Film Aladin dan Perasaan Janggal yang Menyertainya

Terima kasih kepada TV Swasta Indonesia yang telah mengenalkan saya pada film-film Disneyl, termasuk film Aladin. Hari Minggu dan liburan adalah hari buat anak-anak era 1990-an menikmati film tentang puteri dan pangeran. Namun dari Cinderella hingga si Buruk Rupa, tak ada yang membuat saya menjadi fans berat Disney. Apalagi Aladdin! Makin tidak nyaman saya dibuatnya.

Film animasi Aladdin dirilis oleh Walt Disney Pictures pada tahun 1992. Ceritanya diambil dari Kisah Seribu Satu Malam, kumpulan cerita rakyat dari Timur Tengah semasa Kejayaan Islam. Perdebatan seputar Aladdin cukup panas. Kritik menyasar pada bagaimana orang Arab direpresentasikan. Belum selesai perdebatan tentang animasi Aladdin, saat ini telah hadir film live-action Aladdin yang disutradarai Guy Ritchie.

Pembicaraan animasi Aladdin selalu dikaitkan dengan posisi Amerika Serikat semasa Perang Teluk. Sedangkan untuk saat ini, film live-action dikaitkan dengan Amerika Serikat paska 9/11. Keduanya memberikan treatment yang sama. Sudut pandang Orientalis-nya masih terasa. Penggambaran Aladdin dan Timur Tengah dalam kedua film ini masih berpegang teguh pada tradisi cara pandang Barat melihat Timur.

Saya melihat film animasi Aladdin memang berbeda dengan film animasi Disney lainnya. Perasaan tidak nyaman hadir ketika orang-orang dari Timur Tengah dalam film Aladdin digambarkan sedemikian rupa: Jafar bisa bertindak begitu brutal, sedang Aladdin tidak setampan pangeran Disney lainnya. Saya juga tidak bisa merelasikan diri saya dengan film ini. Parahnya lagi, pesan yang dibawa: Tentu kau harus seperti Aladdin, pemuda baik hati dan rajin beribadah, mampu membela diri, dan memiliki seorang Jin yang akan mengabulkan keinginanmu – supaya kamu bisa naik kelas sosial.

Perasaan tidak nyaman ini akhirnya terjelaskan akarnya. Edward Said dalam Orientalisme menulis: “Kita harus memahami bahwa Orientalisme diinagurasi dari proses panjang sejak penjajahan bangsa Barat atas kawasan Timur sejak tahun 1880 hingga keberhasilannya mengontrol kebebasan dan pengetahun; singkatnya, cara Orientalisme menjadi formal,” (Said,  1979). Saya menyadari kompleksnya situasi paska kolonialisme di Indonesia. Perasaan kagum, benci, rindu, sesal pada Barat dan cara pandangnya terkadang menjadi satu hal yang sulit diungkapkan.

film aladin
Aladdin in the Magic Garden, an illustration by Max Liebert from Ludwig Fulde‘s Aladin und die Wunderlampe

Sebagai upaya untuk memahami bagaimana kepingan-kepingan sejarah ini berkelindan, saya pun menelusuri kehadiran kisah Seribu Satu Malam. Hasilnya cukup mengejutkan.

Film Aladin: Dari Komedi Stamboel ke Gambar Bergerak

“dari namanya orang mungkin akan berpikir bahwa komedi ini berasal dari Turki, tapi nyatanya bukan. Kelompok ini terdiri dari orang-orang Indo yang dilatih memainkan komedi dalam bahasa Melayu dan membawakan kisah dari cerita Arab 1001 Malam”

Surat Kabar Bintang Barat. Sebagaimana dikutip dari The Komedie Stamboel: Popular Theatre in Colonial Indonesia”(2006) karya Matthew Isaac Cohen

Kisah Seribu Satu Malam atau lebih dikenal sebagai Arabian Nights dalam Bahasa Inggris merupakan kerja banyak pengarang, peneliti, dan penerjemah. Ceritanya diambil dari cerita rakyat dan karya sastra (lisan dan tulis) pada masa Kejayaan Islam. Sampel cerita diambil dari Abad Pertengahan. Kawasannya meliputi Arab, Persi, India, Yunani, Turki, serta cerita rakyat Yahudi. Menurut catatan Said, Antoine Galland adalah penerjemah kisah 1001 Malam pertama di Eropa. Galland tercatat sebagai editor Bibliotheque Orientale karya Barthelemy d’Herbelot, publikasinya tahun 1697. Sedangkan versi terjemahan berbahasa Inggris dari kisah 1001 Malam beredar pada awal Abad 18.

Dari dataran Eropa, kita meluncur ke Surabaya. Pada tahun 1891, Komedie Stamboel berdiri. Pemainnya kebanyakan orang Indo. Pendonor pertunjukan sandiwara ini adalah Tangul Angin Clique. “Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada 10 bulan pertama merupakan adaptasi dari kisah 1001 Malam versi terjemahannya di Eropa,” terang Kathleen Azali ketika mengulas buku Matthew Isaac Cohen. Kehadiran Komedie Stamboel juga bersamaan dengan percepatan teknologi di tanah Hindia Belanda: Jalanan kereta, mesin-mesin ketik dan cetak, dan terakhir tentu saja kehadiran sinema. Dalam The komedi bioscoop: Early cinema in Indonesia Colonial, Dafna Ruppin juga sempat mencatat persinggungan antara Komedie Stamboel dan penayangan gambar bergerak di kota-kota Urban Hindia Belanda.

Pada nyatanya panggung memiliki sisi magisnya tersendiri. Saya membayangkan pertukaran semacam apa yang terjadi pada awal Abad 19 di Hindia Belanda. Dari cerita terjemahan, pemanggungan, penempelan ke gambar bergerak, menjumpai penonton. Tubuh-tubuh yang menyaksikan 1001 Malam memiliki caranya sendiri untuk meneruskan kisah yang telah mereka konsumsi ke generasi selanjutnya. Saat ini, kita bisa menjumpai ragam kisah 1001 Malam dalam buku untuk anak-anak. Tak kalah penting, tentu saja perpindahan dari panggung ke film: upaya transfer pengetahuan, menjadikan 1001 Malam sebagai kisah bersama.

Pemain sandiwara juga ikut membentuk ekosistem produksi film di Tanah Jawa. Begitu kata Pak Misbach dalam Bikin Film di Jawa. Peralihan kisah Aladin dalam 1001 Malam ke layar perak terjadi sebelum Jepang resmi menduduki Indonesia. Pada tahun 1941, Tan’s Film membuat Aladin dan Lampoe Wasiat. Sutradaranya Wong Bersaudara. Tan’s Film memang jago membuat film yang berangkat dari kisah populer yang ada di masyarakat. Rumah produksi ini pernah membuat dua versi Nyai Dasima, yang bisu dan bersuara, pada tahun 1929 dan 1932. Selain itu, Tan’s juga membuat Gagak Item (1939), film yang mirip dengan Zorro.

“Produser Cina. Ceritanya Timur Tengah. Aktornya campuran, ada Jawa dan Indo. Musiknya Jazz, Klasik, juga cenderung ke Melayu dan Gambus. Filmnya Opera… Walaupun dituduh menjual impian, dia justru punya formulasi pesan moral yang lebih universal,”

Lisabona Rahman dalam What They Dont Talk When Talk About Film Restoration.

Pada tahun 1953, kisah Aladin muncul lagi. Film ini dibuat oleh rumah produksi Golden Arrow dan dibintangi oleh A. Hamid Arief yang memang menjadi superstar pada era 1950-an. “Film ini menarik,” ungkap Lisa yang sedang menyelesaikan proses restorasi Aladin. Film Aladin dibuat setahun sebelum Usmar Ismail meluncurkan film Lewat Djam Malam (1954). Ini adalah contoh film yang diperdebatkan dan hanya dianggap menjual hiburan semata, minus nilai nasionalisme.

Dari kisah kehadiran Aladin di atas, saya baru bisa merangkai kepingan-kepingan sejarah yang secara tidak langsung turut membentuk cara pandang saya saat ini. Butuh pemahaman lebih jauh untuk memastikan apakah karya-karya tersebut melanggengkan cara pandang Barat terhadap Timur. Harus dilihat lebih detil, apakah pemain Aladin dalam film Indonesia harus menghitamkan kulitnya seperti Aladdin versi Disney 2019? Atau jangan-jangan ada upaya untuk menunjukkan keberagaman etnis seperti asumsi Lisabona Rahman? Selain itu, apakah kedua film ini bisa dilihat sebagai proses untuk menasionalisasikan kisah 1001 Malam, menjadikannya sebagai bagian dari identitas bangsa?

Sebelum pertanyaan saya makin melantur, mari kita tilik film Aladin dan Lampu Wasiat (1980) karya Sisworo Gautama Putra. Film ini masih bisa kita jumpai di kanal YouTube. Selain mendapati Rano Karno dan Lydia Kandou muda, tentu kita juga bisa meraba imajinasi semacam apa yang dibayangkan oleh sineas pada era 1980-an tentang Timur jauh.

Film Aladin dan Lampu Wasiat

Boleh dikata kalau Sisworo Gautama Putra fokus pada detil. Sutradara yang lahir di Kisaran pada tahun 1938 ini mampu membangun semesta filmnya dengan beragam. Ada yang meneror seperti Pengabdi Setan (1980). Drama-horor super romantis manis seperti Sundelbolong (1981) dan Malam Satu Suro (1988). Ada Primitif (1978) yang mampu membawa penontonnya pada dunia antah berantah dengan kanibalisme di dalamnya. Sebelum menjadi sutradara, Sisworo pernah mengikuti lokakarya dengan Kotot Sukardi sebagai pematerinya dan menjadi asisten sutradara untuk filmnya Pak Misbach.

Baca Lebih lanjut tentang Pembacaan Semiotika dalam film Sundelbolong

Film Aladin dan Lampu Wasiat diluncurkan pada tahun 1980. Pengambilan gambarnya di studio Perusahaan Film Negara. Aladin (Rano Karno) jatuh cinta pada Puteri Permatasari (Lydia Kandou). Saking kesengsemnya, Aladin bermimpi menjumpai Permatasari. Sungguh beruntung nasib Aladin karena ia menemukan lampu wasiat berisi Jin yang akan mengabulkan semua permintaannya. Pernikahan berlangsung, lawan Aladin cemburu dan membalaskan dendamnya. Bekerja sama dengan penyihir, Jenderal dan Patih menjebak Aladin dan mencuri lampu wasiat. Pada akhirnya, Aladin mampu bangkit dan menyelamatkan kerajaan dari makar.

Pujian tentu tersemat untuk direktur artistik Aladin dan Lampu Wasiat. Tim film ini mampu membuat goa berwarna-warni dan kubangan lava yang warnanya manis. Lansekap kota Timur Tengah diperlihatkan dari keriuhan aktivitas di pasar. Kemiskinan Aladin dan ibunya dijabarkan lewat rumah yang berhimpit dengan jalanan. Sedangkan istana Haru Ar Rasyid, sang Raja, dipenuhi ukiran, corak berwarna emas, dan kain-kain mewah berhamburan. Kulit Jin diwarnai hijau. Tak luput, kain menerawang warna-warni dan sebuah lanskap ruang penuh fantasi yang melatari perjumpaan Aladin dan Permatasari dalam mimpi.

“Belum pernah ada dalam sejarah perfilman… film nasional yang dibuat sebesar dan semegah Aladin dan Lampu Wasiat.”

Begitulah pesan dalam poster film sebagai penegas kerja keras bidang artistik film Aladin dan Lampu Wasiat. Memang benar. Efeknya film ini meyakinkan dan ringan untuk ditonton. Keindahan dan kemegahan yang ditawarkan semata-mata untuk menyamankan penonton. Meskipun saya masih bisa menerima penggambaran orang-orang dari Timur Tengah dalam film (berbeda dengan pengalaman saya menonton animasi Aladdin), tetapi ada beberapa hal yang membuat saya tak mampu menahan tawa. Berikut jabarannya.

Film Aladin: Memancungkan Hidung dan Tarik Ulurnya Semasa Orde Baru

Pemain-pemain dalam film Aladin dan Lampu Wasiat memiliki hidung bangir dan besar. Tentu ini masih berada dalam koridor mitos bahwa orang Arab dikenal karena hidungnya yang besar. Rano Karno yang berkulit gelap, cukup selamat merepresentasikan Aladin. Pun begitu dengan Lydia Kandou dan Marlia Hadi yang lebih sering mengenakan cadar. Tetapi begitu saya melihat si penyihir jahat, hidung palsunya terpampang nyata! Tempelan cuping hidung itu begitu artifisial dan tidak pas.

Film Aladin dan Lampu Wasiat memang tidak semasif Aladdin Disney yang harus menghitamkan kulit figurannya supaya tampak seperti orang Arab versi Orientalis. Tetapi yang cukup menggelitik dari film Aladin Indonesia ini adalah fokusnya pada penggunaan cuping hidung palsu. Apakah ini masih terkait dengan tradisi Komedie Stamboel, saat pemainnya mayoritas campuran dan (mungkin) memiliki hidung tidak pesek? Ataukah memang imaji tentang bangsa Arab dan hidungnya merupakan sebuah keniscayaan? Seperti mitos yang harus terus-menerus ditransfer. Lalu apakah film Aladin dan Lampu Wasiat menjadi salah satu agen yang melanggengkan betapa indahnya Liyan: Ajakan untuk menghasrati menjadi seseorang yang berbeda dengan diri kita? Pertanyaan-pertanyaan ini akan lebih menarik kalau bisa kita diskusikan bersama karena saat ini saya juga belum ingin buru-buru menjawabnya.

Kemudian untuk melihat posisi film Aladin dan Lampu Wasiat, kita juga perlu menilik situasi politik semasa Orde Baru. Represi menyasar pada orang Muslim: Larangan menggunakan jilbab dan penggabungan partai-partai Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan.[1] Dalam tatanan otoritas perfileman, ada batas-batas tegas. Perjuangan tokoh Islam digambarkan untuk mendukung kemerdekaan, harus melawan penjajahan Belanda. Islam radikal digambarkan sebagai musuh negara seperti dalam film Mereka Kembali (Nawi Ismail, 1970). Tetapi di sisi lain, ulama diberikan tempat istimewa dalam film Indonesia. Film horor Suzzana misalnya yang berakhir melegakan karena kehadiran Kyai menyelamatkan warga dari teror.

Film Aladin dan Lampu Wasiat juga tak luput dari sikap mendua. Penggambaran keluarga Aladin yang taat. Ibunya mengenakan niqab. Detil ini bisa dilihat sebagai upaya untuk mengapresiasi keberagaman. Namun di sisi lain, Aladin dan Lampu Wasiat juga mengolok-olok. Ada satu adegan, ketika penari perut datang ke istana. Badannya menggeliat mengikuti irama musik dengan lirik, “Assalamualaikum… Waalaikumsalam….”. Lalu kamera mengambil raut wajah Sang Raja yang tergoda dan naik hasratnya. Tentu dari adegan semacam ini, ada upaya untuk melanggengkan mitos bahwa Pria Arab kurang kuat imannya!

Film Aladin di Indonesia Sekarang

Apakah kita sebagai penonton bisa beranjak dari fase gumunan (terkagum-kagum)? Jelas Aladin dan Lampu Wasiat ingin menghadirkan gambar supaya kita terkagum-kagum dengan kebudayaan Liyan. Tetapi di sisi lain, film ini menjadi ajang olok-olok. Kemudian antusiasme penonton pada kehadiran film live action Aladdin (2019) membuat orang berlomba mengunggah cuplikan filmnya sebagai konten media sosialnya. Ada Luna Maya yang memajangnya di IG Stories. Adapula Sandra Dewi, si Princess Wannabe, yang bangga mengabarkan Disney menyewakan satu ruang bioskop khusus untuknya.

Lalu di tengah maraknya film remake, adakah sutradara Indonesia yang berminat menggarap Aladin dengan kompleksitas wacana politik identitas yang membayanginya? Joko Anwar dan Anggy Umbara pasti bisa dong! Toh mereka sudah pernah membuat remake film berdasarkan karya Sisworo Gautama Putra. Produser juga pasti tertarik karena kisah Aladin sendiri sudah memiliki pasar yang sejarahnya bisa ditarik sejak masa kolonial. Tentu bisa Box Office!

Saran saya, kalau ada yang berani menggarap remake Aladin dan Lampu Wasiat, mungkin bisa belajar dari Naguib Mahfouz. Mahfouz membuat Arabian Nights and Days yang berangkat dari kisah 1001 Malam tanpa menutupi kompleksitas sejarah Islam di Timur Tengah. Atau kalau Mahfouz terlalu berat, mungkin para sineas bisa meniru Nawi Ismail dengan Samson Betawi (1975). Nawi mampu menggubah kisah dari Kitab, mengolesnya dengan pergolakan masyarakat Betawi yang tanahnya diambil negara, dan yang pasti mampu membuat penonton larut dalam tawa!


[1] Konsep penyederhanaan partai (fusi) digagas oleh mendiang presiden Soekarno. Tetapi pada era pemerintahan Orde Baru, mendiang Soeharto yang menerapkannya. Imbasnya pada partai politik yang harus setengah hati melakukan penggabungan tersebut. Pada bulan Januari 1973, empat partai berlandaskan nilai Islam seperti Partai Muslimin Indonesia, Nahdlatul Ulama, Pergerakan Tarbiah Islam, dan Partai Syarikat Indonesia tergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Pemilihan partai sendiri disinyalir karena tekanan Soeharto yang pada tahun 1972 menegaskan bahwa sebaiknya partai-partai Islam tidak memakai nama yang berbau ideologis. Sumber: Tirto

Leave a Reply