Basuki Resobowo (1916 – 1999) merupakan seniman serba bisa. Ia tergabung dalam Persatuan Ahli Gambar (Persagi), menjadi ketua Seniman Indonesia Muda (SIM), hingga pemangku jabatan di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Ia juga menjadi aktivis, ikut dalam pergerakan nasional ketika muda dan tak berhenti bahkan ketika ia menjadi seniman eksil di Tiongkok, Jerman, dan Belanda. Selain itu, Resobowo juga terlibat sebagai penata artistik di film nasional pertama Indonesia, The Long March (Darah dan Doa), mengaplikasikan aliran realisme di Indonesia melalui mise-en-scene atau semua yang tampil dalam film.
Realisme bagi Resobowo adalah sebuah aliran seni modern yang dalam pelukisannya bercirikan humanisme dan aspek sosial. Ia menampik untuk mencari identitas asli Indonesia seperti yang digaungkan oleh seniornya, S. Sudjojono, dan kawannya, Oesman Effendi. Ia menekankan bahwa kesenian di Indonesia bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Kesenian di Indonesia merupakan hasil dari pengaruh-mempengaruhi antar bangsa dan dalam tulisannya, ia selalu mendudukkan kesenian di Indonesia sebagai bagian dari kesenian dunia.
Pameran B. Resobowo merupakan sketsa awal untuk menelusuri gagasan Basuki Resobowo tentang seni dan kebudayaan Indonesia pada umumnya, dan aliran realisme di Indonesia. Dengan mengumpulkan dan mendokumentasikan kembali arsip Basuki Resobowo seperti artikel di media massa, otobiografi, lukisan, mural, poster, film, sketsa, hingga desain buku, pameran ini menunjukkan bahwa gagasan seniman bohemian ini selalu berkonstelasi dengan seniman sezamannya. Resobowo dan karyanya merefleksikan perkembangan seni modern di Indonesia. Tulisannya yang personal membuat pembacanya memahami persilangan seni dan aktivisme di Indonesia, terutama pada masa kolonial hingga Perang Dingin di Indonesia.
Dengan mempresentasikan arsip Resobowo ke publik, pameran ini juga bermaksud untuk meranahkan kembali bahwa arsip bukanlah hal yang statis. Aktivasi arsip juga menjadi bagian untuk memasukkan Basuki Resobowo dan gagasannya ke dalam sistem diskursif. Hibriditas seni dan kebudayaan di Indonesia yang ditekankan oleh Resobowo justru semakin relevan dengan situasi global di masa sekarang. Apakah kita hendak mencari kesenian yang asli? Atau menyadari adanya silang budaya dalam kesenian di Indonesia, sembari terus mengkritisi imbas dari kolonialisme dan neokolonialisme, untuk mendapatkan bahasa baru dalam berkarya.