identitas nasional.
Keikutsertaan saya dalam konferensi Asian Cinema Studies Society ini membuka banyak peluang bagi saya pribadi selaku peneliti, maupun peneliti-peneliti lainnya yang hendak fokus mengkaji film. Isu-isu yang dipaparkan dalam konferensi cukup menarik. Dalam panel “Masculinity” misalnya, paparan tiga pembicara mengenai maskulinitas yang cair dalam film dari Cina dan Thailand memberikan pemahaman bagi saya bahwa film menjadi medium untuk menantang konsep maskulin yang selama ini didengungkan. Kemudian saya bisa mengetahui fenomena terkini dalam sinema Asia dan bagaimana lingkup produksi dan konsumsi film mendapatkan imbasnya. Misalnya saja dalam panel, masing-masing untuk membahas sinema dari Filipina, Malaysia, Korea, dan Cina, cukup informatif bagi saya untuk mengetahui lebih jauh mengenai wacana sinema di Asia Tenggara dan Asia.
Selain presentasi, pemutaran film juga diberlangsungkan dalam perhelatan Asian Cinema Studies Society ini. Saya sendiri hanya sempat mengikuti pemutaran film Cinta Kasih Sayang yang disutradarai oleh Hussein Haniff dan diluncurkan pada tahun 1965. Film ini baru saja direstorasi oleh Asia Film Archive. Hussein Haniff merupakan sutradara berkebangsaan Melayu yang besar di Singapura. Cinta Kasih Sayang sendiri menceritakan seorang perempuan Singapura bernama Norma yang ditinggal pergi mencari nafkah oleh suaminya yang seniman. Selama suaminya pergi, Norma mencari pengganti, berkasih-kasih dengan seorang dealer mobil lalu dengan bujangan miskin. Melihat Cinta Kasih Sayang yang mengeksplorasi Singapura pada era 1960-an cukup membuat saya tersenyum-senyum. Saya bisa melihat Marina Bay di masa lampau ketika Patung Merlion belum hadir sebagai ikon.