Bulan April lalu, saya memutarkan dua judul film yang selama ini dianggap sebagai film hilang. Pertama adalah Membalas Budi: Kisah si Mardi dan si Manis (English title, Mardi and the Monkey) karya sutradara Inggris, Kay Mander. Kedua adalah si Melati karya Basuki Effendy. Kedua film ini merupakan film anak setelah si Pintjang (Kotot Sukardi, 1951) yang diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional (PFN). Hadirnya dua judul film ini, menunjukkan bahwa sejarah film Indonesia telah direvisi. Film yang semula dianggap sebagai film hilang telah berjumpa dengan penonton di masa kini.
Pemutaran ini merupakan bentuk kolaborasi antara saya, selaku kurator film klasik, dan bioscil, selaku eksibitor yang fokus pada film anak di Indonesia. Pemutaran Membalas Budi dan si Melati berlangsung di JNM Bloc, Yogyakarta, pada tanggal 2 April 2024. Penonton yang hadir pada pemutaran ini berjumlah lebih kurang 50 orang. Sesi diskusi setelah pemutaran berlangsung meriah. Moderator diskusinya sendiri adalah Hindra Setya Rini, founder bioscil.
Film Anak Klasik: Membalas Budi atau Mardi and The Monkey
Dalam artikel terbaru tentang Kay Mander dalam sinema Indonesia, [1] saya mengajukan bahwa film Membalas Budi sebagai proyek percontohan dalam pembuatan film anak. Film ini signifikan dalam perkembangan film di Indonesia karena aspek produksi film transnasional yang melingkupi kehadirannya di Indonesia pada awal kemerdekaan. Membalas Budi merupakan proyek co-production antara Children’s Film Foundation dari United Kingdom, Peregrine Films dari UK, dan PFN dari Indonesia. Membalas Budi merupakan film pesanan. Mary Field selaku CEO CFF meminta Kay Mander membuat film yang merepresentasikan anak-anak Indonesia. Sehingga bentuk film ini mengikuti formula pembuatan film khas produksi CFF hasil dari observasi Mary Field selama berkecimpung dalam produksi dan eksibisi film anak.[2]
Terputusnya pengetahuan tentang film Membalas Budi sendiri berkaitan dengan ketidaklengkapan arsip film tersebut di Indonesia. Meski Kay Mander memiliki posisi yang signiifikan dalam perkembangan sinema Indonesia melalui keterlibatannya sebagai juri Festival Film Indonesia 1955, namun kehadiran perempuan yang pernah bekerja di bagian continuity untuk film Francois Truffaut, Fahrenheit 451, tidak dianggap penting. Pengabaian sosok Kay Mander dan filmnya di Indonesia menyiratkan bias di masa lalu yang hanya mementingkan sosok kanon dalam sinema dan film yang sesuai dengan identitas kebangsaan.
Film Anak Klasik: si Melati
Setelah menyutradarai film Pulang, Basuki Effendy menyutradarai si Melati yang naskahnya ditulis oleh Kotot Sukardi. PFN sendiri telah merencanakan produksi film ini sejak tahun 1952, tahun yang sama ketika Kay Mander memproduksi film Membalas Budi. Film si Melati memiliki posisi penting dalam sinema Indonesia karena ia membicarakan pendidikan untuk anak perempuan, sekaligus menghadirkan Sandiah atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Kasur dalam film sebagai narator dan kakak kepanduan puteri. [3] Dalam analisisnya, Brown melihat bahwa film anak yang sifatnya non-komersil dibuat dengan kaidah pedagogis dan memiliki tujuan untuk menunjukkan praktik moral dan perilaku tertentu.[4] Si Melati terang berada di posisi untuk mempromosikan pendidikan kepada anak perempuan, sekaligus memberikan wejangan kepada penonton muda untuk tidak mendiskrimasi teman yang berbeda.
Mengapa si Melati jarang dibahas padahal film ini menghadirkan Ibu Kasur selaku Tokoh Pendidikan Nasional? Film si Melati, dibuat oleh sutradara Basuki Effendy yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Basef menjadi tahanan politik (tapol) di Pulau Buru pada masa Orde Baru. Pengetahuan tentang seni dan kebudayaan yang digagas oleh para anggota Lekra menjadi tabu untuk dibahas pada masa Orde Baru. Sehingga film Basef tidak menjadi skala prioritas dalam pewacanaan film nasional. Pengabaian ini berdampak pula pada bagaimana filmnya kemudian, ada yang hilang – dan adapula yang menunggu untuk ditemukan – seperti halnya si Melati yang saya putar untuk bioscil dan Pulang yang pernah diputar pada pameran Kultursinema 2019 di Museum Nasional.
Tanggapan Penonton Kini
Saat saya mengajukan dua film ini kepada Hindra, kami sepakat bahwa kedua film ini tidak cocok diputar untuk anak-anak kisaran umur 5 hingga 12 tahun. Muatan narasi, film hitam-putih, dan rentang tujuh puluh tahun sejak kedua film ini diproduksi membuat Membalas Budi dan si Melati tidak akan dapat dicerna oleh anak-anak di masa kini yang telah terpapar muatan audiovisual yang memiliki ritme cepat. Kami menyadari bahwa debat kusir tentang ini film anak atau bukan, pasti akan terjadi.
Ekspektasi saya saat mengkurasi dua film ini untuk bioscil sebenarnya sederhana. Publik bisa menonton film yang selama ini terpinggirkan sekaligus melihat bagaimana capaian estetis dari produksi film yang diniatkan untuk penonton anak-anak pada era awal kemerdekaan. Sebagai penonton dewasa di masa kini, film seperti si Pintjang atau si Melati akan lebih tepat disebut sebagai film yang merepresentasikan anak-anak. Namun kali ini, saya berpijak sumber Mimbar Penerangan, saat R.M. Harjoto selaku direktur PFN bercita-cita meneruskan produksi film anak setelah si Pintjang. Entah perdebatan apa yang akan muncul nanti, saya meniatkan untuk melihat ulang pemikiran para sineas di masa lalu berkaitan dengan produksi film anak, film tentang anak-anak, dan film untuk penonton anak.
Saat sesi diskusi berlangsung setelah pemutaran, tanggapan dari penonton beragam. Panggio misalnya, menekankan pada aspek reproduksi kultural. Film Membalas Budi mengingatkannya pada sastra yang menekankan hubungan antara manusia dan hewan seperti dalam karya the Jungle Book (ditulis oleh Rudyard Kipling). Sedangkan film si Melati menjadi contoh dari reproduksi folklore bawang merah dan bawang putih (dan tentu saja Cinderella) dengan sentuhan fabel Aesop, Pemotong Kayu yang Jujur. Selain itu, Panggio juga melihat adegan dalam film Membalas Budi yang tidak cocok untuk penonton di masa kini karena muatan kekerasan simbolik di dalamnya. Adegan tersebut adalah adegan saat Mardi menangkap si Manis dengan jeratan tali.
Tiga penanggap lain seperti Faozan (guru Sekolah Dasar), Deni dari Ilkom Atma Jaya, dan Lia dari Sumbu Pakarti menekankan pentingnya produksi film untuk anak-anak. Faozan melihat bahwa kedua film ini tidak cocok untuk anak-anak. Sedangkan Deni yang pernah meneliti film dan anak-anak mempertanyakan perihal film semacam apa yang memang cocok untuk anak-anak. Sedangkan Lia, tidak banyak merespon film tapi justru mempromosikan film yang telah dibuat oleh Sumbu Pakarti.
Tanggapan terakhir datang dari Valencia Winata, mahasiswa Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma dan juga pengurus arsip Festival Film Dokumenter. Valen menyatakan bahwa kedua film ini berusaha untuk merepresentasikan aspek tradisi dalam film. Hanya saja, bagi Valen, Membalas Budi terkesan membuat pertunjukan wayang sebagai tempelan. Valen lebih mengapresiasi karya dari Basef yang imajinatif.
[1] Lestari, U. (2024). Kay Mander and Mardi and the Monkey (1953): Woman’s Agency, Children Film, and Transnational Film Production in Indonesian Cinema. In Proceedings of the International Moving Image Cultures Conference (IMOVICCON 2023) (p. 263). https://www.atlantis-press.com/proceedings/imoviccon-23/125999135
[2] Field, M. (1956). Children’s Taste in Films. The Quarterly of Film Radio and Television, 11(1), 14–23. https://doi.org/10.2307/1209806
[3] Lestari, U. (2020). Si Melati Karya Basuki Effendy. https://umilestari.com/basuki-effendy-si-melati-pendidikan/
[4] Brown, N. (2019). Change and Continuity in Contemporary Children’s Cinema. In C. Hermansson & J. Zepernick (Eds.). The Palgrave Handbook of Children’s Film and Television (pp. 365–378). Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1007/978-3-030-17620-4