Tubuh Ketiga (Wawancara dengan Yudi Ahmad Tajudin)

Wawancara dengan Yudi Ahmad Tajudin, Direktur Teater Garasi,  telah dipublikasikan di MediaSastra.com pada 27 Maret 2011.

Selesai pertunjukan “Tubuh Ketiga” saya tidak langsung mewawancarai Yudi Ahmad Tajuddin selaku sutradara. Yudi yang setelah pertunjukan tampak kelelahan meminta saya untuk datang ke Studio Garasi di Bugisan. Tanggal 20 Maret 2011 saya pergi ke daerah selatan Yogyakarta itu. Yudi juga tampak lelah. Ia baru saja pulang dari pemakaman ayah temannya. Namun begitu, wawancara tetap dilangsungkan. Berikut adalah hasilnya.

Umi     : Berapa lama proses pembuatan Tubuh Ketiga dari ide sampai ke pertunjukan di Yogya ini?

Yudi    : Proses pembuatan dimulai dari Maret 2010. Pentasnya bulan Oktober (2010) di Jakarta. Proses Tubuh Ketiga ini bukan proses continue dan berbeda dengan proses Garasi sebelumnya. Dalam proses ini kami melakukannya dengan observasi, workshop, dan break. Kalau yang di Jogja, dari tanggal 4 Maret.

Umi     : Mengapa Indramayu yang dipilih sebagai ide pertunjukan ini?

Yudi    : Indramayu cuma sampel. Dari isu yang membuat kami tertarik, aku menulusuri lebih lanjut, dan membuat sesuatu. Isunya adalah soal kenyataan-kenyataan yang terbentuk di dalam persilangan kebudayaan dan sikap macam apa yang dipakai untuk menghadapinya. Jadi, bukan identitas. Pertanyaan besarnya buatku bukan lagi apa dan siapa kita, tapi apa yang bisa kita lakukan di antara sesilangan kebudayaan yang makin kacau ini.

Di Indramayu isu ini nyata dan setiap hari hadir dengan tajam. Indramayu dan Tarling Dangdut sebagai satu ilustrasi atas isunya. Tarling bisa semakin kuat, bisa menjadi pokok pada saat yang sama – menjadi substansi. Itu integral kenyataan dari yang terbentuk, di kenyataan yang terbentuk dari pertemuan dua kebudayaan itu.

Umi     : Ketika saya menonton “Tubuh Ketiga”, saya melihat bahwa kebudayaan yang asli macam kethoprak dan sinden, lalu Tarling sendiri sebagai perpaduan antara yang asli dan modern ditampilkan dengan porsi yang sama. Kebudayaan modern dihadirkan secara tidak langsung, tidak sebesar yang asli dan perpaduannya itu.

Yudi    : Yang harus diperiksa adalah yang asli yang mana dan kategori-kategori mana yang modern, yang Barat, yang Timur. Kategori-kategori itu harus diperiksa lagi. Kalau kita berangkat dari pertunjukan, struktur musik dangdut itu alat yang digunakan itu modern. Keyboard, mikrofon , dan electrical guitar merupakan alat modern . Karena terlalu familiar dengan modernisme sehingga (semua itu) mungkin tidak keliatan. Misalnya, Ruangan. Apakah geber itu tradisional atau asli? Sejarahnya, geber itu dari Barat. Apakah itu asli? Semakin susah sekarang kita menentukan mana yang asli, mana yang asing, mana yang tradisi mana yang modern. Yang disebut asli itu apa? Mana? Selalu ada keterpengaruhan di antara persilangan. Yang asli yang bukan itu konstruksi. Contohnya dari negara: “ Itu kebudayaan kita, itu bukan kebudayaan kita.”

Lalu kebudayaan kita apa? Gamelan jawa? Itu bisa ditemukan di mana saja. Itu disebut suatu kultur. Di Okinawa saja ada gamelan. Tapi (kebudayaan adalah) bagaimana cara orang menyikapinya, rasa yang dituangkan, cara melihat dunianya. Memang persis di situ. Konstruksi-konstruksi itu semakin susah dipakai. Dan apabila semakin keras, itu yang jadi masalah: sikap yang reaksioner, yang keras, sehingga bisa menentukan ada yang asli dan ada yang asing.

Tarling Dangdut itu rileks. Tarling dianggap tradisional bagi orang Indramayu. Ya, mereka ambil aja motifnya lalu digabungkan dengan yang mereka dengar. Misalnya dari India, Barat yang pop dan semacamnya. Ya, mereka bikin itu semua yang membentuk mereka. Itu referensi yang dibikin lalu yang disampaikan. Mereka rileks. Di situ (mereka) lebih produktif berhadapan dengan sesilangan kebudaayaan. Paling tidak dibanding sikap-sikap keras yang sekarang banyak bentuknya. Semisal, fundamentalisme, radikalisme yang keras, politik identitas yang keras. (Semua yang menganggap bahwa) yang benar adalah yang murni.

Umi     : Kemarin saya mendapatkan teks naskah dari Gunawan Maryanto. Setelah melihat naskah tersebut dan membandingkannya dengan pertunjukan kemarin, ada beberapa hal yang berbeda, seperti dimasukkannya liong-sai ke dalam pertunjukan.

Yudi    : Yang disebut sebagai naskah itu adalah dokumentasi naratif atas karya yang sudah jadi. Sebelum dipentaskan, cuma ada ide dan ada isu. Lalu semua orang observasi, diskusi, menemukan sesuatu dan dibagi. Ketika karya udah jadi, Cindhil (Gunawan Maryanto) menuliskannya dalam suatu narasi. Statusnya: dokumentasi naratif atas karya. Kemudian diputuskan kapan (karya itu) dibikin. Setelah dipentaskan, ada perkembangan ide untuk memasukkan liong untuk karnaval. Itu Post-factum,  ditulis setelah karyanya jadi. Bukan naskah sebagaimana yang kita ketahui selama ini. Pertunjukan ketiga tidak ada naskahnya dan bukan dari sistem play. Karya- karyaku selama10 tahunan ini banyak yang begitu. Bukan dari naskah.

Umi     : Menurut gosip yang beredar, Teater Garasi terkenal sebagai teater yang “memusingkan”, teater yang hanya berkutat pada estetika bentuk.

Yudi    :Menurutku tidak, tapi (harus spesifik menunjuk pada) karya Garasi yang mana. Itu image yang ngawur. Mungkin ada alasannya, tapi aku gak tahu. Tanya yang ngomong apakah Garasi teater yang memusingkan.

Di Bandung ada anak Punk yang tidak pernah nonton teater dan sekalinya nonton dia sebal dengan teater yang dia tonton. Begitu dia nonton Garasi dia berkata,“ Ini teater oke! Ini menyenangkan, Ini muda. Tidak menggurui.” Terus mana yang mau kita pakai? Kalau kamu sendiri? Serapanmu? Apakah benar Garasi cuma di bentuk? Kami berangkat dari isu. Bentuk-bentuk itu tercipta kemudian setelah dipelajari.

Umi     : Selama proses “Tubuh Ketiga”, adakah kendala yang dihadapi?

Yudi    : Kendalanya: duitnya kurang.  Selalu ada soal, kendala-kendala yang menjadi obstacle. Proses kreativitas adalah bagaimana cara melampaui halangan itu. Bagaimana melampaui kendala dan bagaimana berhadapan dengan kendala.  Kendalanya: penciptaaan, pencarian bentuk yang kami sebut improvasisasi untuk Hanny dan Mbak Wangi, terutama Mbak Wangi. Dia tidak akrab karena berasal dari disiplin yang lain. Harus ada diskusi panjang tentang pendekatannya, target-target, syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mencapai target. Itu  bukan kendala. Itu kenyataan, itu keadaan.

Terus  waktu pembuatan awal, kendalanya adalah waktu karena semua orang sibuk. Garasi biasanya menggunakan enam bulan proses secara continue, namun dalam enam bulan (proses Tubuh Ketiga itu) tidak continue, ada break. Namun semua orang senang, karena ternyata bisa juga. Aku juga sempat ke Jerman, Belanda lalu balik. Jadi, itu bisa disebut kendala bisa disebut bagian dari kreativitas.

Umi     : Bagaimana pendapat mas Yudi sebagai sutradara melihat pertunjukan kemarin? Dari segi penonton, misalnya, dan apakah pemain sudah memenuhi apa yang ditargetkan sebelumnya.

Yudi    : Karena image (tentang Garasi atau Tubuh Ketiga?) yang aku gak tahu darimana datangnya, penonton Jakarta lebih heboh secara umum. Bukan berarti lebih baik karena bukan baik-buruk yang menjadi persoalan. Penonton Jakarta lebih ekspresif dan spontan.

Di awal-awal banyak yang merasakan, khususnya penonton Jogja, bahwa menonton Garasi itu kayak mau datang ke diskusi. Itu bagian dari image yang ngawur. Jakarta lebih rileks. Bukan baik-buruk. Itu karakter barangkali. Itu yang aku temui. Tapi semua fun. Kenyataannya, dari respon di Twitter atau aku yang sendiri dengar, mereka suka. Mereka ikut merayakannya. Pertunjukan kemarin kan perayaan. So far, ada beberapa kritik yang lahir: soal kebiasaan, soal ruangan.  Itu isu yang sedang aku tawar. Kenapa tidak? (Kritik itu berfungsi) sebagai penopang. Kita bergerak, bukan cuma statis. Mengenai kebingungan yang dihadapi penonton: mungkin multi fokus menjadi persoalan. Multi fokus menciptakan kebingungan. Tapi di balik itu, ada apa yang muncul. Yang berharga kan itu, di balik impresi-impresi sesaat. Setelah itu apa.

Buatku, karya-karya semacam Tubuh Ketiga adalah suatu observasi dan jelajah isu dan bentuk. Jadi, di awal itu tidak ada ukuran yang jelas. Tidak ada yang pasti. Karya itu jadi terminal sebagai jelajah isu. Kalau ini diteruskan mungkin akan menghadirkan bentuk yang lain. Misalnya Waktu Batu. Karya Waktu Batu #1 lebih mitologis, Waktu Batu #2 mengeksplorasi mitologi dan sejarah. Dan Waktu Batu #3 lebih ke kenyataan hari ini, lebih pop secara visual karena tentang kehidupan sehari-hari. Itu jelajah. Targetnya tidak ada. Targetnya membicarakan isu yang kami sebut sebagai kenyataan ketiga.

Penonton Jogja sudah ada frame yang  barangkali tidak tepat. Ada frame yang mungkin memerangkap dan  menjebak. Bukan salah-benar,  tapi itu bagian dari kenyataan. Apakah benar memusingkan? Apakah benar (Garasi) cuma di bentuk?

Kami teater eksperimental. Itu bagian dari resiko. Yang pasti kami selalu mencoba. Setiap karya adalah pencarian yang lain. Kami pernah  memainkan realisme, absurd, teater klasik, dan srimulatan. Buat kami bukan bentuk, tapi gagasannya apa. Mau ngapain? What is this piece about? Style, bentuk, diturunkan dari  gagasannya apa dan orientasi-orientasinya apa.

Leave a Reply